HADITS TENTANG TATA CARA PERGAULAN (PERGAULAN LAWAN JENIS)
I. PENDAHULUAN
قَالَ اللهُ
تعَالَى :"وَتَعَاوَنُوْاعَلَى الْبِرِّوَالْتَقْوى",وَالاَيَاتُ فِى
مَعْنَى مَا ذَكَرْتُهُ كَثِيْرَةٌ مَعْلُومَةٌ.
Artinya: "Dan tolong menolonglah kamu atas kebaikan dan
ketaqwaan."
Bergaul dengan orang banyak di tengah-tengah
masyarakat mempunyai nilai keutamaan lebih dibanding dengan hidup menyendiri
menjauh dari mereka dengan syarat mengikuti mereka dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan maupun sosial seperti menghadiri shalat jum’ah, shalat berjamaah,
majlis-majlis ta’lim, mengunjungi orang sakit, mengantar jenazah (ta’ziyah),
membantu meringankan beban sebagian anggota masyarakat yang memerlukan,
memberikan bimbingan kepada yang tidak tahu/tidak mengerti atas suatu persoalan
keagamaan maupun sosial serta mampu mengendalikan diri dari mengikuti hal-hal
yang tidak baik dan tabah serta sabar atas segala gangguan yang mungkin timbul.
Begitulah yang dapat kita lihat dari riwayat
hidup Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabat beliau yang mulia bahkan semua
Nabi dan Rasul Allah senantiasa bergaul dan bergumul secara integral dengan
orang di dalam masyarakat dan ternyata cara ini pula yang ditempuh oleh para
ulama’ pewarisnya.[1]
Melihat keutamaan bergaul dengan orang banyak,
pada kesempatan kali ini kami akan membahas tentang pergaulan lawan jenis
beserta tata cara pergaulan lawan jenis dengan berdasarkan reportase hadits.
II. RUMUSAN MASALAH
a) Pergaulan Yang Baik
b) Tata Cara Pergaulan Lawan jenis
c) Tata Cara Pergaulan Lawan Jenis Berdasarkan Repotase Hadist
III. PEMBAHASAN
A. Pergaulan Yang
baik
Pergaulan yang baik ialah melaksanakan
pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan
hukum syara’, serta memenuhi segala hal yang berhak mendapatkannya
masing-masing menurut kadarnya.
Agama islam menyeru dan mengajak kaum muslimin
melakukan pergaulan di antara kaum muslimin baik yang bersifat pribadi orang
seorang, maupun dalam bentuk kesatuan. Karena dengan pergaulan kita dapat
saling berhubungan mengadakan pendekatan satu sama lain, bisa saling menunjang
dan mengisi antara satu dengan lainnya.[2]
B. Tata Cara Pergaulan Lawan Jenis
Adapun pergaulan antara pria dan wanita atau
sebaliknya maka itulah yang meimbulkan berbagai problrm yang memerlukan
pengaturan dengan suatu peraturan tertentu. Pergaulan pria dan wanita itulah
yang melahirkan berbagai interaksi yang timbul karenanya.
Pemahaman masyarakat lebih-lebih kaum terdapat
system pergaulan pria dan wanita dalam islam mengalami kegoncangan dahsyat.
Pemahaman mereka amat jauh dari hakekat islam, dikarenakan jauhnya mereka dari
ide-ide dan hukum islam. Kaum muslimin berada di antara dua golongan. Pertama,
orang yang melampaui batas(tafrith) yang beranggapan bahwa termasuk hak wanita
adalah berdua-duaan atau berkhalwat dengan laki-laki sesuai dengan kehendaknya
dan keluar rumah dengan membuka auratnya dan memakai baju yang ia sukai. Kedua,
orang-orang yang terlalu ketat(ifrath) yang tidak memandang wanita tidak boleh
bertemu dengan pria sama sekali dan seluruh badan wanita adalah aurat termasuk
wajah dan telapak tangannya. Karena adanya sikap golongan dua ini timbul perselisihan
dan permusuhan diantara mereka.
Islam sebagai agama yang mempunyai
karakteristik moderat memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis. System
interaksi (pergaulan) dalam islamlah yang menjadikan aspek ruhani sebagai
landasan dan hukum-hukum syari’at tolok ukur yang didalamnya terdapat
hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur. System islam
memandang manusia baik pria maupun wanita sebagai seorang yang memiliki naluri,
perasaan, dan akal.
Dengan hukum-hukum inilah islam dapat menjaga
interaksi antara pria dan wanita sehingga tidak menjadi interaki yang mengarah
pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual. Artinya
interaksi mereka tetap dalam koridor kerjasama semata dalam menggapai berbagai
kemaslahatan dan dalam melakukan berbagai aktifitas. Dengan hukum-hukum inilah
islam mampu memecahkan hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan
individual, baik pria maupun wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi.[3]
C. Tata CaraPergaulan Lawan Jenis Berdasarkan Repotase Hadist
1. Haram Duduk Berdua (Berkhilwat) Dengan Perempuan Bukan Muhram.
Uqbah Ibn
Amir ra. Menerangkan:
أَنَّ رَسُولُ اللهِ عليه وسلّم قَالَ:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ:
يارسُولَ اللهِ ! أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قال: الْحَمْوُالْمَوْتُ.
“Bahwsannya
Rasulullah SAW bersabda: janganlah kamu masuk ke kamar-kamar perempuan. Seorang
laki-laki Anshar berkata: Ya
Rasulullah terangkan padaku bagaimana hukum masuk ke dalam kamar ipar
perempuan. Nabi SAW menjawab; ipar itu adalah kematian (kebinasaan).”(al
bukhari 67:111: muslim 39:8: Al lu’lu-u wal marjan 3;69-70)
Nabi tidak membenarkan kita masuk ke
kamar-kamar perempuan, maka hal ini memeberi pengertian, bahwa kita dilarang
duduk-duduk berdua-duaan saja dalam sebuah bilik dengan seorang perempuan tanpa
mahramnya.
Ahli hadis tidak ada yang mengetahui nama orang
anshar yang bertanya kepada Rasul tentang hukum kerabat-kerabat si suami yang
selain dari ayah dan anaknya, masuk ke tempat istri si suami itu. Diterangkan
oleh An Nawawy, bahwa yang dimaksud dengan Hamwu disini, ialah kerabat-kerabat
si suami seperti saudaranya, anak saudaranya dan kerabat-kerabat lain yang
boleh mengawini istrinya bila ia di ceraikan atau meninggal.
Yang tidak masuk ke dalam kerabat disini ialah
ayah dan anak si suami karena mereka di anggap mahram.[4]
Nabi menerangkan bahwa kerabat-kerabat si suami
menjumpai si istri itu sama dengan menjumpai kematian, karena menyendiri dalam
kamar memudahkan timbul nafsu jahat yang membawa pada kemurkaan Allah dan
membawa kepada kebinasaan, atau menyebabkan si suami menceraikan istrinya jika
sang suami pencemburu. Jelasnya, takut kepada mudah timbul kejahatan dari
kerabat-kerabat itu adalah lebih mudah daripada yang dilakukan oleh yang bukan
kerabat. Karena kerabat itu lebih leluasa masuk kedalam bilik-bilik si perempuan
dengan tidak menimbulkan prasangka tang tidak-tidak. Mengingat hal ini perlu
dihindari masuk ke dalam bilik orang lain.
Dikarenakan jika kita berada dalam satu bilik
dengan seorang perempuan yang bukan mahram. Dikhawatirkan kita akan terjebak
untuk mengikuti hawa nafsu. Apabila seorang bergerak mengikutinya meskipun
hanya selangkah. Ia akan terpaksa untuk mengikuti langkah itu dengan langkah
berikutnya.
Dalam Al-Kafi,
Imam As shidiq a.s diriwyatkan berkata: “waspadalah hawa nafsumu sebagaimana
engkau mewaspadai musuhmu. Sebab tidak ada musuh yang lebih berbahaya bagi
manusia selain kaetundukan pada hawa nafsu dan perkataan lidahnya.”[5]
2. Haram melihat perempuan yang Bukan Mahram
عَنْ ابى هريرة رضيى اللهُ عنه النبيّ ص م
قال،كُتِبَ عَلَى ابْنِ أدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكُ لَامَحَالَةّ،
الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظْر، ولأدنان زنا هما الاستماع واللسان زناه الكلام
، واليد زنا ها البطشى ، والرجل زنا ها الخطى واقلب يهوى ويتمنى ويصدق ذلك الفرج
اويكذبه. (متفق عليه وهذا لفظ مسلم ورواايه البخارمحصرة)
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau
bersabda: “telah ditentukan bagi anak adam (manusia) bagian zinanya. Dimana ia
pasti mengerjakannya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah
mendengar, zina lisan adalah berbicara. Zina tangan adalah memukul, zina kaki
adalah berjalan serta zina hati adalah bernafsu dan berangan-angan, yang
semuanya dibuktikan atau tidk dibuktikan oleh kemaluan.(HR. Bukhari Muslim)[6]
Dalam Hadits tersebut mengandung arti bahwa
hadits Imam Bukhari termasuk zina anggota tubuh , tetapi semuanya tidak hanya
dilakukan lewat kemaluan saja melainkan lewat anggota tubuh lainnya. Misalnya
pandangan mata karena awal mula timbulnya hasrat dari pandangan mata yang tidak
terkontrol atau tidak dijaga terhadap hal-hal yang memancing nafsu birahi ,
kemudian lisannya bicara yang tidak baik misalnya menggunjing orang lain,
berdusta dan berbicara yang tidak menjurus perbuatan yang menimbulkan hasrat
dengan lawan jenis.
3. Wanita boleh keluar rumah untuk memenuhi
hajatnya
حَدِيْثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عنهُمَا قَلَتْ:
خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعُدَ مَاضُرِبَ الحِجَابُ، لِحَاجَتِهَا، وَكَانَتِ امْرَأَةً
جَسِيْمَةً لاَتَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا، فَرَأَهَا عُمَرَبْنُ الخَطَّابِ،
فَقَالَ : يَا سَوْدَةُ ! أَمَا وَاللهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا، فَنْظُرِيْ
كَيْفَ تَخْرَجِيْنَ. قَالَتْ : فَا نْكَفَأَتْ رَاجِعَةً وَرَسُوْلُ اللهِ !
إِنِّى خَرَجَتُ لِبَعضِ حَجَتِى، فَقَا لَ لِى عُمَرُ كَذَا وَكَذّا : قَالَتْ
فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ شُمَّ رُفِعَ عَنْهُ وَإِنَّ العَرْقَ فِى يَدِهِ مَا
وضَعَهُ فَقَالَ (إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أنْ تَخْرُجْنَ لِحَا جَتِكُنَّ).
Aisah r.a. berkata: pada suatu hari saudah
binti Zam’ah r.a. keluar dari rumah untuk suatu keperluan dan ia wanita yang
gemuk besar, hampir semua orang mengenalnya, maka dilihat oleh Umar bin Al
Khattab dan menegurnya: “ya Saudah, demi Allah engkau tidak samar terhadap
kami, karena itu hendaknya engkau perhatikan ketika keluar rumah: Saudah
mendengar teguran itu segeralah ia kembali, sedang Rasulullah SAW. Ketika itu
sedang makan dirumahku dan ditangan Nabi SAW. Maka Saudah masuk dan berkata: ya
Rasulallah, aku keluar untuk suatu hajat tiba-tiba Umar menegur begini kepadaku.
Tiba-tiba turunlah wahyu sedang daging masih tetap ditangan nabi SAW. Lalu
bersabda: “sungguh telah di izinkan bagi kalian keluar untuk hajatmu”. (HR.
Bukhari Muslim).[7]
Dari kutipan hadits di atas dapat diketahui
bahwa pada hakekatnya wanita diperkenankan keluar rumah walaupun awalnya
sahabat Umar melarang perbuatan tersebut.
4. Hadits tentang memandang wanita
مَامِنْ مُسْلِمٍ يَنْظُرُإِلَى إمْرَأةٍ أَوَّلَ
نَظْرَةٍ ثُمَّ يَغُضُّ بَصَرَهُ إلاَّ أحْدَثَ الله لَهَ عِبَادَةً يَجِدُ
حَلاَوَتَهَا
“Tidaklah
seorang muslim yang memandang seorang wanita dalam pandangan pertamanya.
Kemudian ia palingkan pandangannya kecuali Allah menjadikannya nilai ibadah
yang akan dirasakan kemanisannya.”
“Memandang wanita (bukan
muhram) merupakan salah satu anak panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya
karena takut akan Adzab Allah. Maka Allah akan menganugrahkan kepadanya iman
yang dirasakan manisnya dalam hatinya.”[8]
Islam mengajarkan kita agar selalu menjaga mata
kita agar tidak melakukan zina mata. Jikalau ada satu kenikmatan, maka yang
pertama itu ibadah dan selanjutnya itu perangkap syaithan. Karena itulah jauhi
dalam memandang wanita secara terus-menerus, karena bisa jadi, yang pertama itu
merupakan nikmat Allah dan pandangan yang kedua itu panah iblis.
5. Boleh memboncengkan perempuan yang bukan mahram
apabila keletihan di jalan.
تَزَوَّجَنِي الزُّبَيْرُوَمَالَهُ فِى الاَرْضِ
مِنْ مَالٍ وَلاَ مَمْلُوْكٍ وَلاَ شَيئٍ غَيْرِنَا ضِحٍ وَغَيْرِفَرَسِهِ،
فَكُنْتُ أَعْلِفَ فَرَسَهُ، وَسْتَقِى المَاءَ وَأَخْرِزُغَربَهُ، وَأَعْجِنُ،
وَلَمْ أَكُنْ أُحْسِنُ أَجْبِزُ وَكَانَ يَحْبِزُجَارَاتٌ لِى مِنَ
لأنْصَارِوَكُنَّ نِسْوَةَ صِدْقٍ، وَكُنْتُ أنْقُلُ النَّوَى مِنْ أرْضِ
الزُّبَيْرِ الّتِى أقْطَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ ؤ عَلَى رَأْسِى وَهىَ مِنِّى عَلَى
ثُلثَى فَرْسَخٍ. فَجِئْتُ يَوْماً وَالنَوَى عَلَى رَأْسِي، فَلَقِيْتُ
رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم، وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنَ الاَنْصَارِ فَدَعَانِى، ثُمَّ
قَالَ : (إخٌ إخٌ) لِيَحْمِلَنِى خَلْفَهُ، فَاسْتَحْيَيْتُ أنْ أسِيْرَ مع
الرِّجَالِ، وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ وَغَيْرَتَهُ، وَكان أغْيَرُ النًّاسِ ،
فَاَعْرَفَ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم اَنِّى أَسْتَحْيَيْتُ، فَمَضَى،
فَجِئْتُ الزّبيْرَ، فَقُلْتُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم عَلَى
رَأْسِى النَوَى ، وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أصْحَابِه،فَأ ناخَ لِأَرْكَبَ
فَاسْتَحْيَيْتُ منهُ، وَعَرَفْتُ غَيْرَتَكَ. فَقُالَ: واللهِ ! لَحَمْلُكِ لنَوى
كَانَ أشَدَّعلى رَكَوبك معه. قالت: حّتَّى اُ رْسِلَ الى ابوبكرٍ، بعد ذلك
بِخَادَم تَكْفِنِى سِيَا سَةً الفُرَسِ فكأنَّمَا أعتَقَنِى.
“Azzubair mengawini aku dan ia tidak mempunyai
harta di muka bumi ini. Tidak mempunyai budak dan tidak mempunyai apa-apa selain dari
seekor unta yang dipergunakan untuk mengangkut air dan selain kudanya. Aku
selalu memberi memberi makan kudanya, menimba air, membetulkan timbanya dan
merema tepung. Sedang aku tidak pandai membuat roti. Tetangga-tetanggaku dari
golongan Anshar membuat roti untukku. Mereka adalah perempuan-perempuan yang
benar dan aku mengangkut dengan kepala aku atah-antah biji kurma dari kebun
Azzubair dan diberikan Rasulullah kepanya. Tanah itu jaraknya dari rimahku
kira-kira 2,3 farsah (1,2 mil).
Maka pada suatu hari aku datang sedang biji
anak kurma di atas kepalaku. Lalu aku menjumpai Rasulullah, bersamanya ada
beberapa orang Anshar. Maka Rasulullah memanggil aku dan berkata;ikh, ikh.
Beliau menidurkan untanya untuk dapat membawaku dibelakangnya. Aku merasa malu
berjalan bersama-sama orang laki-laki. Dan aku ingat tentang kecemburuan
Azzubair. Dia orang yang paling cemburuan. Rasulullah menjumpai aku sedang anak
kurma ada di atas kepalaku. Dan bersama-sama Nabi SAW ada beberapa sahabatnya
lalu Nabi menidurkan untanya supaya aku menungganginya, tetapi aku malu kepada
Nabi dan aku mengetahui kecemburuan kecemburuan anda. Maka Azzubair berkata :
demi Allah aku memikul atau membawa biji kurma adalah lebih keras teknanannya
atas diriku daripada engkau menunggangi unta bersamanya. Asma’ berkata :
kemudian Abu Bakar mengirim kepadaku seorang pelayan yang menggantiku dalam
pemeliharaan kuda itu. Karenanya seolah-olah Abu Bakar telah memerdekakan aku.”
(Al Bukhari 67:107. Muslim 39 : 14, Al lu’lu-u wal Marjan 3: 73-74)
Menurut hadits ini adalah hendaknya ada
kerjasama antara suami dan istri dalam membina rumah tangga. Dan hadist ini
menyatakan pula kebolehan kepada Negara memberikan tanah Negara kepada sebagian rakyatnya. Dan
tanak itu tidak dapat dimiliki oleh seseorang, kalau tidak diberikan oleh
kepala Negara(pemerintah). Dan pemerintah boleh mencabut kembali dan
mengalihkan hak milik tanah kepada orang itu menurut kemaslahatan. Dan
pemerintah boleh juga memberi tanah itu sekedar di ambil manfaatnya saja, bukan
dengan memberi hak milik atas tanah itu. Demikianlah hukunnya terhadap tanah yang
dimiliki oleh Negara. Adapun tanah yang pernah diolah maka dapat dikerjakan
oleh seorang tanpa izin pemerintah menurut pendapat malik, Asyafi’i dan jumhur.
Menurut Abu Hanifah, harus juga dengan mendapat izin pemerintah lebih dulu.
Hadits ini menyatakan kebolehan kita
memboncengkan seorang perempuan yang telah kepayahan di jalan. Di samping itu
menyatakan pula tentang kerendahan hati Nabi terhadap umatnya. Beliau tidak keberatan
memboncengkan Asma’.
Kebolehan kita memboncengkan perempuan yang
bukan mahram adalah apabila kita menjumpai di suatu tempat di jalan, sedang dia
tidak sanggup berjalan lagi khususnya apabila kita bersama-sama dengan orang
lain. Akan tetapi ada yang mengatakan sebagai Al Qadhi Iyadh, bahwa membonceng
perempuan yang bukan muhrim adalah dari khususiyah Nabi SAW. Tidak dapat
dilakukan oleh orang lain. Nabi Memboncengkan Asma’ itu adalah seorang anak
perempuan dari Abu Bakar, saudara dari Aisyah dan istri dari Azzubair. Maka
dapat dipandang sebagai salah seorang keluarganya.
Lebih-lebih lagi Rasulullah adalah orang yang sangat kuat menahan
Nafsunya.”
IV. KESIMPULAN
Pergaulan yang baik ialah melaksanakan
pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan
hukum syara’, serta memenuhi segala hal yang berhak mendapatkannya
masing-masing menurut kadarnya.
Islam sebagai agama yang mempunyai
karakteristik moderat memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis,
diantaranya:
Haram Duduk Berdua (Berkhilwat) Dengan Perempuan Bukan Muhram.
Haram melihat perempuan yang Bukan Mahram
Wanita boleh keluar rumah untuk memenuhi
hajatnya
Hadits tentang memandang wanita
Boleh memboncengkan perempuan yang bukan mahram
apabila keletihan di jalan
V. PENUTUP
Demikian makalah kami tentang tata pergaulan
lawan jenis. Tugas ini disusun guna memenuhi tugas wajib mata kuliah Hadits di
semester 4. Dan semoga makalah sekiranya bisa bermanfaat bagi kami dan bagi
pembaca. Kami sadar makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik
dan saran yang konstruktif saya harapkan demi penyempurnaan makalah kami.
DAFTAR ISI
Ash Shidqi,
Teuku Muhammad Hasby, Mutiara Hadits 6, Semarang ;PT Pustaka Rizqi
Putra, 2003.
Baqi, Muhammad
Fuad Abdul, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006
Hasyim, Husaini
A. Majid, Riadhus Shalihin, Surabaya; PT Bina Ilmu,1993
Khomeni,
Imam, 40 Hadist Telaah atas Hadits-hadits Mistis dan Akhlak, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.
Moh.
Rifa’i, Akhlak Seorang Muslim, Semarang; Wicaksana, 1993
Nashirudin
Al-alnai, Muhammad, Silsilatul Alhaadits adh-Dhaifah wal maudhu’ah,
Jakarta: Gema Insani Press, 199M
Nawawy,
Imam, Riadhus Sholihin Imam
Nawawy,Jakarta: Pustaka
Armani, 1999
http://www.angelfire.com/md/alihsas/pengaturan.html
[4] Teuku Muhammad Hasby Ash Shidqi, Mutiara Hadits 6, (Semarang ;PT Pustaka Rizqi Putra, 2003),
hal., 365
[5] Imam Khomeni, 40 Hadist Telaah Atas Hadits-hadits Mistis dan Akhlak, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hal., 196.
[8]Muhammad Nashirudin Al-alnai, Silsilatul Alhaadits adh-Dhaifah wal maudhu’ah, (Jakarta: Gema Insani Press, 199M), hal.,
266-267
HADITS TENTANG TATA CARA PERGAULAN (PERGAULAN LAWAN JENIS)
Reviewed by Unknown
on
6:41 AM
Rating:
No comments: