ads

Perbandingan Pendidikan: Sistem Pendidikan Agama Di Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

A.    SISTEM PENDIDIKAN AGAMA DI MASYARAKAT
Pendidikan dan masyarakat dua variabel yang tidak dapat dipiahkan dalam dunia pendidikan. Karenanya pendidikan yang berbasis masyarakat adalah pendidikan yang menekankan dan menegaskan keterlibatan masyarakat dalam program pendidikan.[1] Misalnya jika salah satu anggota keluarga sakit semua akan merasakannya. Sekurang-kurangnya perhatian, begitulah selayaknya yang terjadi dalam dunia pendidikan. Hal ini diakui oleh Abuddin Nata, peran serta, untuk tidak menyebut prakarsa, masyarakat Muslim Indonesia dalam pendidikan dan perguruan keagamaan sangat signifikan dan bahkan sangat dominan. Sepanjang sejarah pendidikan Islam di kawasan ini, Masyarakat Muslim dalam skala yang tetap besar bukan hanya berperan serta, artinya ikut “nimbrung” tetapi, bahkan mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan dan pemberdayaan pendidikan keagamaan. Tuntutan pengembangan sumber daya manusia dari waktu ke waktu semakin meningkat.
Oleh karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki peran tersendiri terhadap pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat anak-anak dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang tua. Dan pada masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang anak. Sedangkan peran pada pendewasaan dan pematangan individu merupakan peran dari kelompok masyarakat. Walaupun masyarakat dikatakan sebagai lembaga pendidikan ketiga. Masyarakat di sini ada sebuah keluarga dan sekolah, mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda dengan ruang lingkup dengan batasan yang tidak jelas dan keanekaragaman bentuk kehidupan sosial serta berjenis-jenis budayanya.[2] Menurut Al Syaibani, masyarakat dalam pengertian yang paling sederhana ialah kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Termasuk segala jalinan hubungan yang timbal balik, kepentingan bersama, adat kebiasaan, pola-pola, tenik-teknik, sistem hidup, undang-undang, institusi dan segala segi dan phenomena yang dirangkum oleh masyarakat dalam pengertian luas dan baru. Masyarakat dapat diartikan jug asebagai sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah penyesuaian dan sadar akan kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya.[3]
Masyarakat merupakan sekelompok sosial terbesar dalam sutau negara. Selain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, pendidikan juga dapat berlangsung di dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan di dalam lingkungan masyarakat tentunya berbeda dengan pendidikan yang terjadi pada lingkungan keluarga dan sekolah. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu dalam sutau kelompok masyakat tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya dalam sebuah mata rantai kehidupan.
Bukan hal yang asing, bila kita seingkali mendengar tentang hal ini: Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya, sampai saat ini, peran serta masyarakat masih belum maksimal. Walaupun sekarang semua sekolah telah membentuk Komite Sekolah yang pada prinsipnya merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah , nmaun belum berfungsi dan berperan sebagaimana yang di harapkan. Karena itu kaitan masyarakat dan pendidikan dapat di tinjau dari tiga segi yaitu:
1.      Masyarakat berhak  berperan serta dalam perencanaan , pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pendidikan.
2.      Masyarakat berkewajiban memberikann dukungan sumberdaya alam penyelenggaraan pendidikan.[4]
Masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang di ikat dalam kesatuan Negara, kebudayaan , dan agama yang memiliki cita-cita peraturan –peraturan dan system kekuasaan tertentu . masyarakat juga di katakana makhluk sosial  . ia hidup dalam hubunganya dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain . karena itu manusia takmungkin hidup layak di luar masyarskat.[5]
Sedangkan partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan masysrakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan Hal itu sesuai pula dengan hak mayarakat dalam pendidikan yaitu mereka dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,  pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Masyarakat adalah system sosial yang dalamnya unit-unit melakukan saling hubugan dalam memberi aksi dan reaksi terhadap setiap peristiwa . Setiap aksi dan reaksi masyarakat merupakan respon sekaligus syimulan bagi munculnya inovasi dan transformasidalam masyarkat itu sendiri .Proses transformasi terjadi dalam struktur sosial melalui proses komunikasi baik langsung , maupun tidak langsung .Proses komunikasi itu kemudian memberikan warna terhadp perubahan cara pandang dan budya mayarakat melalui agen perubahan .Agen perubahan adalah masyarakat itu sendiri .Ia adalah subyek sekaligus obyek dari perubahan yang terjadi di dalam
Peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan , khususnya pada jalur  pendidikan dalam sekolah. Secara yuridis formal telah ada keputusan Mendikbud tanggal 5 Agustus 1993 Nomor 0239/ U/ 1993 tentang pembentukan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan  (BP3) Yang keberadaanya di maksudkan untuk mewadahi peran serta orang tua masyarakat disubordianasikan di bawa kepala bagian sekolah sebagai pembinanya.[6]
Selama ini penyelenggara partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada keikutsertaan anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-program pembangunan .Hal ini di pahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah dan Negara .Dalam implementasi partisipasi mayarakat , seharusnya snggota masyarakat , seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah namunharus dapat mewakili masyarakat itu sendiri dengan kepentingan mereka . Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara individu atau kelompok ,spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau sesaat,



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Operasional dan Pembatasan Masalah
Ada beberapa definisi operasional yang kami maksud daldm pembahasan makalah ini, antara lain: Peranan adlah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat yang dapat terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga factor pendukungnya, yaitu:adnya kemauan, kemampuan dan kesempatan .Masyarakat adalah masyarakat muslim, yakni kelompok warga Negara indinesia non pemerintah yang memounyai perhatian dan peranan dalam pendidikan Pendidikan agama adalah pendidikan agama Islam,terutama di sekolah formal maupun non formal.
Selanjutnya, pembahasan dalam makalah ini akan kami fokuskan pada rumusan pertanyaan sebagai berikut:
1.      Mengapa masyrakat perlu berperan dalam pendidikan agama ?
2.      Apakah yang mendasari peran serta masyarakat dalam pendidikan agama?
3.      Apakah bentuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama?

B.     Dasar-Dasar Peranan Masyarakat dalam Pendidikan Agama
Diantara dasar-dasar yang menjadi landasan peranan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama adalah:
1.      Tanggung Jawab Individu Masyarakat
Al-Syaibany yang di kutip oleh Zakiyah Daradjat mengemukakan sebagai berikut : ‘’diantara ulama mutakhir yang menyentuh persoalan tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi manusia pada pengertian al-Qur’an dan islam , sehingga dapat ditafsirkan manusia sebagai “Makhluk yang bertanggung jawab “. Sebagaimana dalam alqur’an, Allah berfirman :
"Dan orang-orang yang beriman , dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan ,Kami hubungkan anak cucu mereka dengan neraka, dan Kami tiada meng  urangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang di  kerjakanya.
Allah berfirman: QS. At-Tahrim, 66:6
Hai orang-orang yang beriman , peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adlah manusia dan batu;penjaganya malikat-malaikat yang kasar-kasar dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada dan selalu mengerjakan apa yang di perintahkan
Sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai asas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial dan menjadikan masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, dan memerintahkan yang ma’ruf dan yang melarang yang mungkar dimana manusia memiliki tanggung jawab manusia melebihi perbuatan-perbuatanya yang khas, perasaanya, pikiran-pikiranya, keputusan-keputusanya, dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar  yang mengelilinginya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab tentang apa yang  berlaku pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang lain itu termasuk orang yang berada di bawah perintah dan pengawasanya seperti istri , anak dan lain-lain Allah berfirman :QS. Ali Imron. 3:110
"Kamu adalah umat yang terabik yang di lahirkan untuk manusia , menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang yang mungkar , dan beriman kepada Allah sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada  yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”
Dengan demikian jelaslah bahwa tanggung jawab dalam islam bersifat perseorangan dan sosial sekaligus. Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab terhadap perbuatanya orang-orang yang berada di bawah perintah, pengawasann, tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya.Ini berlaku saat diri pribadi, istri, bapak, guru, golongan, lembaga-lembaga pendidikan pemerintah.
Sesungguhnya, Muhammad saw. Menyeru umat seluruh dunia agar menyembah hanya kepada Allah, lalu kami mendengarkan seruan itu dan menyatakan masuk islam, maka ini sesuai dengan firman Allah swt:

2.      UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003
Reformasi yang di lakukan oleh pemerintah dewasa ini adalah lebih mengedepankan peran serta masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional berubah pulalah pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam bdunia pendidikan.ibPasal 54 Undang-Undang Nomor 20 Tahun2003 menyatakan bahwa:
1.      Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok keluarga, organisasi profesi pengusahs dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan .
2.      Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pelaksana dan pengguna hasil pendidikan. Sedangkan pasal 56 menyatakan:
a.       Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan dan komiate sekolah/madarasah
b.      Dewan pendidikan sebagi lembaga mandiri di bentuk dan berperan dlam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarki.
c.       Komite sekolah /madrasah, sebagai lembaga mandiri di bentuk dan berperan dalam peningkatan mutu ppelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasn pendidikan.

C.    Tantangan Pendidikan Agama
Sebelum menjelaskan tentang peranan masyarakt dlam peningkatan pendidikan agama, ada baiknya diketahui terlebih dahulu tentang apa yang menjadi tantangan pendidikan agama. Sehingga peranan yang di mainkan masyarakat tersebut pada gilirsnya sekaligus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang saat ini tengah di hadapi pendidikan agama. Diantara persoalan-persoalan tersebut adalah:
a.      Krisis Moral Akhlak
Memperhatikan kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita tentunya penyelenggara pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengtasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu.
Pendidikan agama adalah termasuk nilai. Pendidikan nilai apapun tidak mudah menanamkannya kepada pribadi anak didik, karena banyak factor yang mempengaruhinya, baik factor penunjang maupun faktro penghambat. Sebagai contoh, ada seorang anak yang di dalam rumah mendapat pendidikan yang baik karena kebetulan bapak ibunya guru. Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan yang nakal, yang sering mengajaknya main judi, mereka bersenang-senang ke tempat mesum. Bapak ibunya tidak tahu kelakuan anaknya yang sesungguhnya. Seharusnya, setiap anak mengikuti apa yang dikehendaki Allah atau menaati orang yang telah menerima wahyu dari-Nya.  Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan barang siapa menyerahkan wajahnya (seluruh hidup dan totalitan dirinya) kepada Allah sedangkan dia muhsin (orang yang selalu berbuat yang lebih baik), maka sungguh dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang kukuh, dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan” (Q.S. Luqman: 22)
Keberhasilan pendidikan tidak dapat diandalkan pada pendidikan formal di sekolah saja, tetapi diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan di luar sekolah, yaitu poendidikan dalam keluarga (informal) dan masyarakat (non formal). Pengaruh factor luar skeolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah yang serius pada dewasa ini .Misalnya, para siswa di sekolah dididik menjadi anak yang jujur, tapi kenyataanya dalam masyarakat, merekamenjumpai perilaku suap menyuap, korupsi, pungli, dan selingkuh merajalela. Di sekolah mereka dididik berbusana sopan dan menjauhi minuman keras , tetapi dalam tayangan televise ataupun perilaku turis asing yang datang ke Indonesia banyak yang berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman keras merupakan kebiasaan mereka sehari-hari.
Menurut hemat kami, perlu diingat! Kemerosotan akhlak tidak dpat dicaarikan kambing hitamnya dengan menyatakan, bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di sekolah yang kurang berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak factor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya krisis ekonomi menyebabkan banyak orang sulit mencari sesuap nasi.
Akhirnya mereka nekat mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur, dan lain-lain, Contoh lain, karena pengaruh globalisasi, orang ingin mencontoh gaya hidup mewah, maka karyawan atau pegawai rendahpun ingin memiliki kendaraan bermotor. Akhirnya mereka berupaya mencari uang dengan cara apapun asal bisa memiliki kendaraan bermotor.
Kiranya perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkelahian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme”dan berbagai bentuk kejahatan lainya merupakan tantangan bagi para pendidik, tojoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru0guru agama tidak dapat di persalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”.Guru agama tidak dapat dipersalahkan pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan ersikap kurangajar! Banyak factor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya” kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata:”apa yang terjadi, terjadilah!
“Tokoh-tokoh islam, ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif untuk ikut mengulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan kejahatan di kota-kota besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indicator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengalaman keagamaan umat islam Indonesia
b.      Disorientasi fungsi keluarga
Fungsi keluarga yang dikenal sebagai tempat pendidikan utama dan pertama nampaknya saat ini sudah berubah seiring dengan era globalisasi kehidupann ini. Fungsi keluarga yang semula menjadi basecamp pendidikan pertama bagi anggota keluarga (anak,ibu,dan bapak), saat ini mulai bergeser keluar, yakni bisa berpindah ke lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ibu yang sering disebut sebagai “madrasatul ula”saat ini sudah banyak yang bekerja berprofesi di luar rumah, sehingga pada gilirannya anggota keluarga, terutama anak-anak sering menjadi korban kurang terperhatikan terutama dalam kebutuhan psikologisnya, tingkat kedekatan dan kasih sayangnya. Akhirnya mereka banyak yang sering melampiaskan kegiatannya ke luar ke rumah, dan terjerumus ke jurang kenistaan dan kehinaan.
c.       Lemahnya Learning Society
Seiring dengan era globallisasi dimana sikap individualitas semakin menguat dan gaya interaksi antar individu tersebut sangat fungsional. Maka hal tersbeut telah berakibat pada lemahnya peran serta masyarakat dalam pembelajaran di lingkungan keluarga. Learning society secara praktek sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia meski belum secara maksimal, namun secara masih meraba-raba. Dalam batasan ini, adapun yang dimaksud dengan learning society adalah pemberdayaan peran masyarakat dalam keluarga dalam bidang pendidikan, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Selama ini peran pendidikan formal, dalam arti sekolah, yang baru mendapatkan perhatian. Sementara pendidikan nonformal dan informal di Indonesia belum mendapatkan perhatian hanya dalam porsi yang sedikit.
d.      Menguatnya Paham Sekular dan Liberal
Diantara tantangan yang cuku serius yang dihhadapi pendidikan agama adalah menguatnya paham secular dan liberal. Kedua paham tersebut tak jarang menjadikan kebingungan di kalangan masyarakat; sekularisme () adalah sebuah gerakan yang menyeru kepada kehidupan duniawi tanpa campur tangan agama. Ini berarti bahwa dalam aspek politik dan pemerintahan juga harus berdasar pada sekularisme. Sementara liberalisme adalah paham  kebebasan dalam memahami syari’at, yaitu dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad yang menekankan aspek kontesktualitas, historis, rasio sehingga hokum Islam menjadi relative dan tidak ada kepastian. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif, MA. Gerakan-gerakan Islam manstream yang selama ini bertindak sebagai arus tengah dinilai gagal menegaskan identitas, posisi dan orientasi perjuangannya di tengah kuatnya intervensi politik global, liberalisme, dan sekularisme. [7]
e.       Masih kuatnya manajemen patriarki
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering didapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsure pemangku kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga karabat, misalnya dari unsure ketua yayasan, Pembina, pengawas, pengurus, kepala sekolah, bahkan guru dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi amanjemen organisasi kelembagaan yang ada. Yang sudah barang tentu akan mengganggu pada profesionalitas manajemen pengnelolaan lembaga tersebut. Termasuk dalam pengembangan pendidikan agama, apabila manjemen yang digunakan masih nerpusat pada manajemen keluarga (patriarki), maka dapat dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan.

D.    Peranan Masyarakat Dalam Pendiidkan Agama
Berdasarkan pada tantangan yang dihadapi pendidikan agama dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tersebut di atas, maka bentuk-bentuk peranan masyrakat dalam meningkatkan pendidikan agama adalah sebagai berikut:
1.      Revitaliasi dan Reorientasi Pendidikan Agama di Keluarga
Anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki peranan yang strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama. Tanggung jawab ornag tua dalam memberikan pendidikan agama terhadap anggota keluarga akan member dampak yang paling nyata dalam peningkatan pendidikan agama. Dengan contoh nsuri tauladan yang baik dalam perilaku keagamaan keluarga, akan lebih efektif pribadi yang sempurna (berkepribadian islami).
Di tengah-tengah terjadinya disfungsi keluarga sebaga lingkungna pendidikan pertama dan utama adalah peranan nyata anggota masyarakat saat ini untuk mengembalikan fungsinya sebagai “Madrasatul Ula”. Fungsi-fungsi anggota keluarga harus kembali mendapat penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu, maupun anak, yang merupkaan lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.
2.      Pembiayaan, Pemberian Bahan dan Sarana Pendidikan Agama dan Keagamaan
Salah satu peluang untuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama dan keagamaan adalah dalam hal pembiayaan pendidikannya. Peran serta masyarakat juga dapat berupa wakaf tanah, untuk penambahan bangunan madrasah, sarana penunjang pendidikan agama, seperti masjid madrasah dan sarana penunjang lainnya. Sebagaimana pernah dilakukan pula oleh masyarakat pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana sarjana Baitul Hikmah melakukan gerakan wakaf tanah untuk fasilitas pendidikan, seperti perpustakaan dan sebagainya.
3.      Penguatan Learning Society dalam Pendidikan Agama
Salah satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah masjid, mushola, langgar, dan sejenisnya. Dapat dipastika hampir tiap RW memiliki masjid atau mushola, yang secara umum mempunyai jamaah masing-masing (yang terdiri dari anggota masyarakat). Dalam konteks ini masjid telah berfungsi sebagai tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan keagamaan/keislaman. Pusat-pusat pembelajaran masyarakat tentang agama telah berdiri di masjid selama berabad-abad sehingga sampai sekarang .Namun di era teknologi informasi-globalisasi yang meng-hegemony hampir seluruh lapisan kehidupan, maka tradisi mengaji di masjid, mushola dan langgar pada saat ini berkurang. Jutaan masyarakat muslim yang biasa belajar agama selepas sholat magrib sambil menunggu sholat isya’. Sekarang telah beralih di depan televise, menonton sinetron dan atau jalan-jalan ke mall.
Untuk menjadikan lembaga pendidikan agama dan keagamaan (seperti madrasah) yang bermutu, maka menurut Afifudin aspek-aspek suatu sekolah/madrasahnya di dipersyaratkan memunyai standar mutu pula, antara lain aspek administrasi /menejemen, Aspek Ketenagaan, Aspek Kesiswaan, Aspek Kultur Belajar, Aspek Sarana dan Prasarana.
4.      Penguatan Menejemen Pendidikan Agama
Salah satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas di kelola swasta, antara lain masih kuatnya menejemen patriarki-ashabiyah. Maksudnya bahwa para pengelola biasanya terdiri dari keluarga, sehingga yang di dahulukan adalah unsure kebersamaan.dan terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang banyak terjadi adalah antara kepala madrasah/sekolah denagan bendahara sekolah adalah suami istri, gurunya juga adalah anak dari kepala madrasah/sekolah tersebut, dan kerabat lainnya.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur menejemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-program sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas dan reabilitas unsur-unsur yang adasulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat sering mengawasi terhadap menejemen lembaga pendidikan  agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.



BAB III
Kesimpulan

Ada beberapa definisi operasionalyang kami maksud dalam pembahasan makalah ini, antara lain peranan adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat yang dapat terwujud sebagai suatu kegiatan  yang nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukung, yaitu adanya kemauan, kemampuan dan kesempatan. Masyarakat adalah masyarakat muslim, yakni kelompok warga  negara indonesia non pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam pendidikan agama. Pendidikan agama adalah islam, disekolah formal maupun non formal.   


DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, “Pendidikan Islam”, (Bandung: Angkasa, 2003), h. 144
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, “Ilmu Pendidikan”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), Cet. Ke. 2, h. 184
Hasbullah, “Dasar-dasar Ilmu Pendidikan”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. Revisi, h. 55
UU RI Nomor20 Tahun 2003,’’Sistem Pendidikan Nasional ‘’, dan UU RINomor 14 Tahun2005 ,’’Guru dan Dosen’’,(Jakarta; Visimedia, 2007)cet. Ke 1, h. 7
Nasution ,’’Sosiologi Pendidikan ,’’(Jakarta Bumi Aksara, 2011), cet, ke 6, h.60
Abuddin Nata,'Pendidikan Islam’’,(Bandung ;Aksara, 2003), h 145
Header Nashir, “Islam Syari’at”, (Bandung: Miza, 2013), h. 15



[1] Abudin Nata, “Pendidikan Islam”, (Bandung: Angkasa, 2003), h. 144
[2] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, “Ilmu Pendidikan”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), Cet. Ke. 2, h. 184
[3] Hasbullah, “Dasar-dasar Ilmu Pendidikan”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. Revisi, h. 55
[4] UU RI Nomor20 Tahun 2003,’’Sistem Pendidikan Nasional ‘’, dan UU RINomor 14 Tahun2005 ,’’Guru dan Dosen’’,(Jakarta; Visimedia, 2007)cet. Ke 1, h. 7
[5] Nasution ,’’Sosiologi Pendidikan ,’’(Jakarta Bumi Aksara, 2011), cet, ke 6, h.60
[6] Abuddin Nata,'Pendidikan Islam’’,(Bandung ;Aksara, 2003), h 145
[7] Header Nashir, “Islam Syari’at”, (Bandung: Miza, 2013), h. 15
Perbandingan Pendidikan: Sistem Pendidikan Agama Di Masyarakat Perbandingan Pendidikan: Sistem  Pendidikan Agama Di Masyarakat Reviewed by Unknown on 1:57 AM Rating: 5

1 comment:

  1. According to Stanford Medical, It's really the SINGLE reason women in this country get to live 10 years longer and weigh an average of 42 pounds lighter than us.

    (And realistically, it has totally NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING about "HOW" they are eating.)

    BTW, What I said is "HOW", not "what"...

    Click this link to see if this short questionnaire can help you decipher your true weight loss potential

    ReplyDelete

ads
Powered by Blogger.