ads

Sosiologi Pendidikan: Guru Sebagai Model


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Saat ini peran guru begitu penting di dunia pendidikan, selain sebagai pendidik, guru juga sebagai pembimbing, namun yang perlu diperhatikan adalah mampukah seorang guru menjadi sosok yang bisa dijadikan contoh yang baik/teladan yang ideal bagi anak didiknya. Karena apa yang dilakukan dan diucapkan guru itu diperhatikan dan ditiru oleh murid, seandainya guru yang memiliki karakter yang tidak baik, lalu murid meniru pendidiknya, apa yang akan terjadi. Oleh karenanya disini sangat ditekankan bahwa guru harus mampu memberikan teladan yang baik. Baik sikap,, ucapan dan sopan santun.
Hendaknya seorang guru sebelum memberikan ilmu memperhatikan penampilan, seorang guru harus berpenampilan yang mencerminkan seorang pendidik, kemudian pakaian yang bersih dan rapih, lalu berangkat tepat waktu dan mengedepankan kedisiplinan, ramah, dan suka membantu, juga sabar. Agar menjadi sosok yang menyenangkan.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa itu pendidik?
b.      Apa itu model/peranan?
c.       Bagaimana guru sebagai model?

C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidik
b.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan model/peranan
c.       Untuk mengetahui guru sebagai model


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidik
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, bahwa pendidik adalah orang yang yang mendidik. Dalam pengertian yang lazim digunakan, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab memeberikan pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangajasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[1] Sebagai kosakata yang bersifat generik, pendidik mencakup guru, dosen, guru besar.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Seiring dengan tekad Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan, muncul ketentuan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi tenaga pendidik profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, adalah berfungsi untuk meningkatkan martabat, dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a.       Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b.      Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c.       Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d.      Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e.       Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f.       Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g.      Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionaan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h.      Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesional;
i.        Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Imam Al-Ghazali misalnya, melihat konsep etika pendidik sebagai berikut;
1.      Menerima segala problema peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah.
2.      Bersikap penyantundan penyayang.
3.      Menjaga kewibawaan dan kehormatannya daam bertindak.
4.      Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
5.      Bersikap rendah hati ketika menyatu dengan kelompok masyarakat.
6.      Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7.      Bersikap lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat kecerdasannya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal.
8.      Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi problema peserta didik.
9.      Memperbaiki sikap peserta didiknya, dan bersikap lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya.
10.  Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik, terutama pada peserta didik yang belum mengerti dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
11.  Menerima kebenaran yang diajukan peserta didik.
12.  Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik.
13.  Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik.
14.   Mengontrol ilmu yang dipelajari peserta didik.
15.  Meganjurkan peserta didik untuk mempelajari ilmu akidah, syariah, akhlak.
16.  Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan kepada peserta didik.[2]

B.     Model dan Peranan
Pola kelakuan anak diperolehnya melalui proses sosialisasi, yakni dalam situasi-situasi sosial dan interaksi anak itu dengan manusia lain disekitarnya. Disamping itu ia juga memerlukan “model”, contoh atau teladan pola kelakuan itu.
Dalam masyarakat tradisional seperti terdapat di pedesaan yang terpencil, yang disebut Gemeinscaft, peranan setiap orang seperti bapak, ib, pemuda, pemudi, pria, wanita jelas dan dipahami oleh semua. Penyimpangan dari pola kelakuan segera mendapat teguran dan kecaman dari lingkungan sosialnya. Akan tetapi dalam masyarakat kota, yang disebut Gesselscaft, apalagi pada zaman modern ini, setiap orang harus menjalankan berbagai peranan menurut berbagai situasi sosial yang dihadapinya. Dalam masyarakat tradisional orang tua menjadi teladan atau model bagi generasi muda. Model bagi kelakuan anak dalam masyarakat kota menjadi sangat kompleks, komunikasi massa melalui radio, tv, film, menyodorkan bermacam-macam tokoh yang menjadi idaman-idaman pemuda-pemudi.
Guru diharapkan menjadi teladan bagi murid-muridnya. Kesalahan guru, menurut pepatah, akan diperlihatkan murid dalam bentuk yang lebih mendalam. Akan tetapi kita tidak tahu hingga manakah kelakuan guru yang baik ditiru oleh anak. Guru harus berpakaian bersih rapi, ia harus selalu berpegang tepat pada waktu, ia harus bertanggung jawab, berjiwa sosial, suka membantu orang, ramah, dapat mengendalikan diri, dan sebagainya, dengan harapan bahwa semua sifat-sifat yang baik itu secara sengaja atau tidak sengaja, juga menjadi sifat-sifat kelakuan anak. Akan tetapi apakah guru dapat menjadi teladan atau model dalam aneka ragam situasi sosial dalam masyarkat modern yang kompleks ini, yang mungkin tidak dikenal oleh guru seluruhnya, menjadi persoalan.
Dalam masyarakat yang kompleks ini makin sukar merumuskan apa yang dimaksud dengan kelakuan “baik”. Rupanya tidak dapat diberikan definisi yang universal, yang berlaku bagi semua orang dalam setiap situasi apakah yang “baik” itu. Apa yang baik dahulu pada zaman orang tua tidak dapat diterima oleh pemuda-pemudi zaman sekarang. Apa yang dianggap baik oleh pemuda zaman sekarang, dianggap dahulu sebagai pelanggaran adat atau susila. Demikian pula apa yang baik dirumah, tak dapat diterima oleh teman sebaya murid.
Orang tua sendiri tidak mempunyai pendirian yang konsekuen tentang apa yang baik. Mencuri dianggap jahat akan tetapi memanipulasi pajak, menggunakan barang kantor, atau waktu kantor untuk kepentingan pribadi dipandang sebagai pelanggaran norma yang baik.
Dalam dunia yang kian kompleks ini anak harus sanggup memainkan aneka ragam peranan dalam bermacam-macam segmen kehidupan. Untuk itu ia memerlukan berbagai model kelakuan diluar orang tua dan guru. Untuk situasi sosial yang baru akan diperlakukan model yang baru pula. Dengan demikian ia akan dapat menyesuaikan kelakuannya dengan apa yang diharapkan dari padanya dalam berbagai macam posisi dan situasi agar ia jangan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Karena dunia senantiasa berkembang dan berubah akhirnya setiap orang harus bersedia untuk menyesuaikan peranannya yang sesuai dengan perkembangan zaman.
C.    Guru Sebagai Model
Guru-guru tak semua sama, bahkan berbeda-beda pribadinya. Mereka mungkin pula berasal dari lingkungan sosial yang berlainan. Alasan mereka memilih pekerjaan sebagai guru berbeda-beda, ada yang sungguh-sungguh sebagai panggilan untuk mengabdikan diri kepada pendidikan anak, ada pula yang mencari lapangan kerja yang menjamin hidupnya atau yang mencari kedudukan yang berkuasa atas anak-anak sebagai kompensasi atas rasa inferioritas yang ada pada dirinya.[3]
Guru-guru yang berasal dari golongan rendah dan sebagai guru merasa dirinya meningkat kegolongan itu selama pendidikannya dan dalam jabatannya. Namun ia masih sering memperlihatkan kelakuan yang berasal dari golongannya semula. Melalui interaksi yang banyak dengan golongan menengah dan atasan, berkat pendidikan dan pengalaman tiap guru dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan modern dalam masyarakat Gesselscaft untuk memperoleh pandangan yang luas.
Guru yang terikat pada pandangan golongan asalnya akan lebih picik pandangannya. Kepicikan atau keterbatasan pandangan guru diperkuat oleh tuntutan masyarakat Gemeinscaft kelakuan guru. Dan guru-guru yang berasal dari tempat tinggal di daerah desa terpencil dan daerah asal dulu dengan dididk dengan norma atau aturan dari tempat tinggalnya,  sedangkan di sekolah kota banyak variasi yang besar masalah kesukuan dan daerah asal guru. Ada kecenderungan kedudukan guru semakin banyak di tempati kaum wanita, dengan hal ini bisa dikatakan bahwa guru menunjukkan heterogenitas, dan mereka semua diharapkan menjadi guru yang baik dimanapun mereka mengabdikan diri dan bisa menjadi contoh/model atau teladan bagi anak didik. Terkadang apa yang yang menjadi harapan orang tua tentang guru tidak selalu sepadan dengan apa yang menjadi pandangan seorang guru, apalagi memasuki dunia yang makin materialistis guru tidak lagi menempati kedudukan yang tinggi lagi. Misalnya saja, apabila guru naik sepeda atau kendaraan umum dianggap sebagai hal biasa, yang aneh bila guru SD atau SMP naik mobil, itu dianggap melebihi kesanggupan sebagai seorang guru. Dan yang membuat salah adalah seorang guru dinilai hanya sebatas status sosialnya. Ada kalanya orang tua mengucapkan kata-kata yang merendahkan gengsi guru. Guru yang menjadi sorotan murid  dan orang tua sering diberi nama julukan yang menurunkan derajat guru. Apakah orang tua menegur anak atau bahkan turut menggunakan nama julukan itu dapat meningkatkan atau menurunkan nilai guru dalam pandangan murid dan mempengaruhinya memilih atau menolak model dari kalangan guru-gurunya. Denga bertambahnya guru wanita dapat timbul masalah tentang model khususnya bagi anak pria, jika seluruh staf guru terdiri atas wanita. Guru wanita sebagai model dapat menjadi masalah, guru wanita yang sudah menikah yang menjadi guru karena didesak oleh motivasi finansial atau untuk mengelakkan kerepotan rumah tangga sukar menjadi model yang serasi, juga guru yang belum menikah dan berusia lanjut tidak akan dijadikan model oleh gadis-gadis yang menginginkan berumah tangga sendiri. Guru itu bahkan menjadi model yang negatif bagi anak-anak, bila kelakuan guru bebeda sekali dengan cita-cita murid, maka ia akan mencari model yang diluar sekolah.
Peranan anak yang diharapkan:
Sosialisasi murid di sekolah dipengaruhi oleh:
1.      Iklim sosial disekolah
2.      Adanya model bagi murid
3.      Peranan murid seperti yang diharapkan
Peranan yang diharapkan dari murid dapat dilihat dari tiga segi, yakni menurut harapan  guru, orang tua, dan murid-murid lainnya.
Jelas, guru sebagai teladan bagi siswa mereka. Di tingkat SD, guru di idolakan oleh siswa muda mereka. Di tingkat SMA, guru memilki potensi untuk menginspirasi kekaguman siswa jika mereka meneladani sikap dan perilaku positif. Sebenarnya, guru mengajarkan “tidak hanya apa yamg mereka katakan, tetapi juga apa yang mereka lakukan” (Ormrod, 2003). Guru adalah agen aktif yang ucapan dan tindakannya mengubah kehidupan membentuk masa depan, agar lebih baik atau lebih buruk. Guru mampu dan memang dapat menerapkan kekuatan dan pengaruh terhadap kehidupan siswa mereka. Seorang guru SMA menjelaskan mengapa mengembangkan hubungan positif dengan siswa sangatlah penting: “hubungan tersebut antara guru dan siswa menjadi salah satu aspek yang paling penting dalam mengajar.
Dalam dunia broken home dan kekerasan, dorongan dari guru mereka mungkin satu-satunya yang siswa pegang yang membuat mereka merasa bangga dengan mereka sendiri. Guru juga memberi teladan dengan sikap terhadap mata pelajaran yang mereka sampaikan dan menunujukkan ke siswa melaui contoh bahwa belajar merupakan proses terus-menerus yang memperkaya kehidupan yang tidak berakhir dengan ijazah dan wisuda.[4]
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik.
Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000: 225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, pasal 28 ayat (3) butir b dikemukakan bahwa kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia:

1.       Kepribadian yang mantap, stabil
Dalam hal ini untuk menjadi seseorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap, stabil. Ini penting karena banyak masalah pendidikan yang disebabkan oleh faktor kepribadian guru yang kurang mantap dan kurang stabil. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya). Oleh sebab itu, sebagai seorang guru, seharusnya kita :
a.    Bertindak sesuai dengan norma hukum
b.    Bertindak sesuai dengan norma sosial
c.    Bangga sebagai guru
d.   Memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma

2.      Kepribadian yang dewasa
Sebagai seorang guru, kita harus memiliki kepribadian yang dewasa karena terkadang banyak masalah pendidikan yang muncul yang disebabkan oleh kurang dewasanya seorang guru. Kondisi kepribadian yang demikian sering membuat guru melakukan tindakan-tindakan yang tidak profesional, tidak terpuji, bahkan tindakan- tindakan tidak senonoh yang merusak citra dan martabat guru.

3.      Kepribadian yang arif
Sebagai seorang guru kita harus memiliki pribadi yang disiplin dan arif. Hal ini penting, karena masih sering kita melihat dan mendengar peserta didik yang perilakunya tidak sesuai bahkan bertentangan dengan sikap moral yang baik. Oleh karena itu peserta didik harus belajar disiplin, dan gurulah yang harus memulainya. Dalam menanamkan disiplin, guru bertanggung jawab mengarahkan, berbuat baik, menjadi contoh sabar dan penuh pengertian.

4.      Kepribadian yang berwibawa
Berwibawa mengandung makna bahwa seorang guru harus memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik Artinya, guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan perkataan, tidak munafik. Sekali saja guru didapati berbohong, apalagi langsung kepada muridnya, niscaya hal tersebut akan menghancurkan nama baik dan kewibawaan sang guru, yang pada gilirannya akan berakibat fatal dalam melanjutkan tugas proses belajar mengajar.

5.      Menjadi berakhlak mulia dan teladan bagi peserta didik
Guru harus berakhlakul karimah, karena guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi para orang tua. Dengan berakhlak mulia, dalam keadaan bagaimanapun guru harus memiliki rasa percaya diri, istiqomah dan tidak tergoyahkan. Kompetensi kepribadian guru yang dilandasi dengan akhlak mulia tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi memerlukan ijtihad, yakni usaha sungguh-sungguh, kerja keras, tanpa mengenal lelah dan dengan niat ibadah tentunya. Dalam hal ini, guru harus merapatkan kembali barisannya, meluruskan niatnya, bahkan menjadi guru bukan semata-mata untuk kepentingan duniawi. Memperbaiki ikhtiar terutama berkaitan dengan kompetensi pribadinya, dengan tetap bertawakal kepada Allah. Melalui guru yang demikianlah, kita berharap pendidikan menjadi ajang pembentukan karakter bangsa.
Esensi kompetensi kepribadian guru semuanya bermuara ke dalam intern pribadi guru. Kompetensi pedagogik, profesional dan sosial yang dimiliki seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran, pada akhirnya akan lebih banyak ditentukan oleh kompetensi kepribadian yang dimilikinya. Tampilan kepribadian guru akan lebih banyak memengaruhi minat dan antusiasme anak dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Pribadi guru yang santun, respek terhadap siswa, jujur, ikhlas dan dapat diteladani, mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan dalam pembelajaran apa pun jenis mata pelajarannya.
Oleh karena itu, dalam beberapa kasus tidak jarang seorang guru yang mempunyai kemampuan secara pedagogis dan profesional dalam mata pelajaran yang diajarkannya, tetapi implementasinya dalam pembelajaran kurang optimal. Hal ini boleh jadi disebabkan tidak terbangunnya jembatan hati antara pribadi guru yang bersangkutan sebagai pendidik dan siswanya, baik di kelas maupun di luar kelas. Upaya pemerintah meningkatkan kemampuan pedagogis dan professional guru banyak dilakukan, baik melalui pelatihan, workshop, maupun seminar. Akan tetapi, hal tersebut kurang menyentuh peningkatan kompetensi kepribadian guru.


  

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pola kelakuan anak diperolehnya melalui proses sosialisasi, yakni dalam situasi-situasi sosial dan interaksi anak itu dengan manusia lain disekitarnya. Disamping itu ia juga memerlukan “model”, contoh atau teladan pola kelakuan itu. Guru diharapkan menjadi teladan bagi murid-muridnya. Kesalahan guru, menurut pepatah, akan diperlihatkan murid dalam bentuk yang lebih mendalam. Akan tetapi kita tidak tahu hingga manakah kelakuan guru yang baik ditiru oleh anak. Guru harus berpakaian bersih rapi, ia harus selalu berpegang tepat pada waktu, ia harus bertanggung jawab, berjiwa sosial, suka membantu orang, ramah, dapat mengendalikan diri, dan sebagainya, dengan harapan bahwa semua sifat-sifat yang baik itu secara sengaja atau tidak sengaja, juga menjadi sifat-sifat kelakuan anak.

B.     Saran
Makalah ini masih banyak sekali kekurangan, oleh karena itu kami berharap pengamatan yang teliti dari pembaca dan kritiknya terhadap sistematika pembahasan ,gaya bahasa, dan kesesuaian tema dan isi dari makalah ini, sehingga menghasilkan saran dan kritik yang baik demi kesempurnaan makalah ini.


  
DAFTAR PUSTAKA

1.      Forrest W. Parkay. 2010. Menjadi Seorang Guru, Jakarta:Permata Puri Media
2.      Prof. Dr. Nasution M.A.2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:Bumi Aksara
3.      Prof. Dr. H Abuddin Nata, 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:Prenada Media Group




[1] Prof. Dr. H Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group, 2010), h. 159
[2] Ibid, h.168-169
[3] Prof. Dr. Nasution M.A. Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Bumi Aksara, 2004), h. 138
[4] Forrest W. Parkay, Menjadi Seorang Guru, (Jakarta:Permata Puri Media, 2011), h. 48
Sosiologi Pendidikan: Guru Sebagai Model Sosiologi Pendidikan: Guru Sebagai Model Reviewed by Unknown on 7:14 AM Rating: 5

No comments:

ads
Powered by Blogger.