ads

HUKUM PERIKATAN DALAM ISLAM


RANGKUMAN
HUKUM PERIKATAN DALAM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah BMT
Dosen Pengampu: M. Ahkamuddin Arrofi, S.EI., MM


Disusun Oleh:
DIDIE MASYHADI AL FALAH
(1282681)

Kelas: A
Semester: VI
Prodi: Pendidikan Agama Islam
Jurusan: Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
TA. 2015



Hukum Perikatan Dalam Islam

A.    Pengertian Perikatan dalam Islam
Perikatan dalam perspektif hukum Islam, sering diidentikkan para ahli dengan akad, karena sama-sama menyangkut keterlibatan kedua belah pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban atau prestasi yang harus dipenuhi.[1] Perikatan dalam Islam atau akad secara terminologi adalah berasal dari bahasa arab yaitu al-rabth yang berarti “tali atau ikatan”, al-aqdatu yang berarti “sambungan” dan al-‘ahdu yang berarti “janji”.[2] Berdasarkan pengertian etimologis tersebut bahwa akad merupakan tali yang mengikat seseorang dengan orang lainnya.
Kemudian menurut para Jumhur Ulama dalam Kuzari pada kajian fikih muamalah, akad merupakan:
Sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya”[3]
Sementara dalam arti khusus, ulama fiqih sebagaimana yang dikutip Syafe’i mendefinisikan bahwa akad adalah:
“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab­-qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya”[4]
Kemudian menurut al-Shiddieqy bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang dibuat dengan sengaja oleh kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama.[5] Dari sini jelaslah bahwa akad sama dengan perikatan, namun tidaklah selalu sama, penjelasan lebih lanjut ini akan dibahas nanti.
  
B.     Tujuan Perikatan dalam Islam
Seseorang yang melakukan perikatan atau akad, pasti mempunyai tujuan tertentu, seseorang tidak dapat dipaksakan untuk melakukan akad, terutama dalam perjanjian. Kecuali dalam perikatan alami, seperti hak bayi untuk dirawat dengan baik dan harta warisan, atau paksaan hukum yang bersifat sepihak.
Tujuan perikatan dalam Islam atau akad yang dimaksud di sini ialah maksud utama disyari’atkannya akad. Artinya ada maksud tertentu namun harus sesuai ketentuan syari’ah, agar tujuan tersebut dapat terwujud. Tujuan tersebut akan menjadi sah apabila mempunyai akibat-akibat hukum yang dipelukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Tujuan akad bukanlah merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan ketika akad belum diadakan seperti perikatan alami, namun hendaknya tujuan itu dilaksanakan di awal akad.
2.   Tujuan harus berlangsung hingga akhir akad.
3.   Tujuan akad harus dibenarkan syari’at Islam.
Berdasarkan keterangan di atas, syarat dari tujuan perikatan dalam Islam atau akad harus jelas dari awal hingga akhir akad serta berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Suatu tujuan erat kaitannya dengan aktivitas yang dilakukan, karena kegiatan pada hakekatnya untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya dalam jual beli, tujuan penjual untuk memindahkan hak milikanya kepada pembeli dan memperoleh uang dan keuntungan.

C.    Dasar Hukum Perikatan dalam Islam (Akad)
1.      Al-Qur’an 
Artinya:  Hai  orang-orang  yang  beriman  penuhilah  akad-akad itu … (QS. Al-Maidah:1)
2.      Hadits
 Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi SAW, ditanya: Apakah pencaharian yang paling baik? Jawabnya: pekerjaan seseorang dengan tangannya sediri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur”.
3.      Ijma’ Ulama
Dalam hukum akad, terjadi perbedaan pendapat dari beberpa ulama mazhab. Salah satunya mazhab Hanbali bahwa akad bebas dilakukan selama tidak ada hal-hal yang jelas dilarang agama.[6] Sedangkan pada mazhab hanafi, bahwa akad merupakan hal yang dilarang, kecuali apabila ada keadaan yang membuatnya untu berakad kepada orang lain (Istihsan). Kemudian mazhab lainnya seperti Syafi’i juga tidak membolehkan akad apabila objeknya belum ada di hadapan pihak yang membutuhkan.[7]

D.    Unsur-unsur Perikatan dalam Islam
Mengenai unsur-unsur perikatan dalam Islam atau akad ini, ada dua pendapat yang berbeda dari ulama-ulama mazhab. Unsur tersebut lebih identik dengan rukun akad.
Pertama, pendapat Imam Hanafi bahwa akad hanya terdiri dari shigat, yaitu ijab dan qabul atau serah-terima antara kedua belah pihak baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan.[8] Hal ini dikarenakan bahwa ijab dan qabul tersebut menurut Imam Hanafi, merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari perikatan atau akad.[9]
Kedua, pendapat sebagian besar ulama selain Imam Hanafi bahwa unsur perikatan Islam atau rukun akad ada lima, yaitu:
1.   Aqid, dua pihak atau para pelaku perikatan yang terlibat. Dalam perikatan, yang terlibat umumnya debitur dengan kreditur.
2.   Mahallul ‘aqdi atau ma’qud ‘alaih, yaitu objek dari perikatan atau akad, dalam perikatan umum disebut prestasi.
3.   Maudul ‘aqdi, yaitu tujuan pokok dari akad itu sendiri, bisa sepihak atau kedua belah pihak atau lebih.
4.   Ijab, yaitu ungkapan shigat akad yang keluar dari pihak pertama.
5.   Qabul, yaitu ungkapan shigat akad yang keluar dari pihak kedua.
Kemudian Dewi secara garis besar membagi unsur perikatan tersebut menjadi tiga unusur sebagai berikut:[10]
1.      Pertalian antara Ijab dan Qabul
Ijab merupakan ungkapan dari pihak yang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan qabul  merupakan pihak yang menerima atau menyetujui dari sesuatu yang dilakukan pihak yang berijab.
2.      Dibenarkan Oleh Syara’
Perikatan, perjanjian atau akad tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
3.      Mempunyai Akibat Hukum terhadap Objeknya.
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf) Musthafa Az-Zarqa sebagaimana dikutip Dewi “mengartikanya dengan sesuatu yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan Kewajiban)”. Dengan demikian, besar kecilnya akibat hukum bergantung dari seberapa besar tindakan hukum seseorang terutama dalam perikatan.

E.     Syarat-syarat Perikatan dalam Islam
Setelah di jelaskan rukun akad sebelumnya, akan dijelaskan lanjutannya berupa syarat-syarat dari perikatan Islam atau akad, yang mana akad akan terjadi apabila telah memenuhi syarat pada:
1.   Subjek Hukum (aqidain)
Menurut Ash-Shiddicqy, bahwa kedua belah pihak yang berakad atau melakukan perjanjian harus cakap (ahliyatul aqidaini). Baik itu perorangan maupun dengan badan hukum atau institusi. Tidak akan sah akad apabila dilakukan oleh orang gila , anak kecil yang belum mengetahui, dsb.
2.   Objek Hukum (mahallul aqad)
Objek akad atau perikatan haruslah dapat diterima secara hukum, terutama hukum Islam. Kemudian selain itu, objek akad terbagi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
a.   Objek perikatan harus ada ketika dilangsungkan atau tersedia untuk diakadkan dan akad akan berakhir apabila objek tersebut telah diserahkan kepada yang berhak menerima. Islam tidak membolehkan menjual objek yang belum waktunya, seperti menjual anak sapi yang masih dalam kandungan atau menjual buah yang belum masak.
b.   Objek akad atau perikatan dalam Islam harus dibenarkan syari’ah. Tidak dibenarkan objek perikatan yang haram, baik zat maupun cara mendapatkannya. Inilah yang membedakan perikatan Islam dengan perikatan umum.
c.   Objek akad atau perikatan dalam Islam harus jelas dan dapat dikenali dari jenis, bentuk, ukuran, dan urgensi barang tersebut.
d.   Objek dapat diserah terimakan pada saat akad terjadi atau pada waktu yang telah disepakati sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam suatu transaksi.

F.     Asas-asas Perikatan dalam Islam
Asas perikatan dalam Islam merupakan tumpuan berpikir dalam melakukan suatu akad atau perjanjian terutama dalam koridor syari’at Islam. Adapun asas yang digunakan dalam perikatan Islam atau akad adalah di antaranya sebagai berikut:
1.   Asas Ketuhanan atau Tauhid
Dalam Muamalah, nilai-nilai ketauhidan tentu tidak terlepas dari itu. Seseorang akan merasa ia diawasi oleh Allah Swt sehingga dapat berbuat sekehendak dirinya. Dan perbuatannya harus dupertanggung jawabkan kepada pihak kedua, masyarakat, diri sendiri, dan yang terpenting Allah SWT.[11]
2.   Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Segala kegitan atau perbuatan adalah boleh (mubah), selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuna syari’ah atau dalil yang mengharamkannya. Jadi melakukan transaksi dengan orang lain adalah boleh selama tidak ada larangan Islam akan transaksi tersebut.
3.   Asas Keadilan (Al-‘Adalah)
Dalam perikatan, keadilan menjadi perhatian, apalagi kalau perikatan dalam Islam, hal tesebut tidak dapat dipisahkan mengingat mengharuskan keadilan. Dengan kata lain, pihak yang terlibat dituntut untuk berlaku adil dan benar dalam menyatakan kehendak untuk berakad serta memenuhi hak dan kewajiban dari perjanjian yang dibuat.[12] Tidak ada penipuan atau ketidakseimbangan.
4.   Asas Tertulis (Al-Kitabah)
Dalam suatu akad perjanjian, hendaknya dilakukan secara tertulis agar perikatan atau akad tersebut sangat jelas serta sebagai bukti nyata transaksi orang yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 282-283.
5.   Asas Kerelaan atau Konsensualisme
Dalam perikatan atau akad, hendaknya terjadi atas kerelaan atau kehendak masing-masing pihak yang terlibat. Tidak ada paksaan atau ancaman dari pihak manapun, karena kalau dipandang dari perspektif Islam, akadnya tidak sah meski hal tersebut tidak dapat diamati secara fisik dan tergantung pihaknya masing-masing.
6.   Asas Perjanjian itu Mengikat
Maksud pembahasan di sini adalah, apabila ia melakukan perjanjian kepada orang lain, maka ia akan terikat untuk memenuhi kewajiban dan haknya. Dengan kata lain, ia terikat untuk wajib mengikuti isi perjanjian yang sudah disepakati bersama.
7.   Asas Persamaan Hukum (Al-Musawah)
Asas ini mengutamakan persamaan hak dan kewajiban atau persamaan derajat, tidak membeda-bedakan antara bangsa, kulit, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dsb. Sehingga tidak ada pilih kasih dalam pelaksanaan akad atau bertransaksi.
8.   Asas Mendahulukan Kewajiban daripada Hak
Dalam perjanjian atau akad, hendaknya pemenuhan kewajiban  merupakan hal yang harus diutamakan, agar suatu transaksi dapat berjalan lebih serius serta ia dapat menuntut haknya.
9.   Asas larangangan merugikan orang Lain
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam perjanjian atau akad, tidak dibenarkan salah satu pihak merugikan pihak lain. Misalnya menjual barang yang status kualitasnya tidak jelas.

G.    Perbedaan Perikatan Umum dengan Perikatan dalam Islam (Akad)
Pada hakikatnya, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa perikatan memang identik dengan akad. Karena akad itu sendiri berarti “ikatan” secara etimologi. Namun ada perbedaan yang jelas antara perikatan umum yang telah ditetapkan oleh Undagg-Undang dengan perikatan dalam hukum Islam.
Perikatan dalam Islam sangat memperhatikan objek akadnya seperti yang disebutkan sebelumnya. Yaitu apakah zat suatu benda itu halal atau haram, hal tersebut sangat mempengaruhi sahnya suatu perikatan, perjanjian atau akad. Tidak hanya zatnya, sumber pendapatan akad tersebut perlu dipertanyakan berasal dari mana? hal ini jarang terjadi dalam perikatan umum. Kalaupun ada hanya sebatas menanyakan saja, tidak diproses lebih lanjut.
Kemudian yang membedakan perikatan Islam dengan umum adalah, tidak memakai sistem bunga pada suatu transaksi seperti transaksi pembayaran pinjaman, gadai, bagi hasil, pembayaran kredit, dsb. Hal ini menurut para ulama, bunga itu sama disamakan dengan riba dan hukumnya haram. Dalam perikatan Islam, yang dikenal hanyalah keutungan yang disepakati seperti dalam jual beli murabahah, salam, istishna, dsb. Jadi intinya perikatan dalam Islam harus murni halal sesuai ketentuan syari’at Islam.

H.    Berakhirnya Perikatan dalam Islam (Akad)
Akad atau perikatan dalam Islam dapat berakhir karena umumnya dua hal, menurut Basyir, bahwa dual hal tersebut adalah telah tercapainya tujuan akad dan fasakh atau waktunya berakhir. Fasakh tersebut berakhir karena sebab-sebab berikut:[13]
1.   Difasakh, karena adanya hal-hal yang dilarang syara’, misalnya objek akadnya diketahui dari hasil yang tidak halal atau jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan barang tersebut (gharar).
2.   Karena pembeli memilih untuk membatalkan jual beli karena sebab-sebab tertentu dalam khiyar, seperti ditemukan ada yang tidak sesuai pada barang yang ia beli seperti adanya kecacatan.
3.   Karena salah satu pihak membatalkan akad dengan catatan ada persetujuan lain. Cara fasakh ini disebut iqalah.
4.  Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya karena overmact, yaitu keadaan yang membuat debitur tidak mampu memenuhi kewajiban dikarenakan faktor-faktor eksternal. Apabila pihak yang seharusnya memenuhi kewajiban dengan sengaja tidak melakukannya, maka dapat dilaporkan ke badan hukum litigasi (peradilan) atau/dan non litigasi (arbitrase) terutama yang telah distandarisasi syari’ah.
5.  Karena habis jangka waktunya, seperti dalam akad sewa manyewa dalam jangka waktu tertentu dengan catatan harus dikembalikan secara utuh apabila dalam penyewaan barang.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Shiddieqiyy, Hasbi, 1974, Pengantar Fiqih Muam’alat, Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, A.M. Hasan, 2004, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis dan Praktis, cetakan 1, Jakarta: Kencana.
Basyir Ahmad Azhar, 2000,  Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: Bag Penerbit Fak Hukum UII.
Dewi, Gemala, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan 2, Jakarta: Kencana.
Kuzari, Achmad, 1995, nikah sebagai perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat, 2001, Fiqih Mu'amalah, Bandung: Pustaka Pelajar.





[1] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995, h. 2
[2] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Pelajar, 2001, h. 43
[3] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan..., h. 1
[4] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah..., h. 44
[5] Hasbi al-Shiddieqiyy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 34
[6] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan..., h. 6
[7] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam...,h. 779
[8] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah...,h. 45
[9] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan..., h. 6-7
[10] Gemala Dewi,  Hukum Perikatan Islam, Jakarta: Kencana, 2005, h. 47-49
[11]  A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis dan Praktis, cetakan 1, Jakarta: Kencana, 2004, h. 125-126.
[12] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan 2, Jakarta: Kencana, 2006, h. 12
[13] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: Bag Penerbit Fak Hukum UII, 2000, h. 85
HUKUM PERIKATAN DALAM ISLAM HUKUM PERIKATAN DALAM ISLAM Reviewed by Unknown on 6:31 AM Rating: 5

No comments:

ads
Powered by Blogger.