SYIRKAH, MUDHARABAH, MUSAQAH, MUZARA’AH, MUHABARAH
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih 1
Dosen
Pengampu: Muhammad Ali, M.Pd.I
Disusun
Kelompok 9:
Dani
Setiawan (1282491)
Didie
Masyhadi Al Falah (1282681)
Lina
Diana Wati (1283641)
Putri
Astari (1284291)
Kelas/
Semester: A/III
Jurusan/
Prodi : Tarbiyah/ PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI
SIWO METRO
BAB
1
PENDAHULUAN
Syirkah
menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang beraati campuran atau percampuran.
Demikian dinyatakan oleh Taqiyudin. Maksud percampuran di sini ialah seseoramg
mempercampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk
di bedakan. Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar.
Syafi’iyah
berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkan ‘inan, sedangkan
syirkah yang lain batal. Mudharabah adalah
bahasa penduduk Irak dan Qiradh atau muqaradhah bahasa penduduk
Hijaz. Namun, pengertian qiradh atau mudhaharah adalah satu
makna.
Melakukan mudharabah atau
Qiradh adalah mubah (mubah ).
Musyaqah
di
ambil dari kata al-saqa, yaitu seorang bekerja pada pohon tamar, angfur
(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainya supaya mendatangkan kemasalahatan
dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan. Menurut
bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama almuzara’ah yang
berarti tharh al-zur’ah (melempar tanaman), maksudnya adalah modal.
Makna yang pertama adalah makna majaz dan yang kedua adalah makna hakiki.
Muzara’ah dan
mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat
teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya
menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bias saling
menguntukan.
BAB
II
PEMBAHASAN
KERJA
SAMA ( SYIRKAH )
A. Pengertian
Syirkah
Syirkah
menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang beraati campuran atau percampuran.
Demikian dinyatakan oleh Taqiyudin. Maksud percampuran di sini ialah seseoramg
mempercampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk
di bedakan.
Menurut
istilah, yang di maksudkan dengan syirkah, para fuqaha berbeda pendapat
sebagai berikut:
1. Menurut
Sayyid Sabiq
عقد
بين المثشا ر كين فى رأس المال و الر بح
“ Akad antara dua orang
berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”
2. Menurut
Muhammad al-Syarbini al-Khatib
شبو
ت الحق لاشنين فا كشر على جحة الشيوع
“ ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan
cara yang mashyur ( di ketahui)”
3. Menurut
Imam Taqiyudi Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
عبا
رةعن الحق فى الشيئ الواحد لشخصين فصا عدا على جهة الشيو ع
“ Ibarat penetapan
suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang di
ketahui “
4. Menurut
Hasbi Ash-Shiddieqie
عفد
بين شخصين فا كشر على التعا ون فى عمل اكتسا بى اقتسا م اربا حه
“ Akad yang berlaku
antara dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja dalam suatu usaha dan
membagi keuntungan “
Setelah
di ketahui definisi Syirkah menurut para Ulama- ulama, kiranya dapat di
pahami bahwa yang di maksud Syirkah adalah
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan
kerugiannya di tanggung bersama.[1]
B. Rukun
– rukun dan Syarat Syirkah
Rukun Syirkah
di perselisihan oleh para ulama,
menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun Syirkah ada dua, yaitu ijab dan
kobul sebab ijab kobul yang menentukan akan adanya Syirkah.
Syarat –syarat
yang berhubungan dengan Syirkah menurut Hanafiyah di bagi menjadi empat
bagian berikut :
1. Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk Syirkah baik dengan harta maupun
dengan lainnya.
2. Sesuatu
yang bertalian dengan harta, dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus di
penuhi yaitu. A) modal dalam syirkah mufadwahah harus sama. B) yang di jadikan
modal ada ketika akad dilakukan, baik jumlahnya sama ataupun berbeda.
3. Sesuatu
yang bertalian dengan dengan muwadfahah, disyaratkan. A) modal dalam syirkah
muwadfahah harus sama, b) bagi yang bersyirkah ali untuk kafalah, c) bagi yang
di jadikan objek akad di syaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual
beli atau perdagangan.
Menurut
Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah
merdeka, baligh, dan pintar.
Syafi’iyah
berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkan ‘inan, sedangkan
syirkah yang lain batal.[2]
C.
Macam-macam Syirkah
Menurut
Hanafiyah, secara garis besar Syirkah di bagi dua bagian yaitu syirkah
milk dan syirkah ‘uqud. Syirkah milk juga di bagi menjadi dua macam
: syirkah milk jabar dan syirkah milk ikhtiyar. Syirkah ‘uqud
di bagi menjadi tiga macam, yaitu
syirkah ‘uqud al-mal, syirkah ‘uqud bi al-abdan, syirkah ‘uqud bi-alwujuh.
syirkah ‘uqud bi al-mal di bagi dua : syirkah ‘uqud bi al-malmuwadfahah dan
syirkah ‘uqud bi al-mal ‘inan. syirkah ‘uqud bi al-abdan di bagi
dua : syirkah ‘uqud bi al-abdan muwadfahah dan syirkah ‘uqud bi
al-abdan ‘inan. Syirkah ‘uqud bi al-wujuh di bagi menjadi dua bagian
: syirkah ‘uqud bi al-wujuh mufadfahah dan syirkah ‘uqud bi al-wujuh
‘inan.
Pengertian
sirkah milk :
عبا رة عن ان يتملك شخصا ن فا كشر من غير
عقد الشر كة
“Ibarat dua orang atau
lebih memiliki suatu benda kepada yang lain tanpa akad syirkah”
Maksud syirkah al- ’uqud :
عبا رة عن العقد الواقع
بين اثنين فا كثر للا شتراك فى ما ل ور بحه
“Ibarat
antara akad yang terjadi antara dua orang
atau lebih untuk berserikat dalam harta dan keuntungan”
Maksud
syirkah al-jabr :
أنيجتمعا شخصا ن فى ملك عين قهرا
“Berkumpulnya
dua orang lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa”
Maksud
syirkah al-ikhtiyar :
أن يجتمعا فى ملك عين با ختيارهما
“berkumpulnya
dua orang atau lebih dalam pemilikan benda dengan ikhtiyarnya”.
Al-syirkah
bi al-mal :
عبار ةعن أن يتفق اثنان يتفق اشنان فأ كثر
على ان يد فع كل وا خد منهما مبلعا من المل ل ستشما ره بل عمل فيه ولكل وا حد من
الشر كاء جزء معين من الر بح
“Ibarat
kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka
masing-masing supaya memperoleh hasil
dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian
yang di tentukan dari keuntungan.”
Syirkah
al-wujuh iayalah :
ان يشتر كاثنان ليس لهما مال ولكن لهماو
جا هة
“dua
orang yang berserikat atau pihak yang tidak ada hartanya di dalamnya tetapi
keduanya sama-sama berusaha”
Syirkah
al-wujuh mufawadhah ialah :
ان يكونا من اهل الكفا لة وان يكن المشترى
بينهما ىصفين
“keduanya
termasuk ahli kafalah dan dalam pembelian masing-masing setengah”
Syirkah
al-wujuh ‘ian :
أن يفوت شيئ من هده القيود كان لايكونا من
أهل الكفالة او يتفا ضلا فيما فيما لمشتر بيه
“
suatu ikatan yang berkeseimbangan seolah-olah bukan ahli kafalah atau seperti
tak ada kelebihan bagi penjual atau pembeli”[3]
D. Mengakhiri
Syirkah
Syirkah
akan berakhir bila terjadi hal-hal berikut :
1) Salah
satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain sebab
syirkah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua pihak yang tidak
ada kemestian untuk di laksanakan apabila salah satu pihak tidak
menginginkannya lagi. Hal ini menunjukan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah
saatu pihak.
2) Salah
satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (keahlian mengelola harta),
baik karena gila maupun hal yang lainnya.
3) Salah
satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggita syirkah lebih dari dua
orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
4) Salah
satu pihak di taruh diantara pengampuan, baik boros pada waktu perjanjian
syirkah maupun sebab yang lain.
5) Salah
satu pihak jatuh bangrut yang akibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi
saham syirkah.
6) Modal
para anggota syirkah lenyap sebelum di belanjakan atas nama syirkah. Bila modal
tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga dapat di pisah-pisah
lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri.[4]
MUDARABAH
ATAU QIRADH
A.
Pengertian
Mudharabah atau Qiradh
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan Qiradh atau muqaradhah
bahasa penduduk Hijaz. Namun, pengertian qiradh atau mudhaharah
adalah satu makna.
Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara
harfiyah adalah berpergian atau berjalan. Sebagaimana firman Allah :
واخورن بضربو ن فى الارض
يبتغون فضل الله
Dan
yang lainnya, berpergian di muka bumi ini mencari karunia Allah (Al-Muzammil : 20 )
Selain al-dharb, di
sebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu berarti al-qathu
(potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan
dan memperoleh sebagian keuntungannya.[5]
B. Dasar Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah atau
Qiradh adalah mubah (mubah ). Dasar hukumnya ialah sebuah hadist yang
dirwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuaib r.a, bahwasanya Rosulluloh SAW. Telah
bersabda :
شلا ث فيهن البر كة
البيع الى اجل والمقا ر ضة و خلط البر با لشعير للبيت ولا للبيع
“Ada tiga perkara yang di berkati
: jual beli yang di tangguhkan, member modal, dan mencampur gandum dengan jelai
untuk keluarga, bukan untuk di jual.”
Diriwayatkan
dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila membari modal kepada seseorang,
dia mensyaratkan : “ harta jangan di berikan untuk membeli binatang, jangan
kamu bawa ke laut, dan jangan kamu bawa menyebrangi sungai, apabila kamu
lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertangun jawab
pada harta ku.”[6]
C. Rukun
dan Syarat Mudharabah
Menurut
ulama Syafi’iyah, rukun – rukun qiradh ada enam, yaitu :
1. Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2. Orang
yang bekerja, yaitu mengelola barang yang di terima dari pemilik barang.
3. Aqad
mudharabah, di lakukan ileh pemilik dengan pengelola
barang.
4. Mal,
yaitu harta pokok atau modal.
5. Amal,
yaitu pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba.
6. Keuntungan.
Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah
adalah ijab dan qabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.
Syarat –syarat sah Mudharabah
berhubungan denga rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat –syarat Mudharabah
adalah sebagai berikut:
1. Modal
yang di serahkan adalah berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas
atau perk batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah
tersebut gagal.
2. Bagi
orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tashharuf, maka di
batalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang yang di bawah
pengampuan.
3. Modal
harus di ketahui dengan jelas agar dapat di bedakan dengan jelas agar dapat di
bedakan antara modal yang di perdagangkan dengan laba atau keuntungan dari
perdagangan tersebut yang akan di bagikan oleh kedua belah pihak sesuai dengan
perjanjian yang di sepakati.
4. Keuntungan
akan menjadi milik penngelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya,
umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.
5. Melafadzkan
ijab dari pemilik modal, misalkan aku serahkan uang kepada mu ini untuk dagang
jika ada keuntungan akan di bagi dua dan kabul dari pengelola.
6. Mudharabah
bersifat
mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara
tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu,
sementara di waktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering
menyimpang dari tujuan akad Mudharabah yaitu keuntungan. Bila dalam Mudharabah
ada persyaratan-persyaratan, maka Mudharabah tersebut akan rusak.[7]
D. Kedudukan
Mudharabah
Hukum
mudharabah berbeda karna adanya perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang
di jadikan modal dalam mudharabah juga tergantung pada keadaan.
Karena
pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka
pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam pengelolanya, dan
kedudukan modal adalah sebagai objek wakalah.
Ketika
harta di tasharufkan oleh pengelola, harta tersebut di berada di bawah
kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, sehingga harta
tersebut berkedudukan sebagai amanat. Apabila harta itu rusak bkan karena
kelalaian pengelola, ia tidak wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena
kelalaian pengelola, ia wajib menanggungnya.
Di
tinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada
keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu di bagi dua dengan persentasenya
yang di sepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharabah
juga sebagai syirkah.
Di
tijau dari segi keuntungan pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai
bayaran dari tenaga yang di keluarkan, sehingga mudharabah dianggap
sebagai ijarah (upah-mengupah atau sewa –menyewa).
Apabila
pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah di
sepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah.[8]
E. Biaya
Pengelolaan Mudharabah
Biaya
mudharib diambil dari harta sendiri selama ia tinggal di lingkungan (daerahnya)
sendiri, bila ia melakukan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya
kepentingan Mudharabah di ambil dari keuntngan, kemungkinan pemilik modal tidak
akan memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya itu sama besar
atau bahkan lebih besar dari pada keuntungan.
Namun,
jika pemilik modal mengizinkan pemgelola
untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di trngah
perjalanan atau penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh
menggunakan modal mudharabah.
Kiranya
dapat di pahami bahwa biaya pengelola mudharabah pada dasarnya di bebankan
kepada pengelola modal, namun tidak masalah biaya di ambil dari keuntugan
apabila pemilik modal mengizinkan atau berlaku menurut kebiasaannya.[9]
F. Tindakan
Setelah Matinya Pemilik Modal
Jika
pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah
fasakh pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika
pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan iya mengetahui bahwa
pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli warisnya, maka perbuatan
seperti ini di anggap ghasab. Iya wajib menjaamin mengngembalikannya, kemudian
jika modal itu menguntungkan, keuntungannya di bagi dua.
Jika
mudharabah telah fasakh, sedangkan modal berbentuk ‘urud pemilik modal
menggunakan modal menjual atau membaginyakaren yang demikian itu hak berdua. Jika
pelaksanaan setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju,
pemilik modal di paksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam
keuntungan dan tidak memperoleh kecuali dengan menjualnya.[10]
G. Pembatalan
Mudharabah
Mudharabah menjadi
batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut :
1. Tidak
terpenuhi salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu
syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah di pegang oleh
pengelola dan sudah di perdagangkan, maka pengelola mendapat sebagai
keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian,
kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah
sebagai buruh hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu
apa pun, kecuali atas kelainannya.
2. Pengelola
dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola
modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan
seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena
dialah penyebab kerugian.
3. Apabila
pelaksanaan atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal
meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[11]
MUSAQAH
A. Pengertian
Musyaqah
Musyaqah
di
ambil dari kata al-saqa, yaitu seorang bekerja pada pohon tamar, angfur
(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainya supaya mendatangkan kemasalahatan
dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.
Menurut
istilah, al-musyaqah di definisikan oleh para ulama, sebagai berikut :
1. Menurut
Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah :
“akad untuk memelihara
pohon kurma, tanaman dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”
2. Menurut
Malikiyah, al-musaqah ialah :
“ sesuatau yang tumbuh
di tanah “
3. Menurut
Syafi’iyah, al-musaqah ialah :
“ memberikan pekerjaan
orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan
keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan bekerja memperoleh
bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut.”
4. Menurut
Hanabillah, al-musaqah mencakup
dua maslah, yaitu :
·
Pemilik menyerahkan tanah yang sudah di
tanami, bsginys sds bushnys ysng di msksn sebagai bagian tertentu dari buah
pohon tersebut, seperti sepertiga atau setengahnya.
·
Seseorang menyerahkan tanah dan pohon,
pohon tersebut belum di tanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut di tanam pada
tanahnya, yang menanamkan akan memperoleh bagian tersebut dari tanah tersebut.
5. Menurut
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah, al-musaqah :
“ syarikat untuk
memperoleh hasil dari pepohonan”
Setelah
di ketahui definisi-definisi yang di kemukakan oleh para ahli di atas, kiranya
dapat di pahami bahwa yang di maksud dengan al-musyaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk
memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusinya.[12]
B. Dasar
Hukum Musyaqah
Asas hukum
Musaqah ialah sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr
r.a , bahwa Rasulillah SAW. Bersabda :
اعطى
خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر أوزر ع وفىرواية دفع الى اليهود خيبر وأر ضها على
ان يعملو ها من أموالهم وأنلر سول الله ص م شطر ها
“Memberikan
tanah Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahannya
maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain di nyatakan bahwa Rosul
menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk di olah dan modal dari
hartanya, separohnya untuk Nabi.”[13]
C.
Rukun-rukun
dan Syarat Musyaqah
Rukun-rukun musyaqah menurut ulama Yafi’iyah ada lima berikut :
1)
Shigat, yang di lakukan kadang- kadang dengan jelas dan
dengan samara. Disyaratkan shighat dengan lafadz dan tidak cukup dengan
perbuatan saja.
2)
Dua orang atau pihak yang berakad, di
syaratkan bagi orang yang berakad dengan ahli untuk mengelola akad.
3)
Kebun dan sebuah pohon yang berbuah,
semua pohon yang berbuah boleh di paroh, baik yang berbuah tahunan maupun yang
buahnya hanya satu kali kemudian mati.
4) Masa
kerja, hendaklah di tentukan lama waktu yang akan di kerjakan, seperti satu
tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman
atau pohon yang di urus sudah berbuah, juga yang harus di tentukan yaitu
pekerjaan yang harus di lakukan oleh tukang kebun.
5) Buah,
hendaknya di tentukan bagiannya masing-masing .[14]
D. Musyaqoh
yang Diperbolehkan
Para ulama
berbeda pendapat daam masalah doperbolehkan dalam musyaqah. Imam Abu
Daud berpendapat bahwa yang di perbolehkan di- musyaqah-kan hanyalah
buah kurma. Menurrut Syafi’iyah yang boleh di- musyaqah-kan hanyalah
kurma dan anggur saja sedangkan menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai
akar ke dasar bumi dapa di- musyaqah-kan, seperti tebu.
Apabila waktu
lamanya musyaqah tidak ditentukanketika akad, maka waktu yang berlaku
jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk
pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit.[15]
E. Tugas
Penggarapan
Kewajiban
penyiram menurut Imam Nawawi adalah mengerjakan apa saja yang di butuhkan
pohon-pohon dalam rangka pemeliharaan dalam proses untuk mendapatkan buah. Di
tambah pula untuk setiap pohon yang berbuah musiman di haruskan merawatnya
dengan lebih. Maksud memelihara asalnya dan tidak berulang setiap tahun adalah
pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu.[16]
F. Penggarap
Tidak Mampu Bekerja
penggarap tidak
selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi
kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya. Dalam keadaan penggarap tidak
mampu untuk untuk menggarap tugasnya untuk mengarap pohon-pohon, sedangkan
pejualan buah sudah waktunya, menurut Imam Malik, penggarap wajib menyewa orang
lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu mengurus pohon-pohon.
Sedangkan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa musyaqah batal apabila pengelola tidak mampu
lagi bekerja untuk mengurus pohin-pohon yang di kelolanya ada di kebun atau
sawah yang di-musyaqah-kan sebab penggarap telah kehilangan kemampuan
untuk mengarapnya.[17]
G. Wafat
Salah Seorang ‘Aqid
Menurut
madhab Hanafiyah, seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon
tersebut sudah nampak buah-buahnya walaupun belum terlihat matang. Demi menjaga
kemashlahatan, penggarap melakukan pekerjaan atau di langsungkan oleh salah
seorang atau beberapa ahli warisnya, sehingga buah itu masak atau pantas untuk
di panen, sekaipun hal ini dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika
keberatan, karena dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakhnya,
akad dan matangnya buah, penggarap tidak berhak memperoleh upah.
Apabila
penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau
fasakhnya akad, mereka tidak boleh di paksa. Tetapi jika mereka memetik buah
yang belum layak untuk di panen, hal itu mustahil. Hak berada pada pemilik atau
ahli warisnya sehingga dalam keadaan seperti ini dapat di lakukan beberapa hal
sebagai berikut.
1. Memetik
buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah di
sepakati.
2. Memberikan
kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang karena dialah tang berhak
memotong atau memetik.
3. Pembiayaan
pohon sampai matang, kemudian ini di potong dari bagian penggarap, baik
potongan itu dari buahnya atau nilai harganya (uang).[18]
MUZARA’AH
DAN MUKHABARAH
A. Pengertian
Menurut
bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama almuzara’ah yang
berarti tharh al-zur’ah (melempar tanaman), maksudnya adalah modal.
Makna yang pertama adalah makna majaz dan yang kedua adalah makna hakiki.
Menurut
istilah, muzara’ah dan mukhabarah didefinisikan oleh para ulama,
sepertiyang di kemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri :
1. Menurut
Hanafiyah, muzara’ah ialah :
“Akad untuk bercocok
tanam dengan sebagian tang keluar dari bumi.”
Sedangkan
mukhabarah, menurut Syafi’iah ialah :
“Akad untuk bercocok
tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi.”
Definisi
muzara’ah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiyah hampir tidak
bisa dibedakan. Muzara’ah menggunakan kalimat, bi ba’d al-kharij min
al-ard, sedangkan dalam mukhabarah dengan kalimat bi ba’d ma
yakhruju min al-ard. Adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukan adanya
perbedaan. Namun, belum diketahiu perbedaan tersebut berdasarkan pemikirann
Hanafiyah.
2. Menurut
Hanabilah, muzara’ah ialah :
“Pemilik tanah yang
sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”
3. Menurut
malikiyah, muzara’ah ialah :
“bersekutu dalam akad”
Lebih lanjut di
jelaskan dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara’ah adalah
menjadikan harga sewaan tanah dari uang, atau barang-barang perdagangan.
4. Menurut
dhahir nash, al-Safi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah :
“Menggarap tanah dengan
apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”
Sedangkan muzara’ah ialah:
“Seorang pekerja
menyewa tanah dengan apa yang di hasilkan dari tanah tersebut.”
5. Syaikh
Ibrahim al-banjuri berpenapat bahwa mukhabarah ialah :
“Sesungguhnya pemilik
hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola.”
Dan muzara’ah ialah
:
“Pekerja mengelola
tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik
tanah.”
Setelah
diketahui definisinya diatas, dapat di ketahui mukhabarah dan
muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaanya adalah terjadi
pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang
untuk dikelola. Perbedaanya ialah pada modal, bila modal berasal daripengelola,
disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah,
disebut mazra’ah[19].
B. Dasar
Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
Dasar
hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah
adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bikhori Musim dari Ibnu Abbas
r.a.
انه يخا بر قا ل عمر
فقلت له يا عبد الر حمن لو تر كت هده المخا بر فا نهم يزعمون أنالنبى ص م نهى عن
المخا بر ة فقال اخبر نى اعلمهم بذ لك يعنى ابن عباس أن النبى ص م لم ينه عنها
انما قال يمنع احد كم اخاه خيرله من ا ن خذ عليها خر جا معلو مد.
“Sesungguhnya
Nabi Saw. Menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah bahkan beliau
menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan
katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau
diberikan faedahnya, jika ia tidak mau, maka boleh saja di tahan tanah itu.”
Menurut
pengarang kitab al-minhaj, yaitu mengerjakan tanah dengan mengambil
sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula
bermuzara’ah, yaitu pengelola tanah yang benihnya dari pengolahan tanah.
Pendapat ini beralasan kepada beberapa hadits shahih.[20]
C. Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya
Menurut
Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan
pekerja. Syarat-syaratnya
ialah sebagai berikut :
1.
Syarat
yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.
Syarat
yang berkaitan dengan tanaman.
3.
Hal
yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman.
4.
Hal
yang berhubungan dengan tanah yang akan di Tanami.
5.
Hal
yang berkaitan dengan waktu.
6.
Hal-hal
yang berkaitan dengan alat muzara’ah.
Menurut Hanabillah, rukun muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan qabul,
boleh di lakukan dengan lafadz apa saja yang menunujukan adanya ijab dan qabul
dan bahkan muzara’ah sah dilafazkan dengan lafadz ijarah.[21]
D.
Hikmah
Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak yang
mempunyai binatang ternak. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk
mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak
manusia yang mempunyai tanah namun tidak mempunyai binatang ternak yang di
pergunakan untuk mengolah tanah atau ia sendiri tidak sempat untuk mengelola
tanah tersebut. Sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak menghasilkan
suatu apapun.
Muzara’ah dan mukharahah disyari’atkan untuk menghindari
adanya kepemilikan hewan ternak yang kurang bias dimanfaatkan karena tidak ada
tanah yang untuk di olahnya dan menghindari tanah yang dibiarkan tidak
diproduksikan karena tidak ada yang mengelolanya.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk
hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu
konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing
pihak dengan tujuan bias saling menguntukan.[22]
BAB
III
KESIMPULAN
Syirkah
menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang beraati campuran atau percampuran.
Demikian dinyatakan oleh Taqiyudin. Maksud percampuran di sini ialah seseoramg
mempercampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk
di bedakan.
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan Qiradh atau muqaradhah
bahasa penduduk Hijaz. Namun, pengertian qiradh atau mudhaharah
adalah satu makna.
Musyaqah
di
ambil dari kata al-saqa, yaitu seorang bekerja pada pohon tamar, angfur
(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainya supaya mendatangkan kemasalahatan
dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.
Menurut
bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama almuzara’ah yang
berarti tharh al-zur’ah (melempar tanaman), maksudnya adalah modal.
Makna yang pertama adalah makna majaz dan yang kedua adalah makna hakiki.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi Suhendi, 2010, Fiqih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers
SYIRKAH, MUDHARABAH, MUSAQAH, MUZARA’AH, MUHABARAH
Reviewed by Unknown
on
11:37 PM
Rating:
No comments: