ads

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM K.H. IMAM ZARKASYI

Oleh: Drs. Mahrus As’ad, M.Ag
(Dosen IAIN Metro Lampung)

1 Pendahuluan
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah lama dikenal sangat handal dalam menghasilkan ulama besar dan tokoh-tokoh penting panutan umat, karena besarnya perhatian yang diberikan pada pembinaan akhlak-karakternya. Namun, seiring dengan datangnya modernisasi di awal abad ke-20, yang di kemudian hari melahirkan globalisasi, kehandalan pondok pesantren tersebut mulai mendapatkan saingan karena keterpakuanya pada sistem pembelajaran lama yang sulit menerima perubahan (Wiryosukarto, 1996: 45-46). Melalui kegiatan pembelajaran yang disebut “pengajian”, murid diberikan materi pembelajaran yang hanya berupa ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, disusun ke dalam dua jenjang: pengajian Qur’an dan pengajian Kitab. Pada pengajian Qur’an, pemberian materi ditekankan pada pengenalan huruf-huruf Arab agar dapat digunakan untuk melafalkan beberapa bagian dari teks Al-Qur’an, khususnya Al-Fatehah dan surat-surat pendek dalam Jus Amma, dan peraturan serta tata tertib salat, wudlu dan beberapa doa. Pada pengajian Kitab, fase awalnya difokuskan pada penguasaan tata bahasa Arab (nahwu dan saraf). Bila fase ini telah diselesaikan, murid mulai menerima pembelajaran agama dalam arti sebenarnya, yang materinya berupa kitab-kitab klasik, terutama fiqh ditambah tauhid dan tafsir. Murid yang mampu mengikuti pelajaran tingkat tinggi dapat mengambil mata pelajaran pelengkap dalam sistem halaqah, seperti tasawuf, hadits, falak, yang kesemuanya tergantung pada keahlian kyai pesantren bersangkutan (Steenbrink, 1986: 13-14).
 Metode pembelajaran yang digunakan pondok pesantren umumnya metode terjemah. Caranya, mula-mula guru membacakan matan kitab dalam bahasa Arab, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah (Jawa) sedemikian rupa, setelah itu, guru dengan panjang lebar menjelaskan maksudnya, sekalipun kebanyakan murid tidak memahaminya. Cara seperti ini berlangsung secara rutin setiap hari. Bila belum selesai dalam satu hari, kegiatan dilanjutkan esok harinya tanpa guru menanyakan sejauhmana penguasaan murid atas pelajaran yang telah diberikan pada hari sebelumnya. Penggunaan sistem pembelajaran tanpa evaluasi hasil belajar seperti ini menjadikan murid (santri) tidak mengenal batas waktu belajar. Biasanya tamat mengaji sebuah kitab digunakan seorang murid sebagai batas waktu belajarnya. Untuk memahami isi sebuah kitab, ia memerlukan waktu cukup lama, dan lebih lama lagi tentunya untuk memahami isi beberapa kitab dalam beberapa bidang ilmu agama. Dengan  demikian, banyak sekali waktu dibutuhkan seorang murid untuk membaca dan memahami isi kitab-kitab ilmu agama yang jumlahnya sangat banyak. Sedangkan, untuk membaca sendiri kitab-kitab tersebut kebanyakan murid tidak memiliki keberanian, dan mereka harus bergantung pada kyai. Selain itu, penggunaan metode pembelajaran seperti itu hanya memberikan kemudahan pada murid yang benar-benar cerdas saja dan mereka inilah yang kelak akan menjadi ulama besar; sedangkan, murid yang biasa-biasa saja, apalagi yang kurang, tidak bertambah maju (Wiryosukarto, 1996: 47).
Pemandangan yang agak janggal terjadi dalam sistem pembelajaran bahasa Arab. Sebelum mengerti betul bahasa Arab, seorang murid harus mengerti nahwu dan saraf dengan menghapal kaidah-kaidahnya yang berbentuk syair seperti dalam kitab Alfiah, sebuah kitab tata bahasa Arab memuat 1000 bait di karang oleh Ibn Malik al-Andalusi pada abad ke-13 M, yang hingga kini dianggap kitab paling tinggi dikaji di pondok-pondok pesantren tradisional. Menurut mereka, kedudukan nahwu dan saraf dalam bahasa adalah bagaikan garam dalam makanan, yang berarti orang mendahulukan makan garam daripada makanan. Itulah sebabnya mengapa seorang murid yang dapat membaca banyak kitab dan mengerti isi mereka belum tentu dapat membaca kitab-kitab lain. Selain itu, meski telah hapal betul kaidah nahwu dan saraf, murid-murid tidak dapat bercakap-cakap dalam bahasa Arab (Wiryosukarto, 1996: 47). Kelemahan metode mewarnai hampir seluruh kegiatan pembelajaran di pondok pesantren sehingga menjadikan lembaga pendidikan ini sulit menandingi gerak maju lembaga-lembaga pendidikan modern (sekuler). Keadaan pendidikan pondok pesantren seperti ini mendorong bebarapa tokoh pendidik Muslim Indonesia abad ke-20 mengupayakan pembaruan di dalamnya, antara lain dengan memperkenalkan sistem pembelajaran dan kelembagaan modern yang dikenal dengan madrasah dengan berbagai ragamnya.
Salah seorang paling menonjol dalam hal ini adalah Kyai Haji Imam Zarkasyi (1910-1985) dari Gontor Ponorogo Jawa Timur, penggagas dan sekaligus Direktur Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI), madrasah yang menjadi pilar utama sistem pendidikan Pondok Modern Gontor. Sebagai salah seorang pembaru pendidikan Islam terpenting abad ini, Imam Zarkasyi mewarisi karir intelektualnya dari orang tua dan kakek buyutnya yang adalah para pengasuh pondok pesantren, mula-mula dari pondok pesantren Tegalsari di abad ke-18, ke pondok pesantren Gontor Lama, yang kemudian mewujud dalam Pondok Modern Gontor Ponorogo sekarang, tempat KMI bernaung. Ketokohannya sebagai pendidik Muslim yang berpengaruh membawa Imam Zarkasyi memasuki lingkaran kekuasaan, terutama di masa-masa awal pemerintahan Presiden Soekarno, yang melibatkannya secara aktif dalam berbagai peran penting dalam menentukan arah dan masa depan pendidikan Islam di tanah air. Madrasah KMI yang ditinggalkannya pada 1985 boleh jadi sekarang telah menjelma menjadi sebuah madrasah (swasta) terbesar di dunia Muslim,  dengan sejumlah cabang di banyak tempat di tanah air, di antaranya beberapa pondok putri.
Dengan kejelasan visi, misi, tujuannya, dan landasan dasar pendidikannya, Imam Zarkasyi dianggap telah berhasil memperberbaiki tidak saja mutu madrasah di awal abad ke-20, tetapi juga telah memberikan azas-azas dan landasan dasar yang kuat bagi pengembangan model lembaga pendidikan Islam berbentuk pondok-madrasah berwawasan global, tanpa harus meninggalkan corak kepribumiannya sendiri. Pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi merupakan terobosan penting sehingga mengantarkan madrasah secara perlahan dan pasti mengalami perubahan sistem dan bentuk kelembagaan baru, sehingga pada gilirannya mampu menjadi tenaga pendorong yang kuat bagi kebangunan pendidikan Islam Indonesia di masa-masa selanjutnya. Apa yang diusahakan Imam Zarkasi dengan pondok-madrasahnya telah mendatangkan manfaat besar bagi usaha pemenuhan kebutuhan pendidikan kaum Muslim yang tengah mengalami perubahan arah, dan berhasil membukakan kesadaran mereka akan pentingnya penyelenggaraan pendidikan Islam yang bermutu, yang pengaruh dan daya tariknya hingga kini terus mengalir ke berbagai penjuru tanah air bahkan ke mancanegara.
Menggunakan pendekatan deskriptif-analitis, tulisan ini akan meninjau secara mendalam hakekat pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan Islam Indonesia di awal abad ke-20 dan pengaruhnya bagi kebangkitan madrasah berwawasan global di masa-masa sesudahnya. Untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai masalah yang dibahas, tinjauan pertama-tama diarahkan pada gagasan dan usaha pembaruan pendidikannya dengan jalan memahami profil madrasah dan sistem pembelajarannya, wawasan madrasah dan ciri-ciri kurikulumnya, setelah itu disusul dengan sumbangannya bagi pengembangan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan pendidikan global.

2 Gagasan dan Usaha Pembaruan Pendidikannya

Untuk memahami hakekat pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi tidak cukup dengan hanya membaca pokok-pokok pikiran pendidikannya seperti tertuang dalam sejumlah buku dan artikelnya. Bila demikian dilakukan, kesimpulan yang dihasilkan sudah pasti tidak tepat dan bahkan bisa berlawanan dengan apa yang dimaksudkan dalam pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi sendiri. Perlu diketahui Imam Zarkasyi adalah sosok pendidik sekaligus manajer yang handal yang sulit ditemukan padanannya; hampir seluruh waktunya, terutama setelah meninggalkan jabatannya di Kementerian Agama, ia dedikasikan untuk mengajar dan memimpin madrasahnya sejak didirikan. Seperti apa hakekat pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi dapat diketahui dan dipahami dari profil madrasah dan sistem pembelajaran yang dikembangkan dalamnya.
Tidak seperti madrasah pada umumnya, madrasah KMI secara kelembagaan mengambil bentuk madrasah klasikal dengan waktu belajar siang hari, berjenjang menengah, lama belajar 6 tahun setelah madrasah/sekolah dasar, bercorak keguruan, mirip program Pendidikan Guru Agama Lengkap (PGAL) 6 Tahun yang pernah dibuka Kementerian Agama pada 1980-an (Yunus, 1984: 363-364). Dipadukan dengan sistem pondok, madrasah KMI diselenggarakan berlandasan dasar dan tujuan pendidikan Islam dan kebudayaan nasional dengan menggunakan pendekatan modern. Landasan dasarnya tauhīd, yaitu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagai kesadaran mutlak dan sumber dari segala kesadaran, kenyataan alam, dan kehidupan (Saifullah, 1985: 139). Menjadikan tauhīd sebagai landasan dasar penyelenggaraan madrasah bagi Imam Zarkasyi merupakan keharusan mutlak, karena, meminjam bahasa Nasr, tauhīd adalah alpha-omega-nya agama Islam. Artinya, setiap aspek dari pendidikan Islam senantiasa berpusat pada ajaran tauhīd, yang dengannya pendidikan Islam di mana dan kapan saja berada harus senantiasa berusaha mewujudkannya dalam seluruh sendi kehidupan Muslim secara lahir maupun batin (Nasr, 1975: 29).
Sesuai dengan namanya, madrasah KMI hanya menerima murid laki-laki  yang keseluruhannya diasramakan (dipondokkan), sehingga bisa disebut dengan “pondok-madrasah”, menggantikan istilah teknis “pondok pesantren”, bertujuan memberikan pembinaan sedini mungkin agar tercipta calon-calon guru (dalam arti luas) yang berkepribadian Muslim, mempunyai ciri-ciri berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengatahuan luas, berpikir bebas, dan berjiwa ikhlas, untuk menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan di masa depan yang semakin beragam dan rumit. Kelima aspek tujuan ini dengan mudah dapat diketahui dari semboyan yang terpampang di banyak tempat di lingkungan madrasah. Gambaran manusia muslim seperti itu merupakan gambaran utuh dan rinci dari pribadi bertauhīd menurut madrasah ini, yang urutannya juga tidak boleh diubah serta dikurangi. Sebab hubungan antar unsur pada tujuan tersebut sangat erat dan saling melengkapi satu sama lain. Hal yang sama terjadi pula pada hubungan antara dasar dan tujuan pendidikannya mengingat kandungan arti dan cara memaknai keduanya juga turut menentukan azas-azas pendidikannya.
Dimaksud azas-azas dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan umum, yang juga sekaligus seperangkat nilai-nilai atau sikap dan arah kegiatan terkait dengan tegaknya penyelenggaraan madrasah, yang juga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dalam rumusan dasar dan tujuan pendidikannya. Demikian pula dengan susunan dan jenis mata pelajaran yang diprogramkan harus terdapat keterkaitan yang kuat dengan keduanya. Singkatnya, antara apa yang dicita-citakan dan penerapannya dalam praktek pendidikan dan pembelajaran harus ada keselarasan dan kesesuaian (Saifullah, 1985: 139).
Berdasar tradisi pesantren, madrasah KMI sejak awal pendiriannya bergerak di luar aras umum pendidikan nasional, dengan selalu mengedepankan azas-azas kekeluargaan, kesederhanaan, dan kemasyarakatan. Azas kekeluargaan dimaksudkan sikap perilaku atau tindakan seluruh warga madrasah, termasuk para pengasuhnya, secara sadar berusaha bagaimana memperlakukan orang lain seperti halnya dirinya sendiri ingin diperlakukan oleh orang lain tersebut (Saifullah, 1985: 139). Azas kesederhanaan dimaksudkan sebagai sikap sadar atau tahu diri akan batas kemampuan seorang pribadi berhadapan dengan orang lain dalam sebuah kelompok, yang diwujudkan di dalam madrasah ini dengan jalan menumbuhkan dalam diri setiap murid sikap hidup berkecukupan sesuai kemampuan dan kebutuhan (Wiryosukarto, 1996: 59-69). Azas kemasyarakatan diartikan sebagai nilai atau sikap yang memandang bahwa pendidikan lebih mengutamakan unsur kemanfaatan murid setelah kembali ke masyarakat daripada pencapaian nilai akademis semata. Hal ini sejalan dengan program madrasah ini yang bersifat terputus dalam rangka mengantarkan para muridnya pada pengabdian dan pencerahan masyarakat dalam memainkan peran sosial kependidikannya sebagai guru, mubaligh, imam masjid, pengurus organisasi, pegawai pemerintah, dan sebagainya (Tim Penyusun, tt: 72-73).
Meskipun demikian, sistem pendidikan dan pembelajaran madrasah ini sepenuhnya diselenggarakan secara modern, dalam arti seluruh kegiatannya diatur berdasarkan prinsip-prinsip yang mengutamakan hasil secara tepat sasaran dan berkelanjutan dalam rangka pencapaian setinggi-tingginya tugas dan fungsi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam pribumi. Dengan ketepatan sasaran dimaksudkan bahwa keseluruhan kegiatan pendidikan dan pembelajaran dikelola sedemikian rupa berdasarkan perencanaan matang sehingga hasilnya dapat diramalkan menurut pertimbangan akal sehat dan kepastian jangka waktu belajar tertentu agar masa belajar murid lebih singkat. Pencapaian setinggi-tingginya tugas dan fungsi pondok dimaksudkan bahwa seluruh unsur bawaan dan kelebihan dari lembaga pendidikan tradisional ini, terutama dalam pembentukan karakter/akhlah unggul dan mulia,  diberdayakan sebesar-besarnya untuk kepentingan penguatan dan jatidiri pendidikan Islam di masa depan. Berkelanjutan artinya bahwa penggunaan sistem pondok sebagai lembaga pendidikan (Muslim) pribumi dikelola berdasarkan prinsip-prinsip baru manajemen pendidikan sehingga keberadaannya dapat terus bertahan menghadapi kuatnya arus perubahan pendidikan nasional maupun global.  
Berdasarkan itu semua, diperlukan perombakan dan perbaikan bersifat mendasar terkait cara pandang penyelenggaraan pendidikan Islam, khususnya pondok pesantren, dari pola orang-perorang menjadi pola pembelajaran bersifat massal terpimpin, yang menempatkan sejumlah murid secara berkelompok dalam kelas-kelas berdasarkan perbedaan usia dan tingkat perkembangan mereka. Selain itu, diperlukan pula pembaruan bangunan kurikulum yang cakupan materinya tidak lagi berupa satuan kitab-kitab ilmu-ilmu agama yang dibacakan secara perorangan atau berkelompok, melainkan ke dalam sistem baru berbentuk satuan rencana pembelajaran berisikan sejumlah materi mencakup ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip modern pengembangan kurikulum, dimana unsur cakupan, pengurutan, keterkaitan, kesinambungan, dan sebagainya, menjadi dasar pertimbangan, selain azas-azas pokok yang mendasarinya (cf. Hunkins, 1980: 229-236).
Dengan demikian, kegiatan pembelajaran tidak sekedar menggunakan sarana-sarana baru seperti papan tulis, bangku, dan alat peraga, tetapi juga ketersediaan sumber belajar berupa buku-buku ajar yang materinya disesuaikan dengan kebutuhan murid. Untuk ukuran sejaman, usaha menyediakan buku-buku ajar ini bukan pekerjaan mudah. Namun, hal ini tidak menghalangi Imam Zarkasyi untuk mengusahakannya dengan menyusun sendiri buku-buku ajar tersebut, yang hingga kini buku-buku ajar tersebut masih tetap digunakan sehingga turut menentukan corak kemandirian sistem pembelajarannya (Wiryosukarto, 1996: 254-55). Pada saat bersamaan, ia juga perlu menggunakan metode pembelajaran baru guna meningkatkan kualitas proses pembelajaran, yang pada gilirannya dapat membantu meningkatkan hasil belajar murid secara lebih tepat sasaran dan tepat guna. Atas dasar ini, sangatlah wajar bila sebagian masyarakat Muslim tanah air ketika itu, menilai lembaga pendidikan ini sedikit “liberal”, meski secara asas tetap setia pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yang merupakan paham mayoritas umat Islam Indonesia (Wiryosukarto, 1996: 68-70).
Menggunakan kurikulum formal campuran, madrasah KMI berusaha memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum secara seimbang dengan pembagian 100:100, sebagai penyatuan kedua bidang ilmu tersebut. Walaupun konsep penyatuan yang dimajukan sejauh ini dinilai belum jelas arahnya (Abdullah, 1996: 826), bangunan kurikulum seperti ini tentu saja jauh lebih maju dibandingkan kurikulum madrasah pada umumnya ketika itu, dalam rangka menjawab masalah dikotomi ilmu yang terus menjadi sorotan masyarakat pendidikan Islam, yang gaungnya masih nyaring hingga belakangan (Bakry, 1984: 40-46). Kandungan materi yang diberikan di dalamnya sangat luas dan beragam, mencakup sekitar 50-an jenis mata pelajaran, yang dapat dikelompokkan ke dalam ilmu-ilmu agama, ilmu ilmu umum, ilmu keguruan, dan bahasa Arab serta bahasa Inggris. Namun, seperti yang akan dijelaskan nanti, terdapat ciri khusus di dalamnya, yaitu penonjolannya pada pemberian ekstra kurikuler yang diarahkan pada pendidikan karakter dan pembelajaran bahasa Arab dan Inggris secara aktif, yang sangat dibutuhkan murid untuk menghadapi kehidupan global. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa kurikulum madrasah KMI lebih menunjuk pada pengertian luas daripada yang berlaku di madrasah/sekolah pada umumnya, yaitu sebagai keseluruhan pengetahuan, kegiatan, dan pengalaman yang diberikan kepada murid sebagai bekal minimal dalam rangka pengembangan kecerdasan, karakter dan kepribadian mereka guna memasuki kehidupan nyata sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (cf. Nasution, 1982: 12).
Kegiatan pembelajaran berlangsung hampir tidak ada putusnya di sebuah kompleks bangunan permanen yang cukup megah disatukan dengan sistem pondok, terutama murid kelas 1-IV, mulai pukul 07.00 - 12.00 siang, diselingi dua kali istirahat. Selepas shalat dhuhur (berjamaan) dan makan siang, di bawah bimbingan para seniornya, mereka kembali melanjutkan belajar tambahan, dari pukul 14.00 - 15.00 (waktu salat ashar), sebagai pendalaman materi-materi tertentu, dilanjutkan di malam harinya dari pukul 20.00 - 22.00, di bawah pimpinan wali kelas masing-masing. Untuk murid kelas V dan VI sedikit lebih ringan, dalam arti lebih banyak belajar mandiri dan bahkan mulai dilibatkan dalam praktek mengajar di kelas-kelas bawah. Melalui kegiatan ini, kaderisasi guru guna mendapatkan guru-guru berkualitas bagi madrasah ini sudah dimulai dengan mengambil sebagian besar alumni terbaiknya.
Secara formal, penilaian mingguan diselenggarakan untuk seluruh kelas oleh sebuah kepanitiaan dengan pengawasan sangat ketat. Ujian akhir tahun diselenggarakan melalui dua cara: lisan dan tulis, yang diakhiri dengan pemberian (selembar) raport, sebagai laporan hasil belajar murid pada semester bersangkutan. Materi yang diujikan sebanyak 15 mata pelajaran, meliputi tafsir, hadis, fiqh, mahfudhat, tauhid, tamrin al-lughah, ihya, matematika, fisika, geografi, dan tarbiyah. Sejak memperoleh status persamaan dari Kementerian Agama RI pada 1998, disusul pengakuan resmi dari Kementerian Pendidikan Nasional dua tahun kemudian, murid-murid yang lulus ujian kelas VI memperoleh dua macam ijazah: ijazah lokal (KMI) dan ijazah persamaan (tanpa ujian) dari Kemernterian Agama, yang diserahkan setelah mengikuti program pengabdian (Arwani, 2001: 108-115). Sebelumnya, mereka hanya diberikan ijazah lokal; yang ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi (negeri), dibantu dengan mengikutsertakan ujian persamaan agar mendapatkan ijazah negeri sebagai persyaratan mendaftar.
Selain pembelajaran formal, kurikulum madrasah KMI juga memberikan pelajaran ekstra yang diharapkan berguna bagi pengembangkan kompetensi sikap dan perilaku murid secara pribadi maupun bersama. Yang paling menonjol adalah kepramukaan dan pidato dalam tiga bahasa: bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia, yang diselenggarakan tiga kali dalam seminggu. Khusus murid-murid kelas atas disediakan kegiatan keorganisasian yang tugasnya mengelola berbagai urusan dan kegiatan terkait dengan murid di luar pembelajaran pagi, mulai dari pengajaran siang dan malam, penggerak bahasa, olah raga, kesenian, perpustakaan, perkoperasian, penerangan, keamanan, kesehatan lingkungan, ta’mir masjid, penerimaan tamu, hingga urusan binatu. Ada lagi dua kegiatan yang khusus untuk murid kelas VI: Bedah Buku dan Wisata Perekomonian. Sesuai sebutan masing-masing, kedua kegiatan ini bertujuan edukatif-sosial, yang dengannya diharapkan dapat membekali murid kecakapan hidup (life skills) yang dibutuhkan mereka setamat belajar, baik untuk keperluan melanjutkan studi maupun terjun langsung di tengah masyarakat. Pembelajaran di madrasah ini tampak sangat padat, dan seperti dikatakan Arwani, bertujuan untuk menyiapkan profil lulusan yang berkecakapan menyeluruh, dalam arti menguasai banyak bidang: selain ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, juga kewirausahaan, kesenian dan musik (2001: 112-125). Dengan kata lain, alumni madrasah KMI adalah murid-murid yang tangguh karena dipersiapkan untuk menghadapi segala medan kehidupan.
Secara teoritik pencapaian tujuan seperti ini sangat baik dan bisa menimbulkan daya tarik tersendiri, walaupun dalam prakteknya bukan berarti tanpa masalah. Masalah kelebihan beban seperti sering diarahkan pada kurikulum madrasah kita dewasa ini (Yusuf, 2006: 97-98) jelas bisa ditemukan pada kurikulum ini yang sejak awal berusaha memberikan tempat bagi sekumpulan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara bersamaan dalam besaran porsi yang sama pula. Kepadatan kurikulum ini bisa menjadikan beban belajar murid terlalu berat, demikian juga beban guru untuk menyampaikan pokok bahasan di dalam kelas. Akibatnya, seperti dikatakan Nurcholish Madjid (1996: 971), salah satu alumni terbaiknya, kepadatan kurikulum madrasah ini berakibat pada hilangnya kedalaman yang bisa menghambat kemajuan santri yang memiliki kemampuan belajar relatif menonjol dalam penguasaan suatu ilmu dan berkurangnya suasana seperti yang dilukiskan Castle (1966: 40) sebagai “kekhusukan” yang terdapat di pondok-pondok pesantren pada umumnya. Bahkan menurutnya, model kurikulum madrasah ini sejauh ini belum mampu memberikan para muridnya kesiapan memasuki dunia kerja dalam bidang kehidupan yang labih luas, selain dalam bidang pekerjaan keagamaan.
Dalam segi manajemen, madrasah KMI teguh memegangi prinsip berdiri di atas kaki sendiri, dalam arti bahwa seluruh aktifitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajarannya sepenuhnya dirancang dan diusahakan sendiri serta bertumpu pada kekuatan sumber daya sendiri mulai dari urusan pembelajarannya, kurikulumnya, penetapan guru-gurunya, pengawasannya, pembiayaannya, hingga pengadaan sarana-prasarananya. Penerapan manajemen seperti ini dimaksudkan agar kemandirian madrasah benar-benar dapat terwujud, tanpa harus mengalami “gangguan” dari pihak luar, terutama pemerintah, seperti dialami kebanyakan madrasah/sekolah swasta. Kuncinya adalah diterapkannya semacam rencana strategis yang disebut dengan “Panca Jangka, mencakup pengembangan bidang Pendidikan dan Pengajaran, Pergedungan, Perluasan Wakaf, Kaderisasi, dan Kesejahteraan Keluarga. Semua ini terbukti sangat berguna untuk menjaga kelangsungan masa depan madrasah dalam penciptaan dan pengembangan budaya mutu sehingga pada gilirannya menimbulkan kepercayaan masyarakat karena keberhasilannya menciptakan lulusan yang bermutu pula.
Dari uriaian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat pembaruan pendikan Zarkasyi merupakan perbaikan bersifat mendasar dan menyeluruh, berusaha memadukan antara modernitas dan tradisi, yang tekanannya tidak saja pada aspek metode pembelajaran dan kelembagaan, melainkan juga pada pentingnya perumusan kembali landasan dasar pendidikan Islam yang bersifat pokok dan filosofis, dalam rangka peningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai tantangan dan kebutuhan kemajuan jaman. Terobosannya memperkenalkan sistem dan kelembagaan pendidikan baru yang memadukan berbagai unsur kelebihan sistem pendidikan dan pembelajaran madrasah modern dengan unsur-unsur kelebihan sistem pendidikan pesantren menjadikan madrasah yang diciptakannya lebih tepat sasaran dalam pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkannya. Dengan itu pula, tradisi warisan para pendidik bangsa sendiri serta ulama-pendidik muslim di masa lalu dapat terus dijaga kelanjutannya, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menyempurnakan serta sekaligus memperkaya sistem pendidikan nasional.

3 Wawasan Global

Kata “global” biasa diartikan dengan “mendunia” (Hornby, 1980: 366). Penggunaannya tidak selalu menunjuk pada kecenderungan baru, dalam arti bahwa apa yang sebelumnya dikatakan sebagai “dunia”, sekarang ini dikatakan dengan “global”. Dalam pengertian khusus, kata “global” menunjukkan bentuk kesadaran baru bersifat lintas-budaya, yang memberikan perhatian pada rumitnya tatanan baru dari hubungan antara yang bersifat bagian dengan semesta, regional dengan internasional melalui cara yang sebelumnya tidak dikenal, yang membutuhkan adanya keberagaman suku, sosial, budaya, politik, dan keagamaan secara serius (Ali, 1998: 5). Tema-tema globalitas sebagai issu dunia seperti sekarang ini tentu saja belum muncul ketika Zarkasyi mengemukakan ide-ide dan usaha pembaruan pendidikannya di awal abad ke-20. Akan tetapi, bahwa kehidupan umat manusia akan mengalami kemajuan dan perkembangan sangat pesat dan rumit sehingga melahirkan adanya keberagaman suku, sosial, budaya, politik, dan keagamaan yang khas seperi tercakup dalam penggunaan istilah “global” tersebut gejalanya sudah dapat dibaca oleh Zarkasyi sejak awal. Industrialisasi, perluasan ekonomi, dan modernisasi yang dibawa bangsa Eropa ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, sejak awal abad yang lalu, yang kemudian disambut dan dikembangkan pemerintah ini setelah kemerdekaannya, merupakan pendorong utama berkembangnya kesadaran baru tersebut beserta keseluruhan dampaknya yang mulai mempengaruhi dan dirasakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat luas, termasuk di bidang pendidikan. Hal ini mengharuskan seluruh komponen masyarakat, termasuk masyarakat Muslim, mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh, sebab inti dari globalisasi adalah persaingan yang akan menghasilkan kalah dan menang (Azizy, 2004: 18-27). Ini artinya, seluruh lembaga pendidikan yang ada, termasuk madrasah, memerlukan perbaikan dan pembenahan diri secara sungguh-sungguh agar dapat memberikan pelayanan pendidikan dan pembelajaran yang lebih bermutu untuk mengantarkan generasi muda menjadi kader-kader umat yang tangguh secara moral, rohaniah, dan keilmuan sesuai dengan tuntutan dan tantangan kemajuan jaman.
Bergaul dengan banyak tokoh dunia, Imam Zarkasyi sudah sejak awal memiliki visi pendidikan yang jelas dan berdaya jangkau ke depan, yang dapat digunakan sebagai pemandu pembaruan pendidikannya. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan Imam Zarkasyi sendiri, yang tidak henti-hentinya menekankan bahwa usaha memajukan pendidikan lewat madrasahnya bukan semata kebutuhan yang bersifat sesaat, melainkan untuk jangka panjang hingga 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan seterusnya di masa yang akan datang (Zarkasyi, 1987: 61). Ia juga sering mengemukakan bahwa penyelenggaraan madrasahnya merupakan amanah kaum Muslim sedunia, yang bertekad menjadikan para alumninya guru-guru (dalam pengertian luas) yang mampu memberikan pendidikan dan pengajaran di mana saja berada di seluruh dunia (Murtadlo, 1996: 731). Untuk mewujudkan maksud ini, Imam Zarkasyi membuat jaringan kerja dengan perguruan-perguruan luar negeri, terutama di Timur Tengah dan Asia Selatan dan Tenggara. Tentu saja ciri yang paling mudah dikenali dari wawasan global pendidikannya, seperti akan dijelaskan nanti, adalah perhatiannya yang besar pada pendidikan karakter dan penguasaan secara aktif bahasa Arab dan Inggris sebagai alat komunikasi pergaulan dunia.
Bagi Imam Zarkasyi, pengembangan madrasah berwawasan global pada dasarnya merupakan upaya menempatkan madrasah di negeri ini sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam sedunia. Ini artinya bahwa madrasah harus memiliki daya saing yang tinggi dan mampu berbicara di tingkat dunia dari segi pengembangan budaya mutu maupun lulusannya. Konsekwensinya, madrasah harus segera memperbaiki diri secara terus menerus dengan meningkatkan mutu pembelajarannya berdasarkan standar-standar yang sudah ditetapkan sebagai persyaratan utama, yang dengannya diharapkan bisa menjadikan madrasah berdaya saing tinggi dan mampu memberikan sumbangan akademis dan sosial budayanya secara berkelanjutan, tidak hanya untuk kebutuhan kaum Muslim dan masyarakat umum di tanah air, melainkan, kalau bisa, untuk seluruh umat manusia penghuni planet bumi ini.
Dalam suasana kehidupan kaum Muslim dan masyarakat dunia yang telah menyatu seperti sekarang ini, penyelenggaraan madrasah tidak bisa lagi dilakukan secara sederhana, dalam arti berjalan sendiri-sendiri, tanpa arah dan tujuan yang jelas, terpisah satu sama lain, dengan serba keterbatasan masing-masing, seperti berlangsung selama ini, sehingga semakin menjauhkan para muridnya dari keberanian memasuki dan menghadapi pergaulan kehidupan global yang penuh tantangan dan persaingan. Suka atau tidak suka,  madrasah harus berhadapan pula dengan beraneka ragam nilai dan pandangan dunia yang berbeda-beda terkait dengan masa depan umat manusia seluruh semesta. Hanya madrasah memiliki budaya mutu dan jatidiri yang kuat akan mampu bersaing dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab pendidikannya, terutama dalam memberikan para muridnya kemampuan menyiapkan diri menghadapi terjadinya pergeseran dan gesekan antar nilai-nilai, kecerdikan menyesuaikan diri secara tepat dalam suasan hidup serba penuh perubahan, dan kecakapan menangkap pola-pola peristiwa mendatang yang sarat dengan tantangan untuk bisa menjadikannya sebagai peluang berkarya. Bagaimanapun, masa depan generasi Muslim sangat tergantung pada seberapa besar sumbangan madrasah dalam memberikan pelayanan pendidikan dan pembelajaran bermutu sesuai kebutuhan dan perkembangan jaman, serta seberapa gesit madrasah dalam menjalankan tugas-tugas sosial dan kebudayaannya dengan penuh kepercayaan diri di tengah persaingan pendidikan nasional dan global.
Orang sering mengkaitkan wawasan global madrasah KMI dengan kebutuhan pragmatis kaum Muslim Indonesia saat itu karena kesulitan mengirimkan seorang utusannya ke Muktamar Alam Islami di Mekkah pada 1926, yang memiliki kemampuan berbicara dalam dua bahasa sekaligus: bahasa Arab dan bahasa Inggris, yang merupakan bahasa pengantar dalam pertemuan dunia tersebut (Castles, 1966: 32; Abdullah, 1996: 824-25). Faktor lainnya berasal dari diri Imam Zarkasyi sendiri yang dalam pengalaman belajarnya di beberapa tempat di tanah air memperoleh banyak masukan dari luar yang tentu saja turut membuka globalitas cakrawala pemikirannya. Pengalamannya sebagai murid yang menerima pembelajaran dua bahasa dunia (bahasa Arab dan bahasa Inggris) secara komunikatif dan pengetahuannya dari membaca buku-buku dalam kedua bahasa tersebut, tentu saja memberikan Imam Zarkasyi pandangan lebih luas dibandingkan para koleganya yang tidak pernah menerima dan mengalami hal itu (cf. Graves, 2000: 25-26). Faktor keinginannya untuk belajar ke luar negeri (Mesir) yang tidak kesampaian bisa juga turut memperkuat wawasan global madrasah-pondoknya. Ditambah lagi, hubungannya yang akrab dengan guru-gurunya yang kebanyakan alumni Timur Tengah, baik ketika di Solo maupun di Sumatera Barat (Wiryosukarto, 1996: 26).
Tentu saja masih ada alasan-alasan lain yang lebih substansial turut mendorong pengembangan madrasahnya yang berwawasan global, seperti kecintaannya pada nusa dan bangsa serta kesadarannya yang tinggi untuk meneruskan dakwah Islam secara lebih mendunia melalui pendalaman ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (Saifullah, 1985: 135). Hal ini dapat dilihat dari cita-citanya yang kuat untuk menjadikan madrasahnya sebagai pusat kebudayaan Islam modern, yang dapat mempertemukan antara kemajuan Barat dan kearifan Timur, kepribadian bangsa dan dunia, tradisi dan modernitas, dalam sebuah arena pendidikan yang mempertemukan keunggulan Universitas Al-Azhar di Mesir, Universitas Aligarh di India, Pondok Sanggit di Afrika Utara, dan Santiniketannya Rabindranat Tagore di India (Saifullah, 1985: 136). Untuk memperkuat visi globalnya, seperti sudah disinggung di muka, Imam Zarkasyi sangat aktif membangun jaringan kerja dengan dunia luar di bidang pendidikan. Kedudukannya sebagai penasehat Meteri Agama di bidang pendidikan (Islam) memberikan Imam Zarkasyi keleluasaan untuk menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh pendidikan di luar negeri, terutama Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah, yang pada gilirannya dapat memberikan nilai plus bagi keberadaan madrasahnya. Hal ini semakin memudahkan pondok-madrasahnya menarik murid baik dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti dari Malaysia, Thailand, Singapura, Suriname, Australia, Amerika Serikat, dan bahkan Saudi Arabia (Wiryosukarto, 1996: 191-198). Gerakan kepramukaannya, bahkan, sudah lama berkiprah di arena jambore tingkat dunia yang diselenggarakan di luar negeri, antara lain di Malaysia, Pilipina, dan Saudi Arabia (Zarkasyi , 1987: 53).
Meski bergerak di luar arus utama pendidikan nasional, kekukuhan Imam Zarkasyi mengembangkan keswastaan madrasahnya di atas landasan modernitas dan tradisi yang mengutamakan mutu akhirnya berhasil memenangkan pengakuan luas dari masyarakat Muslim, bahkan hingga ke Timur Tengah sejak 1957. Menurut Tilaar (2004: 132), pengakuan seperti ini merupakan akreditasi dalam pengertian sebenarnya, yang nilainya jauh lebih kuat daripada akreditasi yang diberikan pemerintah belakangan, sehingga menjadikan alumninya secara langsung dapat diterima belajar di beberapa universitas, seperti Universitas Kairo dan Al-Azhar di Mesir, diikuti beberapa universitas lain di negara-negara Islam (Thoha dan Masduki, 2005: 221-22). Pengakuan ini penting artinya bagi masa depan para alumni maupun madrasah KMI sendiri, mengingat terutama Universitas Al-Azhar, memiliki reputasi sebagai universitas tertua di dunia dan pusat pendidikan Islam yang diakui secara internasonal, mendidik mahasiswa dari seluruh dunia (Islam), dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang didengar masyarakat Muslim tentang banyak isu dan persoalan (Esposito, 2004: 59-60). Untuk memperkuat madrasahnya, pada 1963 Imam Zarkasyi membuka perguruan tinggi Institut Pendidikan Darussalam (IPD), yang setelah melalui proses agak panjang kini telah mengubah diri menjadi Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. No.197/E/O/2014, sebagai tempat pembinaan pembelajaran lebih lanjut bagi generasi muda muslim, khususnya guru-guru dan alumni madrasah Imam Zarkasyi.
Usaha Imam Zarkasyi menjadikan madrasahnya sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran agama Islam yang mutunya diakui secara nasional dan global berhasil mendatangkan daya tarik yang kuat, terutama, dari masyarakat Muslim kelas menengah terpelajar yang sedang tumbuh di wilayah ini. Keberhasilan eksperimen pendidikan Imam Zarkasyi pada gilirannya turut mendorong munculnya jenis madrasah baru yang pola dan pendekatan pendidikan dan pembelajarannya mengambil rujukan dari madrasah Imam Zarkasyi. Di masa awal pendiriannya, madrasa ini merupakan madrasah kecil yang hanya menampung belasan murid, kini setelah berjalan lebih dari delapan dekade, telah menjelma menjadi sebuah madrasah besar dengan memiliki sejumlah cabang, menampung ribuan murid yang berasal dari berbagai wilayah di tanah air, dan sebagiannya bahkan dari luar negeri.  Menurut data 2000, ada 5 pondok baru berafiliasi kepadanya, di luar 134 buah pondok alumni, yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air, yang melibatkan murid (dan guru) yang jumlahnya hampir 9.000 orang (Arwani: 2001: 68 dan 110). Pada 2012 jumlah madrasah cabang ini bertambah menjadi 12 buah untuk putra dan 7 buah untuk putri dengan keseluruhan murid mencapai 18. 000 orang (Wardun, 2012). Kelihatannya jumlah madrasah cabang ini akan terus bertambah, seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan kaum Muslim tanah air akan keberadaan madrasah bermutu yang bisa memenuhi selera di era global.
Melihat gejala yang tampak, era ini dan mendatang boleh dikatakan adalah era madrasah Imam Zarkasyi. Ribuan alumninya tersebar di banyak sektor kehidupan, dan tidak sedikit dari mereka menempati pos-pos penting di pemerintahan dan organisasi sosial keagamaan dan politik, dengan organisasi alumninya yang kiprahnya hampir menyaingi organisasi-organisasi sosial keagamaan besar yang telah mapan, seperti NU dan Muhammadiyah. Besarnya penghargaan dan tanggapan positif masyarakat luas terhadap terobosan pendidikan Imam Zarkasyi menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan Islam maupun pendidikan nasional masih banyak celah yang harus diperbaiki dan dibenahi untuk dapat memenuhi dan memuaskan masyarakat penggunanya.
4.  Pendidikan Karakter

Seperti sudah dikatakan di atas, kurikulum madrasah Imam Zarkasyi luas sekali cakupannya, yang bila dicermati secara mendalam, terdapat dua ciri khusus yang menjadi ciri pokok perhatiannya, yang keduanya saling mengisi satu sama lain dalam rangka memperkuat wawasan pendidikan globalnya. Pertama, perhatiannya yang besar pada pendidikan karakter sebagai modal utama bersifat mental-spiritual dalam mempersiapkan para muridnya menghadapi berbagai tantangan kehidupan global; dan kedua, melengkapi yang pertama, pemberian pembelajaran bahasa Arab dan Inggris secara aktif sebagai alat berkomunikasi dalam memasuki pergaulan global.
Terkait dengan ciri pertama kurikulumnya, pendidikan karakter bertujuan membekali murid-muridnya kesiapan mental-spiritual dalam mengantisipasi dan sekaligus memasuki kehidupan lebih luas baik dalam lingkup nasional maupun global. Untuk mencapai tujuan ini, madrasah perlu menanamkan sejak dini sejumlah nilai-nilai dan sikap perilaku dasar, seperti ditetapkan dalam bangunan pendidikan karakternya. Memang Imam Zarkasyi sendiri tidak pernah secara terang-terangan mengatakan hal itu serta memberikan alasannya mengapa. Namun, menggunakan logika Weberian (Kahmad, 2009: 192) dapat diperoleh jawabannya bahwa untuk menjadikan murid mampu dan memiliki keberanian memasuki pergaulan luas seperti itu memerlukan bekal mental-spiritual dalam bentuk kecukupan minimal ajaran moral yang selayaknya dimiliki, mencakup pemahaman dan kecintaan serta pengamalan sejumlah nilai-nilai dan sikap perilaku dasar, seperti ditetapkan dalam bangunan pendidikan karakternya. Karena itu, bukan secara kebetulan bila Imam Zarkasyi membuat setiap unsur pada sistem pendidikan dan pembelajaran madrasahnya bekerja secara terpadu dalam rangka pencapaian setinggi-tingginya fungsinya sebagai “tri pusat” pendidikan (madrasah/sekolah, keluarga, dan masyarakat), dalam rangka memberikan murid-muridnya pembinaan karakter/akhlak unggul dan mulia secara menyeluruh dan utuh.
Karakter seperti apakah yang ingin dikembangkan Imam Zarkasyi pada murid-muridnya dan metode apakan yang digunakan agar diperoleh hasil seperti diharapkan? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu terlebih dahulu dijelaskan pengertian karakter. Secara kebahasaan, karakter berasal dari bahasa Yunani, karasso,  berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti sidik jari (Koesoema, 2010: 90). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Tim Redaksi, 2005: 444). Griek, seperti dikutip Zubaidi (2011: 8), mengartikan karakter sebagai keseluruhan mutu diri bersifat alamiah dan mutu diri yang telah dikuasai secara ajeg yang membedakan seseorang dalam keseluruhan tata perilaku kejiwaannya yang  menjadikannya unik dalam cara berpikir dan bertindak. Karakter merupakan paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain.
Pendidikan karakter dimaksudkan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan secara berkesinambungan dalam diri seseorang untuk mengadakan penanaman nilai-nilai, yang menghasilkan mutu diri aktif dan ajeg dalam diri seseorang tersebut, sehingga membuat kepribadiannya semakin utuh (Koesoema, 2010: 104). Pendidikan karakter berisikan nilai-nilai, berupa sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan, karena manusia dan masyarakat bertindak berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya benar, dan selalu diulang hingga pada gilirannya menjadi kaidah atau pedoman hidupnya (Sastrapraja, 1993: 7). Pendidikan karakter tidak terbatas pada penyampaian pengetahuan tentang nilai-nilai pada seseorang, tetapi mencakup juga bagaimana menjadikan nilai-nilai tersebut tertanam dan menyatu dalam totalitas pikiran, sikap, dan tindakan seorang tersebut (Zubaidi, 2011: 16-17).
Seperti sudah disebutkan di muka, madrasah KMI bertujuan memberikan pendidikan sedini mungkin demi terciptanya calon-calon guru (dalam arti luas) yang memiliki kepribadian Muslim, yang ciri-cirinya berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengatahuan luas, berpikir bebas, dan berjiwa ikhlas, sebagai modal dan kesiapan diri memasuki kehidupan yang lebih luas dalam lingkup nasional maupupun global. Potret manusia muslim seperti itu merupakan gambaran rinci dari pribadi bertauhīd, yang urutannya juga tidak boleh diubah serta dikurangi.
Berbudi tinggi atau berakhlak mulia adalah sikap mental sebagai pancaran nilai-nilai moral yang mendorong seseorang menjauh dari segala sikap dan perilaku tercela dan destruktif. Pentingnya penanaman nilai-nilai semacam ini tidak perlu dipertanyakan lagi karena merupakan intisari dari ajaran Islam setelah tauhīd atau aqidah (Nasution, 1985/I: 36-54). Ketinggian budi diharapkan dapat memberikan para muridnya, selain ketahanan aqidah dan keterjagaan ibadah, kedawaman amaliah pribadi dan sosial yang merupakan prasyarat sebagai warga negara bermartabat dari sudut pandang agama dan etika masyarakat (Zarkasyi, 1987: 58). Jadi, nilai-nilai agama dan kesusilaan harus menjadi acuan hidup seseorang murid secara perseorangan maupun bersama-sama.
   Berbadan sehat dimaksudkan sebagai kesediaan murid untuk senantiasa memelihara atau mementingkan kesehatan jasmani (Zarkasyi, 1987: 50). Melalui doktrin ini, diharapkan apapun pekerjaan yang dijalankan muridnya kelak, kesehatan badan harus mendapat perhatian karena hanya orang yang berbadan sehat saja dapat berjuang menghadapi kerasnya medan kehidupan. Seperti dalam pepatah Arab Al-a’qlu al-sālim fî al-jism al-sālim, jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat, doktrin ini diharapkan mampu meneguhkan kesadaran murid akan pentingnya nilai-nilai kesehatan jasmani, sebagai pasangan tak terpisahkan dari sehat rohani (Arwani, 2001: 122).
Berpengetahuan luas dimaksudkan sebagai penguasaan murid atas ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat material-kuatitatif, melainkan yang tak kalah pentingnya adalah efek yang ditimbulkannya lebih mengutamakan keluasan dalam melihat berbagai persoalan tanpa terjebak dalam fanatisme aliran pemikiran keagamaan tertentu (Arwani, 2001: 101). Lewat doktrin ini ingin ditekankan pentingnya nilai keterbukaan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, karena semakin berilmu dan luas pandangan, seseorang (murid) akan semakin mudah dalam memecahkan berbagai persoalan hidup dan pengambilan keputusan. Penguasaan ilmu yang baik dan luas bisa memudahkan hidup seseorang (murid), terlebih lagi di era globalisasi (Elfindri, 2012: 40). Pentingnya penanaman nilai-nilai ini bisa jadi karena keprihatinan Zarkasyi akan keadaan kehidupan intelektual kaum muslim di tanah air yang selama ini terjerat dalam kepicikan akibat sempitnya penguasaan ilmu sehingga berakibat terabaikannya tanggung jawab bersama memajukan agama dan umatnya (Tim Penyusun, tt: 76).
Berpikir bebas, dijelaskan Nurcholish Madjid (1999: 967), dimaksudkan sebagai kebebasan melakukan segala perilaku dengan tetap berdasarkan pada nalar sehat sebagai penghargaan kepada murid akan kebutuhan azasinya untuk mengembangkan diri sebagai pribadi bebas. Hamka (1983: 107) mengatakan bahwa keluasan ilmu tanpa kebebasan berpikir akan melahirkan orang-orang pandai yang berwawasan sempit dan jumud; sebaliknya, keluasan ilmu disertai kebebasan berpikir dapat menghasilkan ḥikmah yang bermanfaat bagi kemajuan. Namun, berpikir bebas dalam konteks pendidikan yang dikembangkan madrasah KMI tetap disertai sikap tanggung jawab, dalam arti senantiasa terbimbing sesuai ketentuan pendidikan Islam seperti diwariskan para ulama (Wiryosukarto, 1996: 65).  
Berjiwa ikhlas dimaksudkan sebagai keadaan batin yang bersih dan tulus-tanpa pamrih dari hal-hal yang sifatnya duniawi. Dalam kaitan dengan pendidikan karakter, berjiwa ikhlas dimaknai sebagai tertatanya keadaan jiwa secara tulus dalam mengarahkan seluruh kegiatan warga madrasah, mulai dari pimpinan, guru-murid, pengurus-staf, hingga murid-murid sendiri, tanpa didasari dorongan meraih keuntungan apapun, selain rasa tanggung jawab memajukan agama. Sejak awal, sikap seperti ini telah diperlihatkan Imam Zarkasyi dan keluarganya dengan mewakafkan diri dan harta mereka semata untuk kepentingan madrasah; diikuti keikhlasan para guru dan stafnya dengan mengajar tanpa gaji, dan para muridnya dalam menuntut ilmu (Zarkasyi, 1987: 8).
Di tengah pergaulan masyarakat dunia yang telah menyatu ini, siapa saja tidak dapat hidup dengan memisahkan diri dari dunia luar, melainkan harus memiliki kesiapan diri dan keberanian menghadapi dan, bahkan bersaing, di dalamnya. Berbekal ajaran tauhid dan nilai-nilai ajaran seperti disebutkan di atas, murid-murid madrasah diharapkan mampu mengenali dan memilih nilai-nilai ajaran apa saja dari agama dan tradisi bangsa sendiri maupun dari luar, termasuk dari kebudayaan Barat, serta mengambilnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar  mampu menyesuaikan diri secara cerdas dengan lingkungan masyarakat yang terus berubah, serta mampu menangkap secara jeli pola-pola peristiwa mendatang yang penuh tantangan dan sekaligus mampu menjadikannya sebagai peluang untuk berkarya.
Hingga hari ini problem pemilihan nilai-nilai dasar sebenarnya masih menghadang kebanyakan lembaga pendidikan di tanah air, termasuk madrasah sendiri, untuk menghadapi kompleksitas tantangan pendidikan global. Di antara mereka ada yang sudah siap dengan berbagai akibatnya; akan tetapi, tidak sedikit dari mereka yang hingga kini masih gamang karena adanya perasaan “persaingan budaya” yang tidak seimbang sehingga melahirkan berbagai kekhawatiran yang disebut Buchori (2001:82) dengan “erosi budaya” pada generasi muda. Dalam keadaan seperti ini, Imam Zarkasyi patut mendapatkan penghargaan dengan keberaniannya membuat pilihan tegas dan jelas terkait visi, misi, dan tujuan pendidikan yang hendak dicapainya. Kekuatan lainnya dari pendidikan karakter yang dikembangkan Imam Zarkasyi terletak pada kegigihannya menempatkan nilai-nilai ajaran agama dan etika kebangsaan secara terpadu, yang dengannya diharapkan dapat mendasari dan menyinari usaha penanaman dan penerapan nilai-nilai dari sumber lain yang diinginkan.
Bagaimana nilai-nilai dan etika tersebut dipahami dan diamalkan dapat diketahui dari cara Imam Zarkasyi mengelola madrasah dan pondoknya secara bersamaan. Dibantu seluruh guru dan pegawainya, dia terlibat langsung dalam seluruh kegiatan pendidikan dan pembelajaran, mulai dari acara perkenalan murid baru, pembelajaran di dalam dan di luar kelas, hingga acara perpisahan murid di akhir program. Dia menggunakan pondok dan madrasahnya secara bersamaan sebagai lembaga yang, seperti sudah disebut di muka, berusaha memadukan fungsi madrasah/sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam rangka pemberian kemampuan berilmu dan ketrampilan serta penanaman nilai-nilai, sikap, dan pandangan hidup yang sepantasnya dipedomani dan diamalkan para murid sebagai calon guru yang patut ditauladani setiap orang. Untuk keperluan ini, dia selalu mengawasi seluruh kegiatan para muridnya yang terjadwal secara teratur untuk membiasakan diri belajar dengan baik, hidup sehat dan benar, mandiri, kerja keras, jujur, tepat sasaran, kerja sama, saling percaya, tolong-menolong, dan bertanggung jawab (Zarkasyi, 1987: 10).
Dalam prinsip pembelajarannya, Imam Zarkasyi selalu mengusahakan adanya kesesuaian antara aspek tujuan dan azas-azasnya dengan kandungan materi serta penerapannya dalam kehidupan nyata sehari-hari demi terciptanya tata among yang baik untuk menghindari terjadinya tabrakan antar nilai-nilai yang tidak diinginkan (Abdullah, 1996: 826). Sebagai contoh, untuk pengembangan nilai-nilai berpikir bebas, terutama di kelas-kelas atas, diberikan materi pelajaran ush al-figh agar mereka terbuka terhadap berbagai pemikiran hukum mazhab-mazhab utama dalam fiqh. Mereka diperkenalkan dengan kitab Bidayah al-Mujtahid Ibn Rusyd untuk memberikan murid kesadaran sejak dini akan adanya keragaman dalam pemikiran dan pemahaman fiqh tanpa perlu pemihakan kepada salah satunya. Untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan utama seperti di atas, murid-murid dibiasakan belajar dan mengerjakan berbagai tugas mereka secara mandiri, teratur, dan sungguh-sungguh. Meraka juga harus menghadapi sistem penilaian yang sangat ketat agar hasil belajar mereka benar-benar bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik maupun moral (Wardun, 2012).
Selain itu, Imam Zarkasyi menyediakan murid-muridnya dua jenis kegiatan di luar belajar formalnya di pagi hari: kursus sore serta belajar bersama di malam hari dan berbagai macam kegiatan ektra-kurikuler yang terjadwal, seperti memberikan bimbingan belajar, menjadi khatib Jum’at, iman salat, pimpinan organisasi, Kepramukaan, klub-klub olah raga dan kesenian, serta kelompok-kelompok diskusi. Harus menangani sendiri semua kegiatan lewat organisasi intra, pemberian kedua jenis kegiatan ini dimaksudkan sebagai sarana melatih ketrampilan sekaligus menanamkan nilai-nilai tanggung jawab seperti diinginkan. Menurut Syaifullah (1985: 145), latihan ini besar sekali arti dan manfaatnya bagi persiapan murid, terutama setelah mereka kembali ke masyarakat, termasuk dalam mengadakan pembaruan di dalamnya.
Lingkungan belajar juga dijaga sedemikian rupa agar selalu tampak bersih dan rapi sehingga boleh dikatakan seluruhnya hampir berfungsi untuk pencapaian tujuan pendidikan, mulai dari pengaturan penggunaan kamar (tidur), kelas, masjid, hingga dapur umum. Asrama-asrama tempat tinggal murid-murid diberikan cita rasa mendunia, seperti Gedung Tunis, Sanggit, Aligarh, Saudi, Palestina, Sudan dan Afganistan, demikian pula dalam hal penggunaan bahasa dalam pergaulan mereka sehari-hari. Namun, pada saat yang sama mereka senantiasa dapat menjaga jatidiri kebangsaan mereka. Bertempat di pedalaman Jawa Timur, suasana kehidupan madrasah Imam Zarkasyi lebih terasa ke-Indonesia-annya daripada ke-Jawa-annya. Juga, aroma ke-Arab-an mereka juga tidak terasa, sekalipun bahasa Arab sangat menonjol penggunaannya disamping bahasa Indonesia.
Penggunaan tiap-tiap kamar tidur diatur sedemikian rupa dengan tidak membolehkan para penghuniannya masing-masing dari satu suku saja, tetapi harus dari berbagi suku agar tercipta sistem pertemanan dan persaudaraan lintas budaya yang baik dan sehat (Abdullah, 1996: 826). Dalam ketatnya pengawasan Kyai dan guru-guru, murid dibiasakan menjalani kehidupan bersama dalam masyarakat etis sebagai upaya bagaimana menanamkan dan mewujudkan nilai-nilai susila dan sosial dalam suasana pergaulan murid yang beragam secara sosial dan budaya dengan saling menghormati  dan menjaga kehormatan diri serta tolong-menolong dengan sesama guna menjauhkan mereka dari berbagai bentuk pengaruh luar yang bisa merusak atau merugikan kehidupan murid secara pribadi maupun bersama-sama (Zarkasyi, 1987: 58-68). Mengingat beratnya tantangan yang dihadapi dalam pembinaan karakter/akhlak ini, madrasah sejak awal tidak mengenal kompromi dan toleransi bagi murid siapa saja, termasuk anaknya sendiri, yang melakukan pelanggaran di dalamnya (Sholeh, 1996: 855). Yang tak kalah pentingnya, di dalam kehidupan sesama antar warga madrasah jelas sekali tumbuh subur nilai-nilai pertemanan-persaudaraan azasi sehingga memudahkan terciptanya kedamaian semesta, seperti disimbolkan dengan nama pondok-madrasahnya, dār al-salām (kampung damai).

5 Pembelajaran Bahasa Asing
Terkait dengan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Arab, Imam Zarkasyi melakukan terobosan penting dan sangat berani dengan mengabaikan penggunaan metode yang lazim berlaku di pondok pesantren lama, yaitu metode nahwu-terjemah, yang mementingkan penguasaan kemampuan membaca dan menerjemahkan secara kata demi kata, dengan mendahulukan penguasaan rumus-rumus pengaturan berbahasa  (nahwu,). Bukan hanya itu, dia juga mempelopori pengajaran bahasa Inggris, bahasa yang sama sekali tidak punya akar dalam kurikulum pendidikan Islam sebelumnya. Untuk kepentingan ini, Imam Zarkasyi memperkenalkan penggunaan sebuah metode baru, yaitu Metode Langsung, yang mengharuskan penggunaan kedua bahasa yang diajarkan tersebut secara langsung dalam pergaulan sehari-hari, yang metodenya tentu saja sangat berbeda dengan metode nahwu-terjemah (Wiryosukarto, 1996: 53).
Seperti ditekankan Rivers (1970: 18-22), Metode Langsung mengajarkan bahasa (asing) secara alami; mula-mula melalui pendengaran, kemudian mengucapkan, sekaligus murid menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari, tanpa terjemahan, dimulai dari bahasa dasar, kemudian meningkat setahap demi setahap, termasuk bagi murid yang telah hafal Alfiah sekalipun. Metode Langsung sama sekali tidak memperbolehkan murid menggunakan bahasa lokal, kecuali terpaksa. Metode yang sama juga digunakan untuk memperbaiki kemampuan membaca kitab bagi murid-murid kelas atas tanpa menerjemahkannya secara kata demi kata, tetapi dengan teknik bedah-kaji terhadap kitab-kitab klasik maupun kitab-kitab baru yang dilakukan secara berkelompok, dengan menyampaikannya di depan majlis diskusi di bawah bimbingan murid-murid senior (Arwani, 2001: 128).
Penggunaan teknik ini diharapkan dapat memberikan murid kecakapan membaca mandiri sebagai bekal menghadapi tantangan banyaknya kitab-kitab agama yang beredar dan harus dibaca (Zarkasyi, 1987: 26-27). Apa yang dilakukan Imam Zarkasyi ini jelas mendahului kebanyakan pengajar bahasa (asing) pada umumnya, terutama di pondok pesantren, yang dengan beraninya memperkenalkan pendekatan baru dalam pembelajaran bahasa. Penggunaan pendekatan baru ini pada gilirannya mampu mendorong terciptanya budaya belajar mandiri di kalangan murid madrasah, yang oleh Mastuhu (2003: 106-8) dikatakan dengan ungkapan “bagaimana belajar untuk belajar”. Sebab untuk dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi di era global tidak mungkin murid harus selalu bergantung pada kehadiran guru.
Untuk pembelajaran bahasa Inggris, Zarkasyi menggunakan Metode Berlitz,  yaitu sebuah ragam dari Metode Langsung (Richards dan Rodgers, 2006: 12), dengan mengadakan penyesuaian seperlunya melalui menambahkan latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan menulis (Zarkasyi, 1990). Terobosan Imam Zarkasyi menggunakan Metode Langsung dalam pengajaran bahasa di madrasahnya telah menghasilkan sebuah ragam metode baru pengajaran bahasa (asing), yang oleh kalangan ahli pengajaran bahasa biasa disebut dengan metode all in one system, sehingga membuatnya dikenal sebagai pelopor pembaruan pengajaran bahasa (asing) di lingkungan madrasah di tanah air (Wiryosukarto, 1996: 440).
Menurut Izzan (2011: 81-3), metode all in one system memandang bahasa sebagai sebuah system, di dalamnya terdapat unsur-unsur fungsional yang menunjukkan satu kesatuan tak terpisahkan, mencakup tata-bunyi, kosakata, tata-kalimat, dan ejaan, yang melahirkan mata-ajar berbeda-beda. Kekurangan satu unsur akan menganggu unsur lainnya. Bila unsur bunyi tidak diajarkan, misalnya, maka pelajaran menulis dalam bentuk imla akan terhambat. Kegagalan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia disebabkan penggunaan metode pembelajaran yang sejak awal cenderung memisah-misahkan unsur-unsur fungsional bahasa tersebut sehingga menjadikannya tidak lagi berfungsi sebagai sebuah sistem karena di dalamnya tidak terdapat kesalinghubungan antara satu mata ajar dengan lainnya. Penggunaan metode all in one system bertujuan mendudukkan bahasa Arab secara tepat, dalam arti tidak diajarkan dalam materi ajar yang terpisah-pisah, melainkan dalam kesalinghubungan semua bagian-bagiannya secara bertahap mulai tingkat dasar dan menengah
Ada beberapa faktor mempengaruhi keberhasilan Imam Zarkasyi dalam eksperimen penggunaan metode pembelajaran bahasa di madrasahnya. Salah satunya adalah kedisiplinannya terhadap norma-norma yang telah ditetapkan. Faktor lainnya adalah keberadaan pondok (asrama) terkait penggunaannya sebagai “laboratorium alami”, yang di dalamnya murid dibuat seolah-olah berada di tengah-tengah masyarakat pengguna kedua bahasa tersebut (Zarkasyi, 1990: 1-6). Tentang keberadaan pondok Nurcholish Madjid (1996: 967) mengakuinya sebagai telah memberikan pengaruh sangat besar dalam menyangga keefektifan pembelajaran bahasa. Satu faktor lainnya lagi yang tidak kalah pentingnya, yaitu kemampuan Imam Zarkasyi dalam memadukan motivasi belajar bahasa yang diistilahkan Wilkins (1983: 183-85) dengan motivasi bersifat instrumental dan integratif dengan motivasi yang bersifat agamis sehingga tercipta dorongan luhur dalam rangka meraih kembali cita-cita kejayaan pendidikan Islam.
Metode pengajaran bahasa yang ditawarkan Imam Zarkasyi ini bisa jadi merupakan satu-satunya ragam Metode Langsung yang kini masih diterapkan di lembaga pendidikan formal dengan hasil menggembirakan, walaupun beberapa metode baru yang lebih canggih bermunculan untuk menyempurnakan metode-metode sebelumnya. Satu hal patut dicatat bahwa keberhasilan Imam Zarkasyi memperbarui penggunaan metode pengajaran bahasa (asing) secara langsung telah meningkatkan pamor pendidikan Islam, khususnya madrasah, di mata masyarakat luas, yang pada gilirannya turut memperkuat keberadaannya di kancah nasional maupun internasional.
Dengan uraian agak panjang, dapat dikatakan bahwa sudut pandang pendidikan karakter Imam Zarkasyi sangat berbeda dengan sudut pandang para teoritisi sekuler-Barat, seperti kaum naturalis Rousseau, puerosentris Montessori, dan positivis Comte, serta sosialis  Durkheim, yang berusaha memperkecil kemampuan manusia pada kenyataan bersifat lahiriah semata, atau sekedar tanggap atas ketetapan kodrati bersifat kejiawaan serta kemampuan penyesuaian diri saja, tanpa memperhatikan matra bersifat rohaniah yang dimiliki manusia, sehingga dibiarkannya bertumbuh-kembang tanpa memperhatikan keberadaannya terkait dengan Sang Pencipta sebagai landasan utama pembentukan karakter/akhlak. Pendidikan karakter dalam pandangan Imam Zarkasyi bukan sekedar taksonomi yang sifatnya duniawi berbentuk pemberian pengetahuan dan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik semata, tetapi dilengkapi pula denga pengetahuan dan kemampuan rohaniah, yang dengannya memungkinkan tumbuh-kembangnya karakter/akhlak murid secara utuh, yang sangat berguna untuk membangun sikap kepercayaan diri dan bahkan bersaing dalam kehidupan bersama secara berkeadaban, yang sejauh ini masih terabaikan, terutama dalam sistem pendidikan sekolah pada umumnya.
Imam Zarkasyi sendiri, seperti lazimnya para pendidik modern, memiliki pandangan positif tentang fungsi pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan formal, asalkan segala sesuatunya dipersiapkan dan didarma-baktikan sepenuhnya untuk kepentingan itu. Namun, menggunakan sistem pondok, madrasah terbukti jauh lebih tepat sasaran tidak saja dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang bersifat pengetahuan, tetapi juga dalam pencapaian tujuan pembinaan karakter/akhlak. Berdasarkan kesucian fitrahnya, murid di sini dibimbing sedemikian rupa untuk mencapai keadaan karakter/akhlak yang islami, karena pada hakekatnya fitrah manusia (murid) bersifat berkembang, dalam arti dapat dibentuk atau diperbaiki, apalagi bagi mereka masih dalam usia pembentukan (Zarkasyi, 1987: 6). Akan tetapi, bila di kemudian hari ada sebagian dari mereka yang memiliki sifat menyimpang, atau fitrah mereka melemah, hal itu semata-mata karena pengaruh lingkungan dan pergaulan dari luar (Zarkasyi, 1987: 67-68).
Lebih lanjut, pendidikan berfungsi memberikan bimbingan, penyempurnaan, sekaligus perbaikan yang sifatnya serba terus (Zarkasyi, 1987: 80-81), agar daya-daya dinamis pada murid mampu mewujudkan dalam bentuk apa yang disebut Elfindri (2012: 27-28) sebagai karakter/akhlak yang kuat dan baik, dan pada saat yang sama, memperkecil karakter/akhlak yang lemah dan jelek. Namun, sebagai pendidik Muslim, Imam Zarkasyi tetap tawakal akan hasil akhir dari usaha pendidikannya, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah sebagai Pendidik Semesta (Zarkasyi, 1987: 93-94). Jadi, di sini dia tidak sepenuhnya mempercayai kemampuan manusia, atau menyerah pada pengaruh lingkungan. Selanjutnya, dia mengambil pandangan konvergensi yang menggabungkan kedua kekuatan tersebut; namun, pada titik akhirnya, usaha pendidikannya dia serahkan sepenuhnya pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa. Dalam teori pendidikan, pandangan Imam Zarkasyi ini dapat digolongkan ke dalam aliran “konvergensi plus”.
Meski sistem pondok-madrasah yang dikembangkan Imam Zarkasyi ini sering dikritik memiliki beberapa kelemahan, misalnya dalam segi kurangnya pemberian kedalaman ilmu keagamaan (Madjid, 1999: 970), atau dalam pemberian ilmu-ilmu yang mengarah pada profesionalisme (Castles: 1966: 40), dia tidak pernah bergeming dari pilihan pendekatannya sejak awal, bahwa dengan pemberian kemampuan keilmuan agama dan umum secukupnya ditambah pendidikan karakter/akhlak yang kuat, termasuk di dalamnya kecakapan kepemimpinan dan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa nasional dan internasional, sistem pondok-madrasahnya dapat mengantarkan murid-muridnya mencapai kemudahan memasuki kehidupan nyata di masyarakat, bahkan untuk melanjutkan belajar ke perguruan tinggi. Diakui salah satu muridnya Abdullah (1999: 831), cendekiawan Muslim dan mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, model pendidikan yang dikembangkan Imam Zarkasyi lewat sistem pondok-madrasahnya telah berhasil memberikan murid-muridnya etos yang kuat dalam bentuk etos berilmu, etos sosial, etos beragama, dan etos berdedikasi sebagai manifestasi konkrit dari nilai-nilai dan sikap-perilaku seperti ditegaskan pada aspek-aspek dari tujuan madrasahnya.
Alasan mengapa Imam Zarkasyi tetap bersikukuh dengan penggunaan sistem pendidikan seperti itu hingga sekarang baru ditemukan jawabannya belakangan. Menurut hasil penelitian para ahli psikologi sosial bahwa peranan ilmu menentukan  kesuksesan hidup seseorang hanya sebesar 18%, 82% sisanya ditentukan oleh keterampilan emosional, soft skills, dan sejenisnya (Elfindri, 2012: 47). Para alumni madrasah KMI telah membuktikan hal itu. Sebagai contoh, alumni pertamanya Idham Khalid di usia belia telah tampil dalam Konferensi Islam Asia-Afrika di Bandung pada 1955, pernah menjabat Ketua Umum PBNU dan Wakil Perdana Menteri; Nurcholish Madjid adalah salah satu cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka; Hasyim Muzadi mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi sosial-keagamaan Islam terbesar di Indonesia, dan Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah, yang ketokohannya diakui secara nasional maupun internasional. Setelah berlalunya era madrasah Tebuireng, kiranya sulit ditemukan madrasah baru yang mampu melahirkan kader-kader pemimpin umat yang tangguh seperti yang dilakukan madrasah Imam Zarkasyi.

6 Sumbangan
Berdiri di atas kaki sendiri, madrasah yang dibangun Imam Zarkasyi sejak awal mampu menunjukkan sebagai lembaga pendidikan Islam swasta yang mandiri sehingga memudahkannya melakukan pembenahan dan perbaikan secara bebas tanpa harus “tunduk” dengan kekuasaan siapapun, termasuk pemerintah yang kebijakannya di bidang pendidikan memang dianggap mudah berubah arah. Sebagai pendidik muslim dan sekaligus penggerak  pendidikan yang berwawasan jauh ke depan, Imam Zarkasyi mengerti betul bahwa persoalan utama pendidikan (Islam) sebenarnya bukan semata-mata menyangkut bagaimana seharusnya membuat proses pembelajaran lebih bermutu dan berdaya guna, tetapi lebih penting dari itu adalah atas dasar falsafah dan nilai-nilai apakah pendidikan Islam harus dijalankan agar mampu mengemban tugasnya untuk melahirkan generasi yang berkarakter/akhlak yang unggul dan mulia hingga pada gilirannya mampu menjadi motor penggerak bagi kebangkitan kembali pendidikan Islam yang tengah terpuruk.
Di tengah keterbelakangan dan keterpurukan pendidikan kaum muslim, gagasan dan usaha pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi yang memadukan kehandalan sistem pembelajaran madrasah modern dan keunggulan pendidikan karakter/akhlak pondok pesantren dalam satu kesatuan sistem pondok-madrasah memiliki arti penting bagi usaha penemuan kembali sistem dan kelembagaan baru pendidikan Islam yang lebih tepat sasaran dalam rangka memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan pendidikan Islam yang mampu menghasilkan lulusan berkarakter/akhlak unggul dan mulia, tanpa harus mengabaikan pencapaian bidang keilmuan pada umumnya untuk menghadapi kompleksitas tantangan dan persaingan pendidikan di era global, dalam bentuk apa yang dikatakan Abdullah (1999: 831) sebagai penguatan etos berilmu, etos beragama, etos berdedikasi, etos beramal sosial, yang dengannya murid diharapkan mampu beradaptasi secara cerdas pada keadaan sosial yang terus berubah tanpa kehilangan identitas diri sebagai muslim.
Terobosan pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi pada gilirannya mampu menumbuhkan pada madrasah kemampuan membebaskan diri dari fungsi tradisionalnya yang diistilahkan Malik Fadjar (2005: 119) sebagai “cagar budaya”, untuk menjadikan diri sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam baru yang lebih terbuka terhadap perubahan dan kemajuan, sehingga mampu mendorong kegiatan pendidikan Islam keluar dari isolasi budaya yang selama ini terus membelenggunya. Di tengah ketidakpuasan kaum Muslim pada umumnya terhadap lulusan madrasah maupun sekolah, eksperimen pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi memberikan solusi konkrit akan perlunya sistem penyelenggaraan pendidikan Islam yang berwawasan pada pengembangan budaya mutu, bukan sebaliknya, budaya asal jalan, sebagai modal utama menghadapi dan sekaligus menandingi perluasan pengaruh nilai-nilai budaya baru yang dibawa modernisasi dan globalisasi, yang dapat menjauhkan murid dari ajaran dan nilai-nilai ajaran agama dan kebudayaan bangsa. Apa yang diusahakan Imam Zarkasyi dengan sistem pendidikan pondok-madrasahnya dapat diartikan sebagai kritik dan sekaligus perbaikan terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional yang disebut Tilaar (2004: 166) telah salah arah karena penekanannya yang berlebihan hanya pada kegiatan persekolahan, dan kurang memperhatikan pembinaan karakter/akhlak murid sehingga pada gilirannya hanya menghasilkan generasi bermental rapuh dan mudah dikuasai nafsu yang menumpulkan rasa kemanusiaan.  
Keberhasilan pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi menerapkan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran modern dalam sistem pendidikan terpadu bernama pondok-madrasah menggantikan pondok-pesantren merupakan pencapaian budaya yang besar artinya bagi pengembangan teori pendidikan Islam dan penerapannya, termasuk dalam pembelajaran bahasa, menghadapi tantangan dan tuntutan baru dunia pendidikan yang semakin kompleks, baik dalam lingkup nasional maupun global,  tanpa harus kehilangan misi sucinya sebagai sarana meninggikan agama Allah dengan tetap memelihara nilai-nilai tradisi kepribumian dan sekaligus kekayaan intelektual ulama klasik. Di dalamnya tercakup dengan jelas azas-azas dan landasan dasar falsafah pendidikannya, metode pembelajarannya, sistem manajemen dan pola kepemimpinannya, prinsip-prinsip dasar dan strategi pembinaan karakter/akhlaknya, model penyesuaian diri dan pengembangan kelembagaannya, serta fungsi sosialnya di masyarakat, sebagai upaya  menghadapi dan bahkan menandingi berkembangnya pengaruh teori dan penyelenggaraan pendidikan dari luar (Islam) akibat derasnya arus modernisasi dan globalisasi.

7 Kesimpulan
Awal abad ke-20 menyaksikan era kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia yang ditandai dengan munculnya serangkaian gagasan dan usaha pembaruan pendidikan Islam yang menghasilkan sebuah sistem dan kelembagaan baru pendidikan Islam yang disebut madrasah dengan berbagai corak ragamnya. Memperhatikan pemikiran dan usaha pembaruan pendidikan yang dilakukan Imam Zarkasyi, dapat disimpulkan bahwa hakekat pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi merupakan perbaikan dan pembenahan bersifat mendasar dan menyeluruh, berusaha menyatu-padukan antara modernitas dan tradisi, yang tekanannya tidak hanya pada aspek-aspek metode pembelajaran dan kelembagaan, melainkan juga pada pentingnya perumusan kembali landasan dasar bersifat pokok dan filosofis. Pemikiraan dan usahanya mengadopsi secara selektif teori dan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran modern dengan tetap bertumpu pada nilai-nilai tradisi kepribumian dan keulamaan Islam klasik merupakan pencapaian budaya yang besar artinya bagi usaha pengembangan teori pendidikan Islam di Indonesia di awal abad ke-20 serta penerapannya di dunia empirik pada kurun sesudahnya. Eksperimen Imam Zarkasyi mengembangkan sistem dan kelembagaan baru berbentuk pondok-madrasah merupakan terobosan penting dan berguna sebagai model pengembangan madrasah baru yang cocok untuk pencapaian tujuan pendidikan berkarakter/akhlak unggul dan mulia tanpa harus mengabaikan pengembangan kemampuan persekolahannya, dalam rangka menghadapi kebutuhan pendidikan Islam berwawasan global. Pembaruan pendidikan Imam Zarkasyi sekaligus menunjukkan bahwa ciri utama pendidikan Islam adalah kemampuan dan kemauannya untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan sejaman sehingga memungkinkannya terus berusaha memperbaiki diri untuk menghadapi serta memberikan tanggapan yang bermanfaat guna menghadapi berbagai tantangan dan kebutuhan pendidikan nasional maupun global.


PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM K.H. IMAM ZARKASYI PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM K.H. IMAM ZARKASYI Reviewed by Unknown on 8:00 AM Rating: 5

No comments:

ads
Powered by Blogger.