PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM K.H. IMAM ZARKASYI
Oleh: Drs. Mahrus As’ad, M.Ag
(Dosen IAIN Metro Lampung)
1 Pendahuluan
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah lama
dikenal sangat handal dalam menghasilkan ulama besar dan tokoh-tokoh penting
panutan umat, karena besarnya perhatian yang diberikan pada pembinaan akhlak-karakternya.
Namun,
seiring dengan datangnya modernisasi di awal abad ke-20,
yang di kemudian hari melahirkan globalisasi,
kehandalan pondok pesantren tersebut mulai mendapatkan saingan karena keterpakuanya pada sistem pembelajaran
lama yang sulit menerima perubahan (Wiryosukarto, 1996: 45-46). Melalui kegiatan
pembelajaran yang disebut “pengajian”, murid diberikan materi pembelajaran yang
hanya berupa ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, disusun ke dalam dua jenjang: pengajian
Qur’an dan pengajian Kitab. Pada pengajian Qur’an,
pemberian
materi ditekankan pada pengenalan huruf-huruf Arab agar dapat digunakan untuk melafalkan beberapa bagian dari
teks Al-Qur’an, khususnya Al-Fatehah dan surat-surat pendek dalam Jus
Amma, dan peraturan serta tata tertib salat, wudlu dan beberapa doa. Pada pengajian Kitab, fase awalnya
difokuskan pada penguasaan tata bahasa Arab (nahwu dan saraf). Bila fase ini
telah diselesaikan, murid mulai menerima pembelajaran
agama dalam arti sebenarnya, yang materinya
berupa kitab-kitab klasik, terutama fiqh
ditambah tauhid dan tafsir. Murid yang mampu mengikuti pelajaran tingkat tinggi dapat mengambil mata pelajaran pelengkap dalam sistem halaqah, seperti tasawuf,
hadits, falak, yang kesemuanya tergantung pada keahlian kyai pesantren
bersangkutan (Steenbrink, 1986: 13-14).
Metode pembelajaran
yang digunakan pondok
pesantren umumnya metode terjemah. Caranya, mula-mula guru
membacakan matan kitab dalam bahasa
Arab, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah (Jawa) sedemikian rupa,
setelah itu, guru dengan panjang lebar menjelaskan maksudnya, sekalipun
kebanyakan murid tidak memahaminya. Cara seperti ini berlangsung secara rutin
setiap hari. Bila belum selesai dalam satu hari, kegiatan dilanjutkan esok
harinya tanpa guru menanyakan sejauhmana penguasaan murid atas pelajaran yang
telah diberikan pada hari sebelumnya. Penggunaan sistem pembelajaran tanpa
evaluasi hasil belajar seperti ini menjadikan murid (santri) tidak mengenal
batas waktu belajar. Biasanya tamat mengaji sebuah kitab digunakan seorang murid
sebagai batas waktu belajarnya. Untuk memahami isi sebuah kitab, ia memerlukan
waktu cukup lama, dan lebih lama lagi tentunya untuk memahami isi beberapa kitab
dalam beberapa bidang ilmu agama. Dengan
demikian, banyak sekali waktu dibutuhkan seorang murid untuk membaca dan
memahami isi kitab-kitab ilmu agama yang jumlahnya sangat banyak. Sedangkan, untuk
membaca sendiri kitab-kitab tersebut kebanyakan murid tidak memiliki
keberanian, dan mereka harus bergantung pada kyai. Selain itu, penggunaan metode
pembelajaran seperti itu hanya memberikan kemudahan pada murid yang benar-benar
cerdas saja dan mereka inilah yang kelak akan menjadi ulama besar; sedangkan,
murid yang biasa-biasa saja, apalagi yang kurang, tidak bertambah maju (Wiryosukarto,
1996: 47).
Pemandangan yang agak janggal terjadi dalam sistem pembelajaran
bahasa Arab. Sebelum mengerti betul bahasa Arab, seorang murid harus mengerti
nahwu dan saraf dengan menghapal kaidah-kaidahnya yang berbentuk syair seperti
dalam kitab Alfiah, sebuah kitab tata bahasa Arab memuat 1000 bait di karang oleh
Ibn Malik al-Andalusi pada abad ke-13 M, yang hingga kini dianggap kitab paling
tinggi dikaji di pondok-pondok pesantren tradisional. Menurut mereka, kedudukan nahwu dan saraf dalam bahasa adalah bagaikan
garam dalam makanan, yang berarti orang mendahulukan makan garam daripada
makanan. Itulah sebabnya mengapa seorang murid yang dapat membaca banyak kitab
dan mengerti isi mereka belum tentu dapat membaca kitab-kitab lain. Selain itu,
meski telah hapal betul kaidah nahwu dan saraf, murid-murid tidak dapat
bercakap-cakap dalam bahasa Arab (Wiryosukarto, 1996: 47). Kelemahan metode
mewarnai
hampir seluruh kegiatan pembelajaran
di
pondok pesantren sehingga menjadikan lembaga pendidikan
ini
sulit menandingi gerak maju lembaga-lembaga pendidikan modern
(sekuler). Keadaan pendidikan pondok pesantren seperti ini mendorong bebarapa
tokoh pendidik Muslim Indonesia abad ke-20 mengupayakan
pembaruan di dalamnya, antara lain dengan memperkenalkan sistem pembelajaran dan
kelembagaan modern yang dikenal dengan madrasah dengan berbagai ragamnya.
Salah seorang paling menonjol dalam hal ini adalah Kyai
Haji Imam Zarkasyi (1910-1985) dari Gontor Ponorogo Jawa Timur, penggagas dan
sekaligus Direktur Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI), madrasah yang menjadi pilar
utama sistem pendidikan Pondok Modern Gontor. Sebagai salah seorang pembaru pendidikan
Islam terpenting
abad ini, Imam
Zarkasyi mewarisi karir intelektualnya dari orang tua dan kakek buyutnya yang adalah para pengasuh pondok
pesantren, mula-mula dari pondok pesantren
Tegalsari di abad ke-18, ke pondok
pesantren
Gontor Lama, yang kemudian mewujud dalam Pondok Modern
Gontor Ponorogo sekarang, tempat KMI bernaung. Ketokohannya
sebagai pendidik Muslim yang berpengaruh membawa Imam Zarkasyi
memasuki lingkaran kekuasaan, terutama di masa-masa awal pemerintahan Presiden Soekarno, yang melibatkannya secara aktif dalam berbagai peran penting dalam menentukan
arah dan masa depan pendidikan Islam di tanah air. Madrasah KMI yang ditinggalkannya pada 1985 boleh jadi sekarang
telah menjelma menjadi sebuah madrasah (swasta) terbesar di dunia Muslim, dengan sejumlah cabang di banyak tempat di tanah air, di antaranya beberapa pondok
putri.
Dengan kejelasan visi, misi, tujuannya, dan landasan
dasar pendidikannya, Imam Zarkasyi dianggap telah berhasil memperberbaiki tidak
saja mutu madrasah di awal abad ke-20, tetapi juga telah memberikan azas-azas
dan landasan dasar yang kuat bagi pengembangan model lembaga pendidikan Islam
berbentuk pondok-madrasah berwawasan global, tanpa harus meninggalkan corak kepribumiannya
sendiri. Pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi merupakan terobosan penting sehingga
mengantarkan madrasah secara perlahan dan pasti mengalami perubahan sistem dan
bentuk kelembagaan baru, sehingga pada gilirannya mampu menjadi tenaga
pendorong yang kuat bagi kebangunan pendidikan Islam Indonesia di masa-masa
selanjutnya. Apa yang diusahakan Imam Zarkasi dengan pondok-madrasahnya telah mendatangkan
manfaat besar bagi usaha pemenuhan kebutuhan pendidikan kaum Muslim yang tengah
mengalami perubahan arah, dan berhasil membukakan kesadaran mereka akan
pentingnya penyelenggaraan pendidikan Islam yang bermutu, yang pengaruh dan
daya tariknya hingga kini terus mengalir ke berbagai penjuru tanah air bahkan
ke mancanegara.
Menggunakan pendekatan
deskriptif-analitis, tulisan ini akan meninjau secara mendalam hakekat pembaruan
pendidikan Imam Zarkasyi dalam upaya
memperbaiki mutu pendidikan Islam
Indonesia di awal abad ke-20 dan pengaruhnya
bagi kebangkitan madrasah berwawasan global di masa-masa sesudahnya. Untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai
masalah yang dibahas, tinjauan pertama-tama diarahkan pada gagasan dan usaha pembaruan pendidikannya dengan
jalan memahami profil madrasah dan sistem pembelajarannya, wawasan
madrasah dan ciri-ciri kurikulumnya, setelah itu disusul dengan sumbangannya
bagi pengembangan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan pendidikan global.
2 Gagasan dan Usaha
Pembaruan Pendidikannya
Untuk memahami hakekat pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi tidak cukup dengan hanya membaca
pokok-pokok pikiran pendidikannya seperti tertuang dalam sejumlah buku dan
artikelnya. Bila demikian dilakukan,
kesimpulan yang dihasilkan sudah pasti tidak tepat dan bahkan bisa berlawanan dengan apa yang dimaksudkan dalam
pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi sendiri. Perlu diketahui Imam Zarkasyi adalah sosok pendidik
sekaligus manajer yang handal yang sulit ditemukan padanannya; hampir seluruh waktunya, terutama setelah
meninggalkan jabatannya di Kementerian Agama, ia dedikasikan untuk mengajar dan memimpin madrasahnya sejak didirikan. Seperti apa hakekat pembaruan
pendidikan Imam Zarkasyi dapat diketahui dan dipahami dari profil
madrasah dan sistem pembelajaran yang dikembangkan dalamnya.
Tidak seperti madrasah pada umumnya, madrasah KMI secara
kelembagaan mengambil bentuk madrasah klasikal dengan waktu belajar siang hari, berjenjang menengah, lama belajar 6 tahun setelah madrasah/sekolah dasar, bercorak keguruan, mirip program
Pendidikan Guru Agama Lengkap (PGAL) 6 Tahun yang pernah dibuka
Kementerian Agama pada 1980-an (Yunus, 1984: 363-364). Dipadukan dengan sistem
pondok, madrasah KMI diselenggarakan berlandasan
dasar dan tujuan pendidikan Islam dan kebudayaan
nasional dengan menggunakan pendekatan modern.
Landasan dasarnya tauhīd,
yaitu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagai kesadaran mutlak dan
sumber dari segala kesadaran, kenyataan alam, dan kehidupan (Saifullah, 1985: 139). Menjadikan tauhīd
sebagai landasan dasar penyelenggaraan madrasah bagi Imam Zarkasyi merupakan
keharusan mutlak, karena, meminjam bahasa Nasr, tauhīd
adalah alpha-omega-nya agama Islam. Artinya, setiap aspek dari pendidikan Islam senantiasa berpusat pada ajaran tauhīd,
yang dengannya pendidikan Islam di mana dan kapan saja berada harus senantiasa berusaha mewujudkannya dalam
seluruh sendi kehidupan Muslim secara lahir maupun batin (Nasr, 1975: 29).
Sesuai
dengan namanya, madrasah KMI hanya menerima
murid laki-laki yang
keseluruhannya diasramakan (dipondokkan), sehingga bisa disebut dengan “pondok-madrasah”, menggantikan istilah teknis
“pondok pesantren”, bertujuan
memberikan pembinaan sedini mungkin agar tercipta calon-calon guru (dalam arti
luas) yang berkepribadian Muslim, mempunyai ciri-ciri berbudi
tinggi, berbadan sehat, berpengatahuan luas, berpikir bebas, dan berjiwa ikhlas,
untuk menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan di masa depan
yang semakin beragam dan rumit. Kelima aspek tujuan ini dengan mudah dapat diketahui dari semboyan yang terpampang di banyak tempat di lingkungan madrasah. Gambaran manusia muslim
seperti itu merupakan gambaran utuh dan rinci dari
pribadi bertauhīd menurut madrasah ini,
yang
urutannya juga tidak boleh diubah serta dikurangi.
Sebab
hubungan antar unsur pada tujuan tersebut sangat erat dan
saling melengkapi satu sama lain. Hal yang sama
terjadi pula pada hubungan antara dasar dan tujuan pendidikannya
mengingat kandungan arti dan cara memaknai keduanya juga turut menentukan
azas-azas pendidikannya.
Dimaksud azas-azas dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan
umum, yang juga sekaligus seperangkat nilai-nilai atau sikap dan arah kegiatan
terkait dengan tegaknya penyelenggaraan madrasah, yang juga tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai dalam rumusan dasar dan tujuan pendidikannya. Demikian pula
dengan susunan dan jenis mata pelajaran yang diprogramkan harus terdapat keterkaitan
yang kuat dengan keduanya. Singkatnya, antara apa yang dicita-citakan dan penerapannya dalam praktek pendidikan dan pembelajaran harus
ada keselarasan dan kesesuaian (Saifullah,
1985:
139).
Berdasar
tradisi pesantren, madrasah KMI sejak awal pendiriannya bergerak di luar aras umum pendidikan nasional, dengan selalu mengedepankan azas-azas kekeluargaan,
kesederhanaan, dan kemasyarakatan. Azas kekeluargaan dimaksudkan sikap perilaku
atau tindakan seluruh warga madrasah, termasuk
para pengasuhnya, secara
sadar berusaha bagaimana memperlakukan orang lain seperti halnya
dirinya sendiri ingin diperlakukan oleh orang lain tersebut (Saifullah,
1985:
139).
Azas kesederhanaan dimaksudkan sebagai sikap sadar atau tahu
diri akan batas kemampuan seorang pribadi berhadapan dengan orang lain dalam sebuah
kelompok, yang diwujudkan di dalam madrasah ini dengan jalan menumbuhkan
dalam diri setiap murid sikap hidup berkecukupan sesuai kemampuan
dan kebutuhan (Wiryosukarto, 1996:
59-69).
Azas
kemasyarakatan diartikan sebagai nilai atau sikap yang memandang bahwa
pendidikan lebih mengutamakan unsur kemanfaatan murid
setelah kembali ke masyarakat daripada pencapaian nilai akademis semata. Hal
ini sejalan dengan program madrasah ini yang bersifat terputus dalam rangka mengantarkan
para
muridnya pada pengabdian dan pencerahan
masyarakat dalam memainkan peran sosial kependidikannya
sebagai guru, mubaligh, imam masjid, pengurus organisasi, pegawai pemerintah,
dan sebagainya (Tim
Penyusun, tt: 72-73).
Meskipun
demikian, sistem pendidikan dan pembelajaran madrasah ini sepenuhnya diselenggarakan
secara modern, dalam arti seluruh kegiatannya diatur berdasarkan prinsip-prinsip yang mengutamakan hasil secara tepat sasaran dan
berkelanjutan dalam rangka pencapaian
setinggi-tingginya tugas
dan fungsi madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam pribumi. Dengan ketepatan sasaran dimaksudkan
bahwa keseluruhan kegiatan pendidikan dan pembelajaran dikelola sedemikian rupa berdasarkan perencanaan matang sehingga hasilnya
dapat diramalkan menurut pertimbangan akal sehat dan kepastian jangka waktu belajar tertentu agar masa belajar
murid
lebih singkat. Pencapaian setinggi-tingginya tugas dan fungsi
pondok dimaksudkan bahwa seluruh unsur bawaan dan kelebihan dari lembaga pendidikan tradisional ini, terutama dalam pembentukan karakter/akhlah unggul dan
mulia, diberdayakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan penguatan dan jatidiri
pendidikan
Islam di masa depan. Berkelanjutan artinya bahwa penggunaan
sistem pondok sebagai lembaga
pendidikan (Muslim) pribumi dikelola berdasarkan prinsip-prinsip baru manajemen pendidikan sehingga
keberadaannya dapat terus bertahan menghadapi
kuatnya arus
perubahan pendidikan nasional maupun global.
Berdasarkan itu semua, diperlukan
perombakan dan perbaikan bersifat mendasar terkait cara pandang penyelenggaraan pendidikan Islam,
khususnya pondok pesantren, dari pola orang-perorang menjadi pola pembelajaran bersifat
massal terpimpin, yang menempatkan sejumlah murid secara berkelompok dalam
kelas-kelas berdasarkan perbedaan usia dan tingkat perkembangan mereka. Selain itu, diperlukan
pula pembaruan bangunan kurikulum yang cakupan
materinya tidak lagi berupa satuan kitab-kitab ilmu-ilmu agama yang dibacakan secara perorangan atau berkelompok, melainkan ke dalam
sistem baru berbentuk satuan rencana pembelajaran berisikan sejumlah materi mencakup ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip modern pengembangan
kurikulum, dimana unsur cakupan, pengurutan, keterkaitan,
kesinambungan, dan sebagainya, menjadi dasar
pertimbangan, selain azas-azas pokok yang mendasarinya (cf. Hunkins, 1980:
229-236).
Dengan
demikian, kegiatan pembelajaran tidak sekedar
menggunakan sarana-sarana baru seperti papan tulis,
bangku, dan alat peraga, tetapi juga ketersediaan sumber belajar berupa buku-buku
ajar yang materinya disesuaikan dengan kebutuhan murid.
Untuk ukuran sejaman, usaha menyediakan buku-buku ajar ini
bukan pekerjaan
mudah. Namun, hal ini tidak menghalangi Imam Zarkasyi untuk
mengusahakannya dengan menyusun sendiri buku-buku ajar tersebut, yang hingga
kini buku-buku ajar tersebut masih tetap digunakan sehingga turut menentukan
corak kemandirian sistem pembelajarannya (Wiryosukarto, 1996: 254-55). Pada
saat bersamaan, ia juga perlu menggunakan metode pembelajaran baru guna meningkatkan
kualitas proses pembelajaran, yang pada gilirannya dapat membantu meningkatkan hasil belajar murid secara lebih tepat sasaran dan tepat guna. Atas dasar ini, sangatlah wajar
bila sebagian masyarakat Muslim tanah air ketika itu, menilai lembaga pendidikan ini sedikit “liberal”,
meski secara asas tetap setia pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yang
merupakan paham mayoritas umat Islam Indonesia (Wiryosukarto, 1996: 68-70).
Menggunakan kurikulum formal campuran,
madrasah KMI
berusaha memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama dan
pengetahuan umum secara seimbang dengan pembagian 100:100,
sebagai penyatuan kedua bidang ilmu tersebut. Walaupun konsep penyatuan yang dimajukan sejauh ini dinilai belum
jelas arahnya (Abdullah, 1996: 826), bangunan kurikulum seperti ini tentu saja jauh lebih maju dibandingkan kurikulum madrasah pada umumnya ketika itu, dalam rangka menjawab masalah dikotomi ilmu yang terus
menjadi sorotan masyarakat pendidikan Islam, yang gaungnya masih nyaring hingga belakangan (Bakry, 1984:
40-46).
Kandungan materi yang diberikan di dalamnya sangat luas dan beragam, mencakup sekitar 50-an jenis mata
pelajaran,
yang
dapat dikelompokkan ke dalam ilmu-ilmu agama, ilmu ilmu umum, ilmu keguruan,
dan bahasa Arab serta bahasa Inggris. Namun, seperti yang akan dijelaskan
nanti, terdapat ciri khusus di dalamnya, yaitu
penonjolannya pada pemberian ekstra kurikuler yang
diarahkan pada pendidikan
karakter dan pembelajaran bahasa Arab dan Inggris secara aktif, yang sangat
dibutuhkan murid untuk menghadapi kehidupan global. Atas dasar ini,
dapat dikatakan bahwa kurikulum madrasah KMI
lebih
menunjuk pada pengertian luas daripada yang berlaku di madrasah/sekolah pada umumnya,
yaitu sebagai keseluruhan pengetahuan, kegiatan, dan
pengalaman yang diberikan kepada murid sebagai bekal
minimal dalam rangka pengembangan kecerdasan, karakter
dan
kepribadian
mereka guna memasuki
kehidupan nyata sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (cf. Nasution, 1982:
12).
Kegiatan pembelajaran berlangsung hampir tidak ada putusnya di sebuah
kompleks bangunan permanen yang cukup megah disatukan dengan sistem pondok, terutama murid
kelas 1-IV, mulai pukul 07.00 -
12.00 siang, diselingi dua kali istirahat. Selepas
shalat dhuhur (berjamaan) dan makan siang, di bawah bimbingan para seniornya, mereka kembali melanjutkan belajar tambahan, dari pukul 14.00 - 15.00 (waktu salat ashar), sebagai
pendalaman materi-materi tertentu, dilanjutkan di malam harinya dari pukul 20.00 - 22.00, di bawah pimpinan
wali kelas masing-masing. Untuk murid kelas V dan VI sedikit
lebih ringan, dalam arti lebih banyak belajar mandiri dan bahkan mulai dilibatkan
dalam praktek mengajar di kelas-kelas bawah. Melalui kegiatan ini, kaderisasi guru guna mendapatkan guru-guru berkualitas bagi madrasah ini sudah dimulai dengan
mengambil sebagian besar alumni terbaiknya.
Secara formal, penilaian mingguan diselenggarakan untuk
seluruh kelas oleh sebuah kepanitiaan dengan pengawasan sangat ketat. Ujian akhir tahun
diselenggarakan melalui dua cara: lisan dan tulis, yang diakhiri dengan
pemberian (selembar) raport, sebagai laporan hasil belajar murid pada semester bersangkutan. Materi
yang diujikan sebanyak 15 mata pelajaran, meliputi tafsir, hadis, fiqh,
mahfudhat, tauhid, tamrin al-lughah, ihya, matematika, fisika, geografi, dan
tarbiyah. Sejak memperoleh status persamaan dari Kementerian
Agama RI pada 1998, disusul pengakuan resmi dari Kementerian
Pendidikan Nasional
dua tahun kemudian, murid-murid yang lulus ujian kelas VI memperoleh dua macam ijazah:
ijazah lokal (KMI)
dan ijazah persamaan (tanpa ujian) dari Kemernterian
Agama, yang diserahkan setelah mengikuti program pengabdian (Arwani, 2001:
108-115).
Sebelumnya, mereka hanya diberikan ijazah lokal; yang ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi (negeri), dibantu dengan mengikutsertakan ujian persamaan agar mendapatkan ijazah negeri sebagai
persyaratan mendaftar.
Selain pembelajaran
formal, kurikulum madrasah KMI
juga memberikan pelajaran ekstra yang diharapkan berguna bagi pengembangkan kompetensi sikap dan perilaku murid secara pribadi maupun bersama. Yang paling menonjol adalah kepramukaan dan pidato
dalam tiga bahasa: bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia, yang diselenggarakan tiga kali dalam seminggu.
Khusus murid-murid kelas atas
disediakan kegiatan keorganisasian yang tugasnya mengelola berbagai urusan dan
kegiatan terkait dengan murid di luar pembelajaran pagi, mulai
dari pengajaran siang dan malam, penggerak bahasa, olah raga, kesenian,
perpustakaan, perkoperasian, penerangan, keamanan, kesehatan lingkungan, ta’mir
masjid, penerimaan tamu, hingga urusan binatu. Ada lagi dua kegiatan yang khusus untuk murid kelas VI:
Bedah Buku dan Wisata Perekomonian. Sesuai sebutan
masing-masing, kedua kegiatan ini bertujuan edukatif-sosial,
yang dengannya diharapkan dapat membekali murid kecakapan hidup (life skills)
yang dibutuhkan mereka setamat belajar, baik untuk keperluan melanjutkan studi
maupun terjun langsung di tengah masyarakat. Pembelajaran
di
madrasah ini tampak
sangat padat, dan seperti
dikatakan Arwani, bertujuan untuk menyiapkan profil lulusan yang berkecakapan menyeluruh, dalam arti menguasai banyak bidang: selain ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum, juga kewirausahaan,
kesenian dan musik (2001: 112-125).
Dengan kata lain, alumni madrasah KMI adalah murid-murid
yang tangguh karena dipersiapkan untuk menghadapi segala medan kehidupan.
Secara teoritik pencapaian tujuan
seperti ini sangat baik dan bisa
menimbulkan daya tarik tersendiri, walaupun dalam prakteknya bukan berarti
tanpa masalah. Masalah kelebihan
beban seperti
sering diarahkan pada kurikulum madrasah
kita dewasa ini (Yusuf, 2006: 97-98) jelas bisa ditemukan
pada
kurikulum ini
yang sejak awal berusaha memberikan tempat bagi sekumpulan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum secara bersamaan dalam besaran porsi
yang sama pula. Kepadatan
kurikulum ini bisa menjadikan beban belajar murid terlalu berat,
demikian juga beban guru untuk menyampaikan pokok bahasan
di dalam kelas.
Akibatnya, seperti dikatakan Nurcholish Madjid (1996: 971), salah satu
alumni terbaiknya, kepadatan
kurikulum madrasah ini berakibat pada hilangnya kedalaman yang bisa menghambat
kemajuan santri yang memiliki kemampuan belajar relatif menonjol
dalam penguasaan suatu ilmu dan berkurangnya suasana
seperti yang dilukiskan Castle (1966: 40) sebagai “kekhusukan” yang terdapat
di
pondok-pondok pesantren pada umumnya. Bahkan menurutnya,
model kurikulum madrasah ini
sejauh
ini belum mampu memberikan para muridnya kesiapan memasuki dunia kerja dalam bidang kehidupan yang labih luas, selain dalam
bidang pekerjaan keagamaan.
Dalam segi manajemen,
madrasah KMI teguh memegangi prinsip berdiri di atas kaki sendiri, dalam arti
bahwa seluruh aktifitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajarannya
sepenuhnya dirancang dan diusahakan sendiri serta bertumpu pada kekuatan sumber
daya sendiri mulai dari urusan pembelajarannya, kurikulumnya, penetapan
guru-gurunya, pengawasannya, pembiayaannya, hingga pengadaan sarana-prasarananya.
Penerapan
manajemen seperti ini dimaksudkan agar kemandirian madrasah benar-benar dapat terwujud, tanpa harus mengalami “gangguan” dari pihak
luar, terutama pemerintah, seperti dialami kebanyakan madrasah/sekolah swasta.
Kuncinya adalah diterapkannya
semacam rencana strategis yang disebut dengan “Panca Jangka”,
mencakup pengembangan bidang Pendidikan dan Pengajaran,
Pergedungan, Perluasan Wakaf, Kaderisasi, dan Kesejahteraan Keluarga. Semua ini
terbukti sangat berguna untuk menjaga kelangsungan masa depan madrasah dalam
penciptaan dan pengembangan budaya mutu sehingga pada gilirannya menimbulkan
kepercayaan masyarakat karena keberhasilannya menciptakan lulusan yang bermutu
pula.
Dari uriaian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat
pembaruan pendikan Zarkasyi merupakan perbaikan bersifat mendasar dan
menyeluruh, berusaha
memadukan antara modernitas dan tradisi, yang tekanannya tidak saja pada aspek metode
pembelajaran dan kelembagaan, melainkan juga pada pentingnya perumusan kembali
landasan dasar pendidikan Islam
yang bersifat pokok
dan filosofis, dalam rangka peningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai
tantangan dan kebutuhan kemajuan jaman. Terobosannya memperkenalkan sistem dan
kelembagaan pendidikan baru yang memadukan berbagai unsur kelebihan sistem
pendidikan dan pembelajaran madrasah modern
dengan unsur-unsur kelebihan sistem pendidikan pesantren menjadikan madrasah yang
diciptakannya lebih tepat sasaran dalam pencapaian tujuan pendidikan yang telah
ditetapkannya. Dengan itu pula, tradisi warisan para pendidik bangsa sendiri serta ulama-pendidik muslim di masa
lalu dapat terus dijaga kelanjutannya, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menyempurnakan serta sekaligus memperkaya sistem
pendidikan nasional.
3 Wawasan Global
Kata “global” biasa
diartikan dengan “mendunia” (Hornby, 1980: 366). Penggunaannya tidak selalu
menunjuk pada kecenderungan baru, dalam arti bahwa apa yang sebelumnya
dikatakan sebagai “dunia”, sekarang ini dikatakan dengan “global”. Dalam
pengertian khusus, kata “global” menunjukkan bentuk kesadaran baru bersifat
lintas-budaya, yang memberikan perhatian pada rumitnya tatanan baru dari hubungan
antara yang bersifat bagian dengan semesta, regional dengan internasional
melalui cara yang sebelumnya tidak dikenal, yang membutuhkan adanya keberagaman
suku, sosial, budaya, politik, dan keagamaan secara serius (Ali, 1998: 5). Tema-tema globalitas sebagai issu dunia seperti
sekarang ini tentu saja belum muncul ketika Zarkasyi mengemukakan ide-ide dan usaha pembaruan pendidikannya di awal abad ke-20. Akan tetapi, bahwa kehidupan umat manusia akan mengalami kemajuan dan perkembangan
sangat pesat
dan rumit sehingga melahirkan adanya keberagaman suku, sosial,
budaya, politik, dan keagamaan yang khas seperi tercakup dalam penggunaan istilah “global” tersebut gejalanya sudah dapat dibaca oleh Zarkasyi sejak
awal. Industrialisasi, perluasan ekonomi, dan modernisasi yang
dibawa bangsa Eropa ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, sejak
awal abad yang lalu, yang kemudian disambut dan dikembangkan pemerintah ini setelah kemerdekaannya, merupakan pendorong utama berkembangnya kesadaran baru
tersebut beserta keseluruhan dampaknya yang mulai mempengaruhi dan dirasakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat
luas,
termasuk di bidang pendidikan. Hal ini mengharuskan
seluruh komponen masyarakat, termasuk masyarakat Muslim, mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh, sebab inti dari globalisasi adalah persaingan yang
akan menghasilkan kalah dan menang (Azizy, 2004: 18-27). Ini artinya, seluruh lembaga pendidikan yang ada,
termasuk madrasah, memerlukan perbaikan dan pembenahan diri secara sungguh-sungguh agar dapat memberikan pelayanan pendidikan dan pembelajaran yang
lebih bermutu untuk mengantarkan generasi muda menjadi
kader-kader umat yang tangguh secara
moral, rohaniah,
dan keilmuan sesuai dengan tuntutan dan
tantangan kemajuan
jaman.
Bergaul dengan banyak
tokoh dunia, Imam Zarkasyi sudah sejak awal memiliki visi pendidikan yang jelas
dan berdaya jangkau ke depan, yang dapat digunakan sebagai pemandu pembaruan
pendidikannya. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan Imam Zarkasyi
sendiri, yang tidak henti-hentinya menekankan bahwa usaha memajukan pendidikan lewat
madrasahnya bukan semata kebutuhan yang bersifat sesaat, melainkan untuk jangka
panjang hingga 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan seterusnya di masa yang akan datang
(Zarkasyi, 1987: 61). Ia juga
sering mengemukakan bahwa penyelenggaraan madrasahnya merupakan amanah kaum
Muslim sedunia, yang bertekad menjadikan para alumninya guru-guru (dalam
pengertian luas) yang mampu memberikan pendidikan dan pengajaran di mana saja
berada di seluruh dunia (Murtadlo, 1996: 731). Untuk mewujudkan maksud ini, Imam Zarkasyi membuat jaringan kerja dengan
perguruan-perguruan luar negeri, terutama di Timur Tengah dan Asia Selatan dan
Tenggara. Tentu saja ciri yang paling mudah dikenali dari wawasan global
pendidikannya, seperti akan dijelaskan nanti, adalah perhatiannya yang besar pada
pendidikan karakter dan penguasaan secara aktif bahasa Arab dan Inggris sebagai
alat komunikasi pergaulan dunia.
Bagi
Imam Zarkasyi, pengembangan madrasah berwawasan global pada dasarnya merupakan upaya
menempatkan madrasah di negeri ini sebagai bagian tak
terpisahkan dari sistem pendidikan Islam sedunia. Ini
artinya bahwa madrasah harus memiliki daya saing yang tinggi
dan mampu berbicara di tingkat dunia dari segi pengembangan budaya mutu maupun
lulusannya. Konsekwensinya, madrasah harus segera memperbaiki diri secara terus
menerus dengan meningkatkan mutu pembelajarannya berdasarkan standar-standar yang
sudah ditetapkan sebagai persyaratan utama, yang dengannya diharapkan bisa menjadikan
madrasah berdaya saing tinggi dan mampu memberikan sumbangan akademis dan
sosial budayanya secara berkelanjutan, tidak hanya untuk kebutuhan kaum Muslim
dan masyarakat umum di tanah air, melainkan, kalau bisa, untuk seluruh umat
manusia penghuni planet bumi ini.
Dalam suasana kehidupan kaum
Muslim dan masyarakat dunia yang telah menyatu seperti sekarang ini, penyelenggaraan
madrasah tidak bisa lagi dilakukan secara sederhana, dalam arti berjalan sendiri-sendiri,
tanpa arah dan tujuan yang jelas, terpisah satu sama lain, dengan serba keterbatasan
masing-masing, seperti berlangsung selama ini, sehingga semakin menjauhkan para
muridnya dari keberanian memasuki dan menghadapi pergaulan kehidupan global yang
penuh tantangan dan persaingan. Suka atau
tidak suka, madrasah harus berhadapan pula dengan beraneka ragam nilai dan pandangan dunia yang berbeda-beda
terkait dengan
masa depan umat manusia seluruh semesta. Hanya madrasah memiliki budaya mutu dan jatidiri yang kuat akan mampu bersaing dalam menjalankan
tugas dan
tanggung jawab pendidikannya, terutama dalam
memberikan para muridnya
kemampuan menyiapkan diri menghadapi terjadinya pergeseran dan gesekan antar nilai-nilai, kecerdikan menyesuaikan diri secara tepat dalam suasan hidup serba penuh perubahan, dan kecakapan menangkap pola-pola peristiwa mendatang yang
sarat dengan tantangan untuk bisa menjadikannya sebagai peluang berkarya. Bagaimanapun, masa
depan generasi
Muslim sangat tergantung pada seberapa besar sumbangan madrasah
dalam memberikan
pelayanan pendidikan dan pembelajaran bermutu sesuai kebutuhan dan perkembangan
jaman, serta seberapa gesit madrasah
dalam menjalankan
tugas-tugas sosial dan kebudayaannya dengan penuh kepercayaan diri di tengah persaingan pendidikan
nasional dan global.
Orang sering mengkaitkan wawasan global madrasah KMI dengan
kebutuhan pragmatis kaum Muslim Indonesia saat itu karena kesulitan mengirimkan
seorang utusannya ke Muktamar Alam Islami di Mekkah pada
1926, yang memiliki kemampuan berbicara dalam dua
bahasa sekaligus: bahasa Arab dan bahasa Inggris, yang merupakan bahasa
pengantar dalam pertemuan dunia tersebut (Castles, 1966: 32; Abdullah, 1996:
824-25). Faktor lainnya berasal dari diri Imam
Zarkasyi sendiri yang dalam pengalaman
belajarnya di beberapa tempat di tanah air memperoleh banyak masukan dari luar yang tentu saja turut membuka globalitas cakrawala
pemikirannya. Pengalamannya sebagai murid yang menerima pembelajaran dua bahasa dunia (bahasa Arab
dan bahasa Inggris) secara komunikatif dan pengetahuannya dari
membaca buku-buku dalam kedua bahasa tersebut, tentu saja memberikan Imam Zarkasyi pandangan lebih
luas dibandingkan para koleganya yang tidak pernah
menerima dan mengalami hal itu (cf. Graves, 2000: 25-26). Faktor keinginannya untuk belajar ke luar negeri (Mesir) yang tidak kesampaian bisa juga turut memperkuat wawasan global madrasah-pondoknya.
Ditambah lagi, hubungannya yang akrab dengan guru-gurunya yang kebanyakan alumni Timur
Tengah, baik ketika di Solo maupun di Sumatera Barat (Wiryosukarto, 1996: 26).
Tentu
saja masih ada alasan-alasan lain yang lebih substansial turut mendorong pengembangan madrasahnya yang berwawasan global, seperti kecintaannya pada nusa dan bangsa serta kesadarannya yang tinggi untuk meneruskan dakwah Islam secara lebih mendunia melalui pendalaman ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (Saifullah, 1985: 135).
Hal ini dapat dilihat dari cita-citanya yang kuat
untuk menjadikan madrasahnya sebagai pusat kebudayaan Islam
modern, yang dapat mempertemukan
antara kemajuan Barat dan kearifan Timur, kepribadian bangsa dan
dunia, tradisi dan modernitas, dalam sebuah arena pendidikan yang
mempertemukan keunggulan Universitas Al-Azhar di Mesir, Universitas Aligarh di
India, Pondok Sanggit di Afrika Utara, dan Santiniketannya Rabindranat Tagore
di India (Saifullah,
1985: 136). Untuk memperkuat visi globalnya, seperti sudah disinggung di muka, Imam Zarkasyi sangat
aktif membangun jaringan kerja dengan dunia
luar di bidang pendidikan. Kedudukannya sebagai penasehat
Meteri Agama di bidang pendidikan (Islam) memberikan Imam
Zarkasyi
keleluasaan untuk menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh
pendidikan di luar negeri, terutama Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah,
yang pada gilirannya dapat memberikan nilai plus bagi keberadaan madrasahnya. Hal
ini semakin memudahkan pondok-madrasahnya menarik murid
baik dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti dari Malaysia, Thailand,
Singapura, Suriname, Australia, Amerika Serikat, dan bahkan Saudi Arabia (Wiryosukarto, 1996: 191-198).
Gerakan
kepramukaannya, bahkan,
sudah lama berkiprah di arena jambore tingkat
dunia yang diselenggarakan di luar negeri, antara lain di Malaysia,
Pilipina, dan Saudi Arabia (Zarkasyi , 1987: 53).
Meski
bergerak di luar arus utama pendidikan nasional,
kekukuhan Imam Zarkasyi mengembangkan keswastaan madrasahnya di atas landasan modernitas dan tradisi yang mengutamakan mutu akhirnya berhasil
memenangkan pengakuan luas dari masyarakat Muslim, bahkan hingga ke Timur
Tengah sejak 1957. Menurut Tilaar (2004: 132), pengakuan seperti
ini merupakan akreditasi dalam pengertian sebenarnya, yang nilainya jauh lebih kuat daripada akreditasi yang diberikan pemerintah belakangan, sehingga menjadikan
alumninya secara langsung dapat diterima belajar di beberapa universitas, seperti Universitas
Kairo dan Al-Azhar di Mesir, diikuti beberapa universitas lain di negara-negara
Islam (Thoha dan Masduki, 2005:
221-22).
Pengakuan ini penting artinya bagi masa depan para alumni maupun madrasah
KMI sendiri, mengingat terutama Universitas
Al-Azhar, memiliki reputasi sebagai universitas tertua di dunia dan pusat
pendidikan Islam yang diakui secara internasonal, mendidik mahasiswa dari
seluruh dunia (Islam),
dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang didengar masyarakat Muslim tentang banyak isu dan persoalan (Esposito, 2004:
59-60).
Untuk memperkuat madrasahnya, pada 1963 Imam Zarkasyi membuka
perguruan tinggi Institut Pendidikan Darussalam (IPD), yang setelah melalui proses agak panjang kini telah mengubah diri menjadi Universitas Darussalam
(UNIDA) Gontor, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. No.197/E/O/2014,
sebagai tempat pembinaan pembelajaran lebih lanjut bagi generasi muda muslim, khususnya guru-guru dan alumni madrasah
Imam Zarkasyi.
Usaha
Imam Zarkasyi menjadikan madrasahnya
sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran agama Islam yang mutunya diakui secara nasional dan global berhasil mendatangkan
daya tarik yang kuat, terutama, dari masyarakat Muslim kelas menengah terpelajar yang sedang tumbuh di wilayah ini. Keberhasilan
eksperimen
pendidikan Imam Zarkasyi pada
gilirannya turut mendorong munculnya jenis madrasah baru yang pola dan pendekatan pendidikan dan pembelajarannya
mengambil rujukan dari madrasah Imam Zarkasyi. Di masa awal pendiriannya, madrasa ini
merupakan madrasah kecil yang hanya
menampung belasan murid, kini setelah
berjalan lebih dari delapan dekade, telah menjelma menjadi sebuah madrasah besar dengan memiliki sejumlah cabang, menampung ribuan murid yang berasal dari berbagai
wilayah di tanah air, dan sebagiannya bahkan dari
luar negeri. Menurut data
2000, ada 5 pondok baru berafiliasi kepadanya, di luar 134 buah pondok alumni,
yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air, yang melibatkan murid (dan
guru) yang jumlahnya hampir 9.000 orang (Arwani: 2001: 68 dan 110). Pada 2012
jumlah madrasah cabang ini bertambah menjadi 12 buah untuk putra
dan 7 buah untuk putri dengan keseluruhan murid mencapai
18. 000 orang (Wardun, 2012). Kelihatannya jumlah madrasah cabang ini akan terus bertambah,
seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan kaum Muslim tanah air akan keberadaan madrasah bermutu yang
bisa memenuhi selera di era global.
Melihat gejala yang tampak, era ini dan
mendatang boleh dikatakan adalah era
madrasah Imam Zarkasyi. Ribuan alumninya tersebar di
banyak sektor kehidupan, dan tidak sedikit dari mereka menempati pos-pos
penting di pemerintahan dan organisasi sosial keagamaan dan politik, dengan
organisasi alumninya yang kiprahnya hampir menyaingi organisasi-organisasi
sosial keagamaan besar yang telah mapan, seperti NU dan Muhammadiyah. Besarnya penghargaan dan tanggapan positif masyarakat luas terhadap
terobosan pendidikan Imam Zarkasyi menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan
Islam maupun pendidikan nasional masih banyak celah yang harus diperbaiki dan
dibenahi untuk dapat memenuhi dan memuaskan masyarakat penggunanya.
4. Pendidikan Karakter
Seperti sudah dikatakan di atas, kurikulum madrasah Imam Zarkasyi
luas sekali cakupannya, yang bila dicermati secara mendalam, terdapat dua ciri
khusus yang menjadi ciri pokok perhatiannya, yang keduanya saling mengisi satu
sama lain dalam rangka memperkuat wawasan pendidikan globalnya. Pertama, perhatiannya
yang besar pada pendidikan karakter sebagai modal utama
bersifat mental-spiritual dalam mempersiapkan para muridnya menghadapi berbagai
tantangan kehidupan global; dan kedua, melengkapi yang pertama, pemberian
pembelajaran bahasa
Arab dan Inggris secara aktif sebagai alat
berkomunikasi dalam memasuki pergaulan global.
Terkait dengan ciri pertama kurikulumnya, pendidikan karakter
bertujuan membekali murid-muridnya
kesiapan mental-spiritual dalam mengantisipasi dan sekaligus memasuki kehidupan lebih luas baik dalam lingkup nasional maupun global. Untuk mencapai tujuan ini, madrasah perlu menanamkan sejak dini sejumlah
nilai-nilai dan sikap perilaku dasar, seperti ditetapkan dalam bangunan pendidikan karakternya. Memang Imam Zarkasyi
sendiri tidak pernah secara terang-terangan mengatakan hal itu serta memberikan
alasannya mengapa. Namun,
menggunakan logika Weberian (Kahmad, 2009: 192) dapat diperoleh
jawabannya bahwa untuk menjadikan murid mampu dan memiliki keberanian memasuki pergaulan luas seperti itu memerlukan bekal
mental-spiritual dalam bentuk kecukupan minimal ajaran moral yang selayaknya dimiliki, mencakup pemahaman dan kecintaan serta
pengamalan sejumlah nilai-nilai dan sikap perilaku dasar, seperti ditetapkan
dalam bangunan pendidikan karakternya. Karena itu, bukan secara kebetulan bila Imam Zarkasyi membuat setiap unsur pada
sistem pendidikan dan pembelajaran madrasahnya bekerja secara terpadu dalam rangka pencapaian setinggi-tingginya fungsinya sebagai “tri pusat” pendidikan (madrasah/sekolah, keluarga, dan masyarakat), dalam rangka memberikan murid-muridnya pembinaan karakter/akhlak unggul dan mulia secara menyeluruh dan utuh.
Karakter seperti apakah yang ingin dikembangkan Imam Zarkasyi pada murid-muridnya dan metode
apakan yang
digunakan agar diperoleh hasil seperti diharapkan? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu
terlebih dahulu dijelaskan pengertian karakter.
Secara kebahasaan,
karakter berasal dari bahasa Yunani, karasso,
berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti sidik jari (Koesoema, 2010: 90). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain
(Tim Redaksi, 2005: 444). Griek, seperti dikutip Zubaidi (2011: 8), mengartikan
karakter sebagai keseluruhan mutu diri bersifat alamiah dan mutu diri yang
telah dikuasai secara ajeg yang membedakan seseorang dalam keseluruhan tata
perilaku kejiwaannya yang menjadikannya unik
dalam cara berpikir dan bertindak. Karakter merupakan paduan dari segala tabiat
manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk
membedakan orang yang satu dengan yang lain.
Pendidikan karakter dimaksudkan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan
kemampuan secara berkesinambungan dalam diri seseorang untuk mengadakan penanaman
nilai-nilai, yang menghasilkan mutu diri aktif dan ajeg dalam diri seseorang
tersebut, sehingga membuat kepribadiannya semakin utuh (Koesoema, 2010: 104).
Pendidikan karakter berisikan nilai-nilai, berupa sifat-sifat atau hal-hal yang
penting dan berguna bagi kemanusiaan, karena manusia dan masyarakat bertindak
berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya benar, dan selalu diulang hingga pada
gilirannya menjadi kaidah atau pedoman hidupnya (Sastrapraja, 1993: 7).
Pendidikan karakter tidak terbatas pada penyampaian pengetahuan tentang nilai-nilai
pada seseorang, tetapi mencakup juga bagaimana menjadikan nilai-nilai tersebut
tertanam dan menyatu dalam totalitas pikiran, sikap, dan tindakan seorang tersebut
(Zubaidi, 2011: 16-17).
Seperti sudah disebutkan
di muka, madrasah KMI bertujuan memberikan pendidikan sedini mungkin demi
terciptanya calon-calon guru (dalam arti luas) yang memiliki kepribadian
Muslim, yang ciri-cirinya berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengatahuan luas,
berpikir bebas, dan berjiwa ikhlas, sebagai modal dan kesiapan diri memasuki
kehidupan yang lebih luas dalam lingkup nasional maupupun global. Potret manusia muslim seperti itu merupakan gambaran rinci
dari pribadi bertauhīd, yang urutannya juga tidak boleh diubah
serta dikurangi.
Berbudi tinggi atau berakhlak mulia adalah sikap mental sebagai pancaran
nilai-nilai moral yang mendorong
seseorang menjauh dari segala sikap dan perilaku tercela dan destruktif.
Pentingnya penanaman nilai-nilai semacam ini
tidak perlu dipertanyakan lagi karena merupakan intisari dari ajaran Islam
setelah tauhīd atau aqidah (Nasution, 1985/I:
36-54). Ketinggian budi
diharapkan dapat memberikan para muridnya, selain ketahanan aqidah dan keterjagaan ibadah, kedawaman amaliah pribadi
dan sosial yang merupakan prasyarat sebagai warga negara bermartabat dari sudut pandang agama dan etika masyarakat (Zarkasyi,
1987: 58). Jadi,
nilai-nilai agama dan kesusilaan harus menjadi
acuan hidup seseorang murid secara
perseorangan
maupun bersama-sama.
Berbadan sehat dimaksudkan sebagai kesediaan murid untuk senantiasa memelihara
atau mementingkan kesehatan jasmani (Zarkasyi, 1987: 50).
Melalui doktrin ini, diharapkan apapun pekerjaan yang dijalankan muridnya kelak, kesehatan badan
harus mendapat perhatian karena hanya orang yang berbadan sehat
saja dapat berjuang menghadapi kerasnya medan
kehidupan. Seperti dalam pepatah Arab Al-a’qlu al-sālim fî
al-jism al-sālim, jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat, doktrin ini diharapkan mampu meneguhkan kesadaran
murid akan pentingnya nilai-nilai kesehatan jasmani, sebagai pasangan tak
terpisahkan dari sehat rohani (Arwani,
2001: 122).
Berpengetahuan luas
dimaksudkan sebagai penguasaan murid atas ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat
material-kuatitatif, melainkan yang tak kalah pentingnya adalah efek yang
ditimbulkannya lebih mengutamakan keluasan dalam melihat berbagai persoalan
tanpa terjebak dalam fanatisme aliran pemikiran keagamaan tertentu (Arwani,
2001: 101). Lewat doktrin ini
ingin ditekankan
pentingnya nilai keterbukaan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
informasi,
karena semakin
berilmu dan luas pandangan, seseorang
(murid) akan semakin mudah dalam memecahkan
berbagai persoalan hidup dan pengambilan keputusan. Penguasaan ilmu yang baik
dan luas bisa memudahkan hidup seseorang (murid), terlebih lagi di era
globalisasi (Elfindri, 2012: 40). Pentingnya penanaman nilai-nilai ini
bisa jadi karena keprihatinan Zarkasyi akan keadaan kehidupan
intelektual kaum muslim di tanah air yang selama ini terjerat dalam kepicikan
akibat sempitnya penguasaan ilmu sehingga berakibat
terabaikannya tanggung jawab bersama memajukan agama
dan umatnya (Tim Penyusun, tt: 76).
Berpikir bebas, dijelaskan Nurcholish
Madjid (1999: 967), dimaksudkan sebagai kebebasan melakukan segala
perilaku dengan tetap berdasarkan pada nalar sehat
sebagai penghargaan kepada murid akan kebutuhan azasinya
untuk mengembangkan diri sebagai pribadi bebas. Hamka (1983:
107) mengatakan bahwa keluasan ilmu tanpa kebebasan berpikir akan
melahirkan orang-orang pandai yang berwawasan sempit dan jumud;
sebaliknya, keluasan ilmu disertai kebebasan
berpikir dapat menghasilkan ḥikmah yang bermanfaat bagi kemajuan. Namun, berpikir bebas dalam konteks pendidikan yang
dikembangkan madrasah KMI tetap disertai sikap tanggung jawab, dalam arti senantiasa
terbimbing sesuai ketentuan pendidikan Islam seperti diwariskan para ulama (Wiryosukarto, 1996: 65).
Berjiwa ikhlas dimaksudkan sebagai keadaan batin yang bersih dan tulus-tanpa pamrih dari hal-hal
yang sifatnya duniawi. Dalam kaitan dengan
pendidikan karakter, berjiwa ikhlas dimaknai sebagai
tertatanya keadaan jiwa secara tulus dalam mengarahkan seluruh kegiatan warga
madrasah, mulai dari pimpinan, guru-murid, pengurus-staf,
hingga murid-murid sendiri, tanpa didasari dorongan
meraih keuntungan apapun, selain rasa tanggung jawab memajukan agama. Sejak
awal, sikap seperti ini telah diperlihatkan Imam Zarkasyi dan
keluarganya dengan mewakafkan diri dan harta mereka semata untuk
kepentingan madrasah; diikuti keikhlasan para guru dan stafnya dengan mengajar tanpa gaji, dan para muridnya dalam menuntut ilmu (Zarkasyi, 1987: 8).
Di tengah pergaulan
masyarakat dunia yang telah menyatu ini, siapa saja tidak dapat hidup dengan memisahkan
diri dari dunia luar, melainkan harus memiliki kesiapan diri dan keberanian
menghadapi dan, bahkan bersaing, di dalamnya. Berbekal ajaran tauhid dan
nilai-nilai ajaran seperti disebutkan di atas, murid-murid madrasah diharapkan mampu
mengenali dan memilih nilai-nilai ajaran apa saja dari agama dan tradisi bangsa
sendiri maupun dari luar, termasuk dari kebudayaan Barat, serta mengambilnya
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar mampu menyesuaikan diri secara cerdas dengan
lingkungan masyarakat yang terus berubah, serta mampu menangkap secara jeli
pola-pola peristiwa mendatang yang penuh tantangan dan sekaligus mampu menjadikannya
sebagai peluang untuk berkarya.
Hingga hari ini problem
pemilihan nilai-nilai dasar sebenarnya masih menghadang kebanyakan lembaga pendidikan di tanah air,
termasuk madrasah sendiri, untuk menghadapi kompleksitas tantangan pendidikan global. Di antara mereka ada yang sudah siap dengan berbagai akibatnya;
akan tetapi, tidak sedikit dari mereka yang hingga kini masih gamang karena adanya
perasaan “persaingan budaya” yang tidak seimbang sehingga melahirkan berbagai kekhawatiran
yang disebut Buchori (2001:82) dengan “erosi budaya” pada generasi muda. Dalam keadaan
seperti ini, Imam Zarkasyi patut mendapatkan
penghargaan dengan keberaniannya membuat pilihan tegas dan jelas terkait visi, misi, dan tujuan pendidikan yang
hendak dicapainya. Kekuatan lainnya dari pendidikan karakter yang dikembangkan Imam Zarkasyi
terletak pada kegigihannya menempatkan nilai-nilai ajaran agama
dan etika kebangsaan secara terpadu, yang dengannya
diharapkan dapat mendasari dan menyinari usaha penanaman dan penerapan nilai-nilai dari sumber lain yang diinginkan.
Bagaimana nilai-nilai dan etika tersebut dipahami
dan diamalkan
dapat diketahui dari cara Imam Zarkasyi mengelola madrasah dan pondoknya secara bersamaan. Dibantu seluruh guru dan pegawainya, dia terlibat
langsung dalam seluruh kegiatan pendidikan dan pembelajaran, mulai dari acara perkenalan murid
baru, pembelajaran di dalam dan di luar kelas, hingga
acara perpisahan murid di akhir program. Dia menggunakan pondok dan madrasahnya secara bersamaan sebagai lembaga yang, seperti sudah disebut
di muka, berusaha memadukan fungsi madrasah/sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam rangka pemberian kemampuan berilmu dan ketrampilan serta penanaman
nilai-nilai,
sikap,
dan pandangan hidup yang sepantasnya dipedomani
dan diamalkan para murid sebagai calon guru yang patut ditauladani setiap orang. Untuk keperluan ini, dia selalu mengawasi
seluruh kegiatan para muridnya yang terjadwal secara teratur untuk membiasakan diri belajar dengan baik, hidup sehat dan benar, mandiri, kerja keras,
jujur, tepat sasaran, kerja sama, saling percaya, tolong-menolong,
dan bertanggung jawab (Zarkasyi, 1987: 10).
Dalam prinsip pembelajarannya, Imam Zarkasyi selalu mengusahakan adanya kesesuaian antara aspek
tujuan dan azas-azasnya dengan kandungan
materi serta penerapannya dalam kehidupan nyata sehari-hari demi
terciptanya tata among yang baik untuk
menghindari terjadinya tabrakan antar nilai-nilai yang tidak diinginkan (Abdullah, 1996: 826). Sebagai contoh, untuk
pengembangan nilai-nilai berpikir bebas, terutama di kelas-kelas atas, diberikan
materi pelajaran ush al-figh agar mereka terbuka terhadap berbagai pemikiran
hukum mazhab-mazhab utama dalam fiqh. Mereka diperkenalkan dengan kitab Bidayah
al-Mujtahid Ibn Rusyd untuk memberikan murid kesadaran sejak dini akan adanya
keragaman dalam pemikiran dan pemahaman fiqh tanpa perlu pemihakan
kepada salah satunya. Untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan utama seperti di atas, murid-murid dibiasakan belajar dan
mengerjakan berbagai tugas mereka secara mandiri, teratur, dan sungguh-sungguh. Meraka juga harus menghadapi sistem penilaian
yang sangat ketat agar hasil belajar mereka benar-benar bermutu dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik maupun moral (Wardun, 2012).
Selain itu, Imam Zarkasyi
menyediakan murid-muridnya dua jenis kegiatan di luar belajar formalnya di pagi
hari: kursus sore serta belajar bersama di malam hari dan berbagai macam kegiatan
ektra-kurikuler yang terjadwal, seperti memberikan bimbingan belajar, menjadi
khatib Jum’at, iman salat, pimpinan organisasi, Kepramukaan, klub-klub olah
raga dan kesenian, serta kelompok-kelompok diskusi. Harus menangani sendiri
semua kegiatan lewat organisasi intra, pemberian kedua jenis kegiatan ini dimaksudkan
sebagai sarana melatih ketrampilan
sekaligus menanamkan nilai-nilai tanggung jawab seperti diinginkan. Menurut
Syaifullah (1985: 145), latihan ini besar sekali arti dan manfaatnya bagi
persiapan murid, terutama setelah mereka kembali ke masyarakat, termasuk dalam
mengadakan pembaruan di dalamnya.
Lingkungan belajar
juga dijaga sedemikian rupa agar selalu tampak bersih dan rapi sehingga boleh
dikatakan seluruhnya hampir berfungsi untuk pencapaian tujuan pendidikan, mulai
dari pengaturan penggunaan kamar (tidur), kelas, masjid, hingga dapur umum. Asrama-asrama
tempat tinggal murid-murid
diberikan cita rasa mendunia, seperti Gedung
Tunis, Sanggit, Aligarh, Saudi, Palestina, Sudan dan Afganistan, demikian pula dalam hal penggunaan
bahasa dalam pergaulan mereka sehari-hari.
Namun, pada saat yang sama mereka senantiasa dapat menjaga jatidiri kebangsaan mereka.
Bertempat di pedalaman Jawa Timur, suasana kehidupan madrasah Imam Zarkasyi lebih
terasa ke-Indonesia-annya daripada ke-Jawa-annya.
Juga, aroma ke-Arab-an mereka juga tidak terasa,
sekalipun bahasa Arab sangat menonjol penggunaannya disamping bahasa
Indonesia.
Penggunaan tiap-tiap
kamar tidur diatur sedemikian rupa dengan tidak membolehkan para penghuniannya masing-masing
dari satu suku saja, tetapi harus dari berbagi suku agar tercipta sistem
pertemanan dan persaudaraan lintas budaya yang baik dan sehat (Abdullah, 1996: 826). Dalam ketatnya
pengawasan Kyai dan guru-guru, murid dibiasakan menjalani kehidupan bersama dalam
masyarakat etis sebagai upaya bagaimana menanamkan dan mewujudkan nilai-nilai
susila dan sosial dalam suasana pergaulan murid yang beragam secara sosial dan budaya
dengan saling menghormati dan menjaga kehormatan
diri serta tolong-menolong dengan sesama guna menjauhkan mereka dari berbagai
bentuk pengaruh luar yang bisa merusak atau merugikan kehidupan murid secara
pribadi maupun bersama-sama (Zarkasyi, 1987: 58-68). Mengingat beratnya
tantangan yang dihadapi dalam pembinaan karakter/akhlak ini, madrasah sejak
awal tidak mengenal kompromi dan toleransi bagi murid siapa saja, termasuk
anaknya sendiri, yang melakukan pelanggaran di dalamnya (Sholeh, 1996: 855). Yang tak
kalah pentingnya, di dalam kehidupan sesama antar warga madrasah jelas sekali tumbuh
subur nilai-nilai pertemanan-persaudaraan azasi sehingga memudahkan terciptanya
kedamaian semesta, seperti disimbolkan dengan nama pondok-madrasahnya, dār
al-salām (kampung damai).
5 Pembelajaran Bahasa Asing
Terkait dengan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa
Arab, Imam Zarkasyi melakukan terobosan penting dan sangat berani dengan
mengabaikan penggunaan metode yang lazim berlaku di pondok pesantren lama, yaitu
metode nahwu-terjemah, yang mementingkan penguasaan kemampuan membaca dan
menerjemahkan secara kata demi kata, dengan mendahulukan penguasaan rumus-rumus
pengaturan berbahasa (nahwu,). Bukan
hanya itu, dia juga mempelopori pengajaran bahasa Inggris, bahasa yang sama
sekali tidak punya akar dalam kurikulum pendidikan Islam sebelumnya. Untuk
kepentingan ini, Imam Zarkasyi memperkenalkan penggunaan sebuah metode baru,
yaitu Metode Langsung, yang mengharuskan penggunaan kedua bahasa yang diajarkan
tersebut secara langsung dalam pergaulan sehari-hari, yang metodenya tentu saja
sangat berbeda dengan metode nahwu-terjemah (Wiryosukarto, 1996: 53).
Seperti ditekankan Rivers
(1970: 18-22), Metode Langsung
mengajarkan bahasa (asing) secara alami; mula-mula melalui pendengaran,
kemudian mengucapkan, sekaligus murid menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari, tanpa terjemahan, dimulai dari bahasa dasar,
kemudian meningkat setahap demi setahap, termasuk bagi murid yang telah hafal Alfiah
sekalipun. Metode Langsung sama
sekali tidak memperbolehkan murid menggunakan bahasa lokal,
kecuali terpaksa. Metode yang sama juga digunakan untuk memperbaiki kemampuan
membaca kitab bagi murid-murid kelas atas tanpa menerjemahkannya secara kata demi kata, tetapi dengan teknik bedah-kaji terhadap kitab-kitab klasik
maupun kitab-kitab baru yang dilakukan secara
berkelompok, dengan menyampaikannya di depan majlis diskusi di bawah bimbingan murid-murid senior (Arwani, 2001: 128).
Penggunaan teknik ini diharapkan dapat memberikan murid kecakapan membaca mandiri sebagai bekal
menghadapi tantangan banyaknya kitab-kitab agama yang beredar dan harus
dibaca (Zarkasyi, 1987: 26-27). Apa yang dilakukan Imam Zarkasyi ini jelas mendahului kebanyakan pengajar bahasa (asing) pada umumnya,
terutama di pondok
pesantren, yang dengan beraninya memperkenalkan
pendekatan baru dalam pembelajaran bahasa. Penggunaan pendekatan baru
ini pada gilirannya mampu mendorong terciptanya budaya belajar mandiri di
kalangan murid madrasah, yang oleh Mastuhu (2003: 106-8) dikatakan dengan
ungkapan “bagaimana belajar untuk belajar”. Sebab untuk dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan informasi di era global tidak mungkin
murid harus
selalu bergantung pada kehadiran guru.
Untuk pembelajaran bahasa
Inggris, Zarkasyi menggunakan Metode Berlitz, yaitu sebuah ragam dari Metode Langsung (Richards
dan Rodgers, 2006: 12), dengan mengadakan penyesuaian seperlunya melalui
menambahkan latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan
menulis (Zarkasyi, 1990). Terobosan Imam Zarkasyi
menggunakan Metode Langsung dalam pengajaran bahasa di madrasahnya telah
menghasilkan sebuah ragam metode baru pengajaran bahasa (asing), yang oleh
kalangan ahli pengajaran bahasa biasa disebut dengan metode all in one
system, sehingga membuatnya dikenal sebagai pelopor pembaruan pengajaran
bahasa (asing) di lingkungan madrasah di tanah air (Wiryosukarto, 1996: 440).
Menurut Izzan (2011: 81-3), metode all in one system memandang bahasa
sebagai sebuah system, di dalamnya terdapat unsur-unsur
fungsional yang menunjukkan satu kesatuan tak terpisahkan, mencakup tata-bunyi, kosakata, tata-kalimat, dan ejaan, yang
melahirkan mata-ajar berbeda-beda. Kekurangan satu unsur akan menganggu unsur lainnya. Bila unsur bunyi tidak
diajarkan, misalnya, maka pelajaran menulis dalam bentuk imla akan
terhambat. Kegagalan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia disebabkan penggunaan metode pembelajaran yang
sejak awal cenderung
memisah-misahkan unsur-unsur fungsional bahasa tersebut sehingga menjadikannya
tidak lagi berfungsi sebagai sebuah sistem karena di dalamnya tidak terdapat kesalinghubungan antara
satu mata ajar dengan lainnya. Penggunaan metode all in one system
bertujuan mendudukkan bahasa Arab secara tepat, dalam arti tidak diajarkan dalam materi ajar yang
terpisah-pisah, melainkan dalam kesalinghubungan semua bagian-bagiannya secara bertahap
mulai tingkat dasar dan menengah.
Ada beberapa faktor mempengaruhi keberhasilan Imam Zarkasyi dalam eksperimen penggunaan metode pembelajaran bahasa di madrasahnya. Salah satunya adalah kedisiplinannya terhadap norma-norma
yang telah ditetapkan. Faktor lainnya
adalah keberadaan pondok (asrama) terkait penggunaannya sebagai
“laboratorium alami”, yang di dalamnya murid dibuat seolah-olah berada di tengah-tengah masyarakat
pengguna kedua bahasa tersebut (Zarkasyi, 1990: 1-6).
Tentang keberadaan pondok Nurcholish Madjid (1996: 967) mengakuinya sebagai telah
memberikan pengaruh sangat besar dalam menyangga keefektifan pembelajaran
bahasa. Satu faktor lainnya lagi yang
tidak kalah pentingnya, yaitu kemampuan Imam Zarkasyi dalam memadukan motivasi belajar bahasa yang diistilahkan Wilkins (1983: 183-85) dengan motivasi bersifat instrumental dan integratif dengan motivasi yang bersifat agamis sehingga tercipta dorongan
luhur dalam rangka meraih kembali cita-cita kejayaan pendidikan Islam.
Metode pengajaran bahasa yang ditawarkan Imam Zarkasyi
ini bisa jadi merupakan satu-satunya ragam Metode
Langsung yang kini masih diterapkan di lembaga pendidikan formal dengan hasil menggembirakan, walaupun beberapa metode baru yang lebih
canggih bermunculan untuk menyempurnakan metode-metode sebelumnya. Satu hal patut dicatat bahwa keberhasilan Imam Zarkasyi memperbarui penggunaan metode pengajaran bahasa (asing) secara
langsung telah meningkatkan pamor pendidikan Islam, khususnya madrasah, di mata
masyarakat luas, yang pada gilirannya turut memperkuat keberadaannya di kancah nasional maupun internasional.
Dengan uraian agak
panjang, dapat dikatakan bahwa sudut pandang pendidikan karakter Imam Zarkasyi sangat berbeda dengan sudut pandang para teoritisi sekuler-Barat, seperti kaum naturalis
Rousseau, puerosentris Montessori, dan positivis Comte, serta sosialis Durkheim, yang berusaha memperkecil
kemampuan manusia pada kenyataan
bersifat
lahiriah semata, atau sekedar tanggap atas ketetapan kodrati bersifat kejiawaan serta kemampuan
penyesuaian diri saja, tanpa memperhatikan matra bersifat rohaniah yang
dimiliki manusia,
sehingga dibiarkannya bertumbuh-kembang tanpa memperhatikan keberadaannya
terkait dengan Sang Pencipta sebagai landasan
utama pembentukan karakter/akhlak. Pendidikan
karakter dalam pandangan Imam Zarkasyi bukan sekedar taksonomi yang sifatnya duniawi berbentuk
pemberian pengetahuan dan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik semata, tetapi dilengkapi pula denga pengetahuan dan kemampuan rohaniah, yang dengannya memungkinkan
tumbuh-kembangnya karakter/akhlak murid secara utuh, yang sangat berguna
untuk membangun sikap kepercayaan diri dan bahkan bersaing
dalam kehidupan bersama secara
berkeadaban, yang sejauh ini masih terabaikan, terutama dalam sistem pendidikan
sekolah pada umumnya.
Imam
Zarkasyi sendiri, seperti lazimnya para pendidik modern, memiliki
pandangan positif tentang fungsi pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga
pendidikan formal, asalkan segala sesuatunya dipersiapkan dan didarma-baktikan
sepenuhnya untuk kepentingan itu. Namun, menggunakan sistem pondok, madrasah terbukti
jauh lebih tepat sasaran tidak saja dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang
bersifat pengetahuan, tetapi juga dalam pencapaian tujuan pembinaan karakter/akhlak.
Berdasarkan kesucian fitrahnya, murid di sini dibimbing sedemikian rupa untuk
mencapai keadaan karakter/akhlak yang islami, karena pada hakekatnya fitrah manusia (murid) bersifat berkembang, dalam arti dapat dibentuk atau diperbaiki, apalagi
bagi mereka masih dalam usia pembentukan (Zarkasyi, 1987: 6). Akan tetapi, bila
di kemudian hari ada sebagian dari mereka yang memiliki sifat menyimpang, atau fitrah mereka melemah, hal itu semata-mata karena pengaruh lingkungan dan pergaulan dari luar (Zarkasyi,
1987: 67-68).
Lebih lanjut, pendidikan
berfungsi memberikan bimbingan, penyempurnaan, sekaligus perbaikan yang sifatnya serba terus (Zarkasyi,
1987: 80-81), agar daya-daya dinamis pada
murid mampu mewujudkan dalam bentuk apa yang disebut Elfindri (2012: 27-28) sebagai karakter/akhlak yang
kuat dan baik, dan pada saat yang sama, memperkecil karakter/akhlak yang lemah
dan jelek. Namun, sebagai pendidik Muslim, Imam Zarkasyi tetap tawakal akan hasil akhir dari usaha pendidikannya, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah sebagai Pendidik Semesta (Zarkasyi, 1987: 93-94). Jadi,
di sini dia tidak sepenuhnya mempercayai kemampuan manusia, atau menyerah pada pengaruh
lingkungan. Selanjutnya, dia mengambil pandangan konvergensi yang menggabungkan
kedua kekuatan tersebut; namun, pada titik akhirnya, usaha pendidikannya dia
serahkan sepenuhnya pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa. Dalam teori
pendidikan, pandangan Imam Zarkasyi ini dapat digolongkan ke dalam
aliran “konvergensi plus”.
Meski sistem pondok-madrasah yang dikembangkan Imam Zarkasyi ini sering
dikritik memiliki beberapa kelemahan, misalnya dalam segi kurangnya pemberian
kedalaman ilmu keagamaan (Madjid, 1999: 970), atau dalam pemberian ilmu-ilmu
yang mengarah pada profesionalisme (Castles: 1966: 40), dia tidak pernah bergeming
dari pilihan pendekatannya sejak awal, bahwa dengan pemberian kemampuan
keilmuan agama dan umum secukupnya ditambah pendidikan karakter/akhlak yang
kuat, termasuk di dalamnya kecakapan kepemimpinan dan kemampuan berkomunikasi
dalam bahasa nasional dan internasional, sistem pondok-madrasahnya dapat mengantarkan
murid-muridnya mencapai kemudahan memasuki kehidupan nyata di masyarakat,
bahkan untuk melanjutkan belajar ke perguruan tinggi. Diakui salah satu muridnya
Abdullah (1999: 831), cendekiawan Muslim dan mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, model pendidikan
yang dikembangkan Imam Zarkasyi lewat sistem pondok-madrasahnya telah berhasil
memberikan murid-muridnya etos yang kuat dalam bentuk etos berilmu, etos
sosial, etos beragama, dan etos berdedikasi sebagai manifestasi konkrit dari
nilai-nilai dan sikap-perilaku seperti ditegaskan pada aspek-aspek dari tujuan
madrasahnya.
Alasan mengapa
Imam Zarkasyi
tetap bersikukuh
dengan penggunaan sistem pendidikan seperti itu hingga
sekarang baru ditemukan jawabannya belakangan. Menurut hasil penelitian para
ahli psikologi sosial bahwa peranan ilmu menentukan kesuksesan hidup seseorang hanya sebesar 18%,
82% sisanya
ditentukan oleh keterampilan emosional, soft skills, dan sejenisnya (Elfindri, 2012: 47). Para alumni madrasah KMI telah membuktikan hal itu. Sebagai contoh, alumni
pertamanya Idham Khalid di usia belia telah tampil dalam Konferensi Islam
Asia-Afrika di Bandung pada 1955, pernah menjabat Ketua Umum PBNU dan Wakil Perdana Menteri; Nurcholish Madjid adalah salah satu cendekiawan Muslim
Indonesia terkemuka; Hasyim Muzadi mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, sebuah organisasi
sosial-keagamaan Islam terbesar di Indonesia, dan Din Syamsuddin, Ketua PP
Muhammadiyah, yang ketokohannya diakui secara nasional maupun internasional. Setelah berlalunya era madrasah Tebuireng, kiranya sulit ditemukan madrasah baru yang mampu melahirkan kader-kader
pemimpin umat yang tangguh seperti yang dilakukan madrasah Imam Zarkasyi.
6 Sumbangan
Berdiri di atas kaki
sendiri, madrasah yang dibangun Imam Zarkasyi sejak awal mampu menunjukkan
sebagai lembaga pendidikan Islam swasta yang mandiri sehingga memudahkannya melakukan
pembenahan dan perbaikan secara bebas tanpa harus “tunduk” dengan kekuasaan
siapapun, termasuk pemerintah yang kebijakannya di bidang pendidikan memang dianggap
mudah berubah arah. Sebagai pendidik muslim dan sekaligus penggerak pendidikan yang berwawasan jauh ke depan, Imam
Zarkasyi mengerti betul bahwa persoalan utama pendidikan (Islam) sebenarnya
bukan semata-mata menyangkut bagaimana seharusnya membuat proses pembelajaran lebih
bermutu dan berdaya guna, tetapi lebih penting dari itu adalah atas dasar falsafah
dan nilai-nilai apakah pendidikan Islam harus dijalankan agar mampu mengemban
tugasnya untuk melahirkan generasi yang berkarakter/akhlak yang unggul dan
mulia hingga pada gilirannya mampu menjadi motor penggerak bagi kebangkitan
kembali pendidikan Islam yang tengah terpuruk.
Di tengah keterbelakangan
dan keterpurukan pendidikan kaum muslim, gagasan dan usaha pembaruan pendidikan
Imam Zarkasyi yang memadukan kehandalan sistem pembelajaran madrasah modern dan
keunggulan pendidikan karakter/akhlak pondok pesantren dalam satu kesatuan sistem
pondok-madrasah memiliki arti penting bagi usaha penemuan kembali sistem dan kelembagaan
baru pendidikan Islam yang lebih tepat sasaran dalam rangka memenuhi kebutuhan pencapaian
tujuan pendidikan Islam yang mampu menghasilkan lulusan berkarakter/akhlak unggul
dan mulia, tanpa harus mengabaikan pencapaian bidang keilmuan pada umumnya untuk
menghadapi kompleksitas tantangan dan persaingan pendidikan di era global, dalam
bentuk apa yang dikatakan Abdullah (1999: 831) sebagai penguatan etos berilmu, etos
beragama, etos berdedikasi, etos beramal sosial, yang dengannya murid
diharapkan mampu beradaptasi secara cerdas pada keadaan sosial yang terus
berubah tanpa kehilangan identitas diri sebagai muslim.
Terobosan pembaruan pendidikan
Imam Zarkasyi pada gilirannya mampu menumbuhkan pada madrasah kemampuan membebaskan
diri dari fungsi tradisionalnya yang diistilahkan Malik Fadjar (2005: 119) sebagai “cagar budaya”, untuk menjadikan diri sebagai sebuah lembaga
pendidikan Islam baru yang lebih terbuka terhadap perubahan dan kemajuan,
sehingga mampu mendorong kegiatan pendidikan Islam keluar dari isolasi budaya
yang selama ini terus membelenggunya. Di tengah ketidakpuasan kaum Muslim pada
umumnya terhadap lulusan madrasah
maupun sekolah, eksperimen pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi memberikan solusi
konkrit akan perlunya sistem penyelenggaraan pendidikan Islam yang berwawasan
pada pengembangan budaya mutu, bukan sebaliknya, budaya asal jalan, sebagai
modal utama menghadapi dan sekaligus menandingi perluasan pengaruh nilai-nilai
budaya baru yang dibawa modernisasi dan globalisasi, yang dapat menjauhkan murid
dari ajaran dan nilai-nilai ajaran agama dan kebudayaan bangsa. Apa yang diusahakan
Imam Zarkasyi dengan sistem pendidikan pondok-madrasahnya dapat diartikan sebagai
kritik dan sekaligus perbaikan terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional
yang disebut Tilaar (2004: 166) telah salah arah karena penekanannya yang
berlebihan hanya pada kegiatan persekolahan, dan kurang memperhatikan pembinaan karakter/akhlak murid sehingga
pada gilirannya hanya menghasilkan generasi bermental rapuh dan mudah dikuasai
nafsu yang menumpulkan rasa kemanusiaan.
Keberhasilan pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi menerapkan prinsip-prinsip
belajar dan pembelajaran modern dalam
sistem pendidikan terpadu bernama pondok-madrasah
menggantikan pondok-pesantren merupakan pencapaian budaya yang besar artinya bagi
pengembangan teori pendidikan Islam dan penerapannya,
termasuk dalam
pembelajaran bahasa, menghadapi tantangan dan tuntutan baru dunia pendidikan yang
semakin kompleks, baik dalam lingkup nasional maupun global, tanpa harus kehilangan misi sucinya sebagai
sarana meninggikan agama Allah dengan tetap memelihara nilai-nilai tradisi
kepribumian dan sekaligus kekayaan intelektual ulama klasik. Di dalamnya tercakup
dengan jelas azas-azas dan landasan dasar falsafah pendidikannya, metode
pembelajarannya, sistem manajemen dan pola kepemimpinannya, prinsip-prinsip
dasar dan strategi pembinaan karakter/akhlaknya, model penyesuaian diri dan
pengembangan kelembagaannya, serta fungsi sosialnya di masyarakat, sebagai upaya
menghadapi dan bahkan menandingi berkembangnya
pengaruh teori dan penyelenggaraan pendidikan dari luar (Islam) akibat derasnya arus modernisasi
dan globalisasi.
7 Kesimpulan
Awal abad ke-20 menyaksikan
era kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia yang ditandai dengan munculnya
serangkaian gagasan dan usaha pembaruan pendidikan Islam yang menghasilkan
sebuah sistem dan kelembagaan baru pendidikan Islam yang disebut madrasah
dengan berbagai corak ragamnya. Memperhatikan pemikiran dan usaha pembaruan pendidikan
yang dilakukan Imam Zarkasyi, dapat disimpulkan bahwa hakekat pembaruan
pendidikan Imam Zarkasyi merupakan perbaikan dan pembenahan bersifat mendasar dan menyeluruh, berusaha menyatu-padukan antara modernitas dan tradisi,
yang tekanannya tidak hanya pada aspek-aspek metode
pembelajaran dan kelembagaan, melainkan juga pada pentingnya
perumusan kembali landasan dasar bersifat pokok dan filosofis. Pemikiraan dan usahanya mengadopsi secara selektif teori dan prinsip-prinsip
belajar dan pembelajaran modern dengan tetap bertumpu pada nilai-nilai tradisi
kepribumian dan keulamaan Islam klasik merupakan pencapaian budaya yang besar
artinya bagi usaha pengembangan teori pendidikan Islam di Indonesia di awal abad ke-20 serta penerapannya di dunia
empirik pada kurun sesudahnya.
Eksperimen Imam Zarkasyi mengembangkan sistem dan kelembagaan baru berbentuk pondok-madrasah
merupakan terobosan penting dan berguna sebagai model pengembangan madrasah baru
yang cocok untuk pencapaian tujuan pendidikan berkarakter/akhlak unggul dan
mulia tanpa harus mengabaikan pengembangan kemampuan persekolahannya, dalam rangka
menghadapi kebutuhan pendidikan Islam berwawasan global. Pembaruan pendidikan Imam
Zarkasyi sekaligus menunjukkan bahwa ciri
utama pendidikan Islam adalah kemampuan dan kemauannya untuk selalu
menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan sejaman sehingga
memungkinkannya terus berusaha memperbaiki diri untuk menghadapi serta memberikan
tanggapan yang bermanfaat guna menghadapi berbagai tantangan dan kebutuhan pendidikan
nasional maupun global.
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM K.H. IMAM ZARKASYI
Reviewed by Unknown
on
8:00 AM
Rating:
No comments: