WAKALAH DALAM PEMBIAYAAN
MAKALAH
WAKALAH DALAM PEMBIAYAAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah BMT
Dosen Pengampu: M. Ahkamuddin Arrofi,
S.EI., MM
Disusun
Oleh:
DIDIE MASYHADI AL FALAH
(1282681)
Kelas:
A
Semester:
VI
Prodi: Pendidikan Agama Islam
Jurusan:
Tarbiyah
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI
SIWO METRO
TA.
2015
WAKALAH DALAM PEMBIAYAAN
A. Pengertian Wakalah
Wakalah secara etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Sedangkan secara
terminologi wakalah adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak
lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i
menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.[1]
Para ulama memberikan
definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu: Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang
menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan).
Sedangkan Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa wakalah adalah
seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika
hidupnya.[2]
Hal kaitannya dengan wakalah menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Buku II. Bab I, pasal 20 ayat 19
bahwasannya wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain
untuk mengerjakan sesuatu. Menurut KUHPer mengenai wakalah terdapat
dalam Buku III, Bab VIII pasal 1792 dipasal tersebut diterangkan bahwa pemberi
kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang
lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberikan kuasa.
Dalam wakalah sebenarnya
pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah untuk
mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal urusan
itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya.
Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang
tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil
maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti
seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.[3]
B. Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyariatkan wakalah karena
manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya
secara pribadi dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak
sebagai wakilnya. Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah,
karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah
QS. Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَاب.
“Dan tolong-menolong lah
kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong
dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.”
Dalil lainnya yang dijadikan rujukan adalah QS.
Al-Baqarah ayat 283:
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam Hadis dari Sulaiman
bin Yasar, bahwa wakalah bukan hanya diperintahkan diperintahkan oleh Nabi
tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya. Bahwa Nabi pernah mewakilkan kepada
Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah.(HR. Malik)
dan Rasulullah juga pernah mewakilkan dalam membayar utang, mewakili dalam
mengurus untanya.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah).[4] Adanya wakalah juga terdapa dalam KHES Pasal 20 angka 19 dan KUHPerdata pasal 1792.
Rukun wakalah dalam
KHES pasal 452 ialah:
1. Wakil (orang
yang mewakili)
2. Muwakkil (orang
yang mewakilkan)
3. Muakkal
fih (sesuatu yang diwakilkan)
4. Shighat (lafadz
ijab dan qabul)
Adapun syarat yang
menjadi wakalah sebagai berikut:
1. Wakil (orang
yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 457 KHES bahwa orang yang menjadi
penerima kuasa harus cakap bertindak hukum, maksudnya disini seseorang yang
belum cakap melakukan perbuatan hukum tidak berhak mengangkat penerima kuasa
seperti seorang anak yang masih dalam pengampuan tetapi apabila anak yang masih
dalam pengampuan itu boleh diangkat sebagai penerima kuasa asal dia
menghasilkan perbuatan yang menguntungkan bagi pemberi kuasa, dan tidak
merugikan tetapi dengan adanya seizin walinya.
Dalam KUHPer pasal 1798
dijelaskan seorang perempuan dan anak yang belum dewasa itu dapat ditunjuk
menjadi kuasa tetapi pemberi kuasa itu tidak berwenang untuk mengajukan
tuntutan hukum kepada anak yang belum dewasa, dan seorang perempuan bersuami
pun jika tanpa adanya bantuan dari suami, ia tidak beerwenang mengadakan
tuntutan hukum.
2. Muwakkil (orang
yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 458 bahwa seseorang yang menerima kuasa
harus sehat akal pikiran maksudnya tidak gila, orang yang berakal sehat dan
tidak idiot serta ia cakap perbuatan hukum meski tidak perlu dewasa tapi dengan
adanya izin dari walinya dan tidak berhak dan berkewajiban dalam transaksi
karenanya itu dimiliki oleh pemberi kuasa.
3. Muakkal
fih (sesuatu yang diwakilkan) dalam ketentuan pasal 459 sesuatu yang
diwakilkan itu bisa berupa seseorang dan/ atau badan usaha berhak menunjuk
pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang
dapat filakukannya sendiri, memenuhi kewajiban, dan/ atau yang mendapatkan
suatu hak dalam hal transaksi yang merupakan menjadi hak dan tanggung jawabnya.
4. Shighat (lafadz
ijab dan qabul) dalam Fatwa No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, bahwa
pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dan wakalahdengan
imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.[6] Jadi akad pemberian kuasa bisa
terjadi apabila adanya ijab dan qabul, sedangkan akad tersebut dikatakan batal
itu jika si penerima kuasa menolak untuk menjadi penerima kuasa. (pasal 452
ayat 2 dan 4).
Adapun bentuk-bentuknya
dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan
dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah:
1. Wakalah Muqayyadah (khusus),
yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil
tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. Maka melakukan perbuatan
hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)
2. Wakalah
Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam
pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas. Maka
melakukan perbuatan hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)
Sedangkan KUHPer pasal
1795 dan 1796 Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya
mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi
segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum
hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan
hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan
lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu
pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
E. Hak dan Kewajiban dalam Wakalah
1. KHES
Buku II Pasal 457-500
Hak wakil
Jika penerima kuasa menyalahi akad, maka pemberi kuasa berhak menolak
atau menerima perbuatan tersebut.
Kewajiban wakil
Pemberi kuasa berkewajiban menyatakan jenis barang yang harus dibeli.
Hak muwakil
Penerima kuasa berhak menolak untuk menjadi penerima kuasa.
Kewajiban muwakil
Wajib bertanggung jawab atas pembiayaan yang macet yang terjadi karena
kelalaiannya.
2. KUHPerdata
Bab XVI pasal 1792
Hak dan
Kewajiban
a) Kewajiban
penerima kuasa:
- Wajib melaksanakan kuasanya dan
bertanggungjawab atas segala biaya dan kerugian yang timbul.
- Bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan
yang dilakukannya dalam menjalankan kuasanya.
- Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang
apa yang telah dilakukannya.
- Bertanggung jawab atas orang lain yang
ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.
b) Hak
penerima kuasa:
- Penerima kuasa berhak menahan kepunyaan
pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala
sesuatu yang dapat dituntutnya.
Hak dan Kewajiban
a) Kewajiban
pemberi kuasa:
- Wajib mengembalikan biaya yang telah
dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya.
- Memberi ganti rugi atas kerugian-kerugian
yang dialami penerima kuasa sewaktu menjalankan tugasnya.
- Memberikan upah kepada penerima kuasa atas
jasanya.
b) Hak
pemberi kuasa:
- Menerima laporan mengenai kegiatan-kegiatan
penerima kuasa.
- Menggugat penerima kuasa yang telah melakukan
penyelewengan dan dapat pula mengajukan tuntutannya.
F. Akibat Hukumnya
Pemberian kuasa ialah
suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang
menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberikan kuasa. Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum,
dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan
lisan.
Penerimaan suatu kuasa
dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan
kuasa itu oleh yang diberi kuasa. Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma,
kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang
terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh
meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu
kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala
kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya
meliputi tindakan- tindakan yang menyangkut pengurusan
Untuk memindahtangankan
barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian,
ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang
pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Penerima
kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang
diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak
untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
Orang-orang perempuan dan
anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah
berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum
dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan
yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan
bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk
mengadakan tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab 5 dan 7 Buku
Kesatu dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini. Pemberi kuasa
dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah
melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan
kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.
G. Berakhirnya Wakalah [8]
Berhentinya akad wakalah ini
bisa terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Salah satu
pihak meninggal dunia.
2. Telah
berakhirnya atau telah sempurnanya aktivitas atau urusan yang diwakilkan.
3. Jika muwakkil
memberhentikan wakilnya, hal ini terjadi dalam kondisi apapun sekalipun tanpa
adanya kesalahan dari wakil.
4. Wakil
memberhentikan dirinya sendiri.
5. Perkara yang
diwakilkan telah keluar dari kepemilikan atau wewenang muwakkil.
H. Contoh Wakalah
Transfer uang adalah proses yang menggunakan
konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah
sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan
perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening
orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari
rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan
sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum
Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Dewi, Gemala., Wirdyaningsih., dan Yeni Salma Bariliati. Hukum Perikatan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana. 2005.
Ghazaly, Abdul Rahman., Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqh
Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2010.
Lathif dan AH. Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005.
Rais, Isnawati dan
Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.
[1]
Azharuddin Lathif, Fiqh
Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hal 171
[2]
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), hal 179
[3]
Abdul Rahman Ghazaly,
Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010), hal 187
[5]
Isnawati Rais dan
Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), hal 182
[6]
Zainuddin Ali, Hukum
Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 356
[7]
Gemala Dewi, Wirdyaningsih
dan Yeni Salma Bariliati, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2005), hal 135
[8]
Isnawati Rais dan
Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), hal 184
WAKALAH DALAM PEMBIAYAAN
Reviewed by Unknown
on
6:29 AM
Rating:
No comments: