ads

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM NAHDLATUL ULAMA

 Oleh: Drs. Mahrus As’ad, M.Ag
(Dosen IAIN Metro)

A. Pendahuluan

Sebelum pembaruan, konsep “pendidikan Islam” di Indonesia menunjuk kegiatan pembelajaran ilmu-ilmu (pengetahuan) agama, yang dari segi sistem dan kelembagaanya bersifat sederhana, disebut “pengajian”, baik dalam bentuk Pengajian Al-Qur’an maupun Pengajian Kitab. Pengajian Al-Qur’an berlangsung di langgar-langgar, di serambi-serambi masjid, di rumah-rumah pribadi guru, biasanya mengajarkan murid pengenalan huruf-huruf Arab agar bisa melafalkan beberapa bagian dari teks Al-Qur’an, khususnya Al-Fatehah dan surat-surat pendek dalam Jus Amma, dan peraturan serta tata tertib salat, wudlu dan beberapa doa. Pengajian Kitab, sebagai kelanjutan dari Pengajian Al-Qur’an, bertempat di pesantren (surau), yang fase pertama pembelajarannya difokuskan pada penguasaan bahasa Arab, dengan membaca dan menghafalkan uraian tata bahasa dalam bentuk sajak. Bila beberapa cabang tata bahasa Arab telah diselesaikan, si murid mulai belajar agama dalam arti sesungguhnya, yang materinya berupa kitab-kitab klasik, utamanya mencakup fiqh, ditambah tauhid dan tafsir Al-Qur’an. Murid yang mampu mengikuti pelajaran tinggi dapat mengambil mata pelajaran komplementer dalam sistem halaqah (lingkaran), seperti tasawuf, hadits, falak, yang kesemuanya tergantung pada keahlian kyai pesantren bersangkutan.[1]
Dari aspek didaktis-metodis, metode pembelajaran di Pengajian Al-Qur’an dan Pengajian Kitab pada dasarnya tidak ada perbedaan, bersifat perorangan dan sukarela dan berpusat pada guru (kyai). Tidak adanya ikatan formalitas membuat sistem pembelajaran mereka sangat longgar sehingga murid bisa ikut dan meninggalkan pelajaran kapan saja. Tidak dikenalnya sistem evaluasi menjadikan waktu belajar berlangsung tanpa batas. Biasanya batas waktu belajar murid ditentukan kapan sebuah kitab diselesaikan: bisa dalam hitungan bulan, bisa juga bertahun-tahun, tergantung bakat-kesungguhan murid. Menurut Steenbrink, sistem belajar seperti ini hanya cocok bagi murid yang cerdas, rajin, dan mampu, serta bersedia mengorbankan waktu yang banyak untuk studi. Sebaliknya, murid kebanyakan, yang punya waktu belajar hanya beberapa tahun antara umur 12 hingga 15 tahun, tidak mendapat perhatian. Waktu mereka bahkan banyak dihabiskan untuk belajar bahasa Arab yang sifatnya statis, khususnya tata bahasanya, dengan menggunakan metode tradisional, yang tidak bisa memberikan kemampuan berbahasa aktif untuk keperluan membaca kitab-kitab berbahasa Arab secara mandiri.[2] Sering dianggap sebagai warisan pendidikan Islam Abad Pertengahan,[3] sistem pembelajaran seperti itu jelas sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan kaum Muslim di era modern yang semakin kompleks.
Problem ketidakefektifan dan inefisiensi hampir mewarnai seluruh aktifitas pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan (Islam tradisional) pesantren, yang menjadikannya semakin melemah dan terpuruk serta eksklusif, sehingga pada gilirannya tidak mampu lagi memainkan fungsi sosialnya sebagai agen perubahan yang bisa mengantarkan generasi Muslim mampu memasuki lapangan kehihidupan modern yang lebih luas. Kondisi seperti ini telah mendorong kaum Muslimin, secara perseorangan maupun organisasi awal abad ke-20 mengupayakan pembaruan pendidikan Islam, antara lain dengan memperkenalkan sistem pembelajaran modern yang kemudian dikenal dengan madrasah dan sekolah. Salah satu organisasi yang memainkan peran penting dalam hal ini adalah Nahdlatul Ulama (NU). Jaringan kekyaiannya yang luas memudahkan NU mengintroduksi ide-ide dan usaha pembaruan pendidikannya sehingga mengantarkan pesantren secara perlahan dan pasti mengalami metamorfosis yang pada gilirannya mampu menjadi tenaga pendorong bagi kebangunannya sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia, terutama pada pasca kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya. Pembaruan pendidikan NU membawa transformasi besar-besaran dalam kehidupan masyarakat Muslim pedesaan Indonesia dari kondisi di mana mereka sering dikatakan jumud dan terbelakang kepada kehidupan mainstream, yaitu kehidupan dengan mana masyarakat mengalami kemajuan pada umumnya.
Menggunakan pendekatan sosio-historis-fenomenologis,[4] tulisan ini akan meninjau  secara mendalam konsep dasar dan hakekat pembaruan (tajdīd) pendidikan NU, hubungan ide pembaruan NU dengan faham kemadzhabannya, serta kontribusinya bagi kebangunan pendidikan Islam awal abad ke-20 dalam menghadapi tuntutan baru di bidang pendidikan di satu pihak dan penguatan pilar ketahanan kebudayaan nasional di pihak lain. Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai masalah yang dibahas, tinjauan pertama-tama diarahkan pada kondisi pesantren awal abad ke-20, NU sebagai lembaga pendidikan, NU dan pembaruan pendidikan Islam, aspek-aspek yang dipembarui, kontribusi, dan terakhir kesimpulan.

B. Kondisi Pendidikan Islam Awal Abad ke-20
Kedatangan bangsa Belanda ke tanah air secara pelahan mengakibatkan makin terdesaknya posisi pendidikan Islam, terutama pesantren, dalam menjalankan fungsi sosialnya di wilayah ini. Sejak berakhirnya Perang Jawa 1825-1830, pendidikan Islam terus mengalami kemunduran. Penyebabnya antara lain adanya berbagai pembatasan dari pemerintah kolonial terhadap gerak langkah pesantren, di samping beralihnya fungsi sejumlah pesantren menjadi kubu pertahanan tentara Diponegoro.[5] Ada banyak cara dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk menghalangi gerak langkah pesantren mulai dari pengadaan ujian calon-calon guru untuk mendapatkan ijin mengajar, pendataan guru-guru agama (kyai) beserta murid-muridnya, hinhga sensor terhadap buku-buku yang datang dari luar negeri.[6] Dekade-dekade berikutnya menyaksikan betapa semangatnya pemerintah menggalakkan berbagai macam pengawasan terhadap kaum muslimin, seperti Ordonasi Haji 1859, Instruksi Pemerintah 1867 tentang ketertiban umum, pembentukan Peradilan Agama (Priesterraden) pada 1882, sebagai upaya mengawasi segala gerak-gerik kaum Muslim, termasuk dalam bidang pendidikan.[7] Pada 1904 didirikan pula Kantoor van Inlandsch Zaken, yang salah satu fungsinya mengawasi gerak-gerik pesantren.[8] Setahun kemudian, muncul Ordonasi Guru 1905, yang diperbarui pada 1925.[9]
Tak disangsikan lagi, berbagai kebijakan Belanda tersebut mengakibatkan pesantren mengalami banyak kerugian. Seperti diketahui, adalah biasa bagi para guru di masa ini memberikan pengajaran, selain di pesantren sendiri, di pesantren-pesantren milik para koleganya yang tempatnya berjauhan. Pembatasan dan pengawasan tersebut jelas berakibat makin renggangnya hubungan antar mereka, apalagi makin kurangnya buku-buku dari luar sebagai bahan ajar dan kajian, yang berarti juga makin terganggunya pengembangan keahlian dan keilmuan tertentu pada sebuah pesantren, sehingga menyebabkan terganggunya aktifitas belajar-mengajar yang pada gilirannya menurunkan kualitas. Singkatnya, berbagai bentuk kebijakan pemerintah kolonial yang represif terhadap kaum Muslim menjadikan pendidikan Islam di tanah air mengalami kemunduran.[10]
Memasuki abad ke-20 kaum Muslim di tanah air, Jawa khususnya, menyaksikan munculnya eksperimen pembaruan pendidikan Islam dengan memperkenalkan sistem kelembagaan pendidikan modern yang diperkenalkan kaum reformis Muslim, secara perorangan maupun organisasi.[11] Eksperimen ini didorong kebutuhan mereka akan format pendidikan Islam yang bisa memenuhi tuntutan kehidupan modern yang terus bergerak maju. Pesantren yang telah lama beroperasi, dianggap mereka selain heterodok, juga sudah ketinggalan jaman dan tidak lagi efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan umat. Karena itu perlu diganti dengan sistem kelembagaan baru yang lebih cocok dan islami, yang kemudian disebut “madrasah”.[12]
Mampu mengundang banyak murid, kemunculan lembaga pendidikan baru ini, tak pelak lagi, menimbulkan rekasi yang cukup hebat kalangan pendidik pesantren, karena dianggap dapat mengganggu harmoni kehidupan keberagamaan umat, yang selama ini dijaga dan dilestarikan pesantren.[13] Menurut mereka, madrasah yang diperkenalkan kaum reformis dapat dikatakan dari segi substansinya hanyalah copy dari sekolah Belanda oyang dibuka sejak pertengahan kedua abad ke-19, yang meminjam istilah McVey- bisa menjadi langkah awal menuju sekularisme.[14] Singkatnya, pendidikan Islam, khususnya pesantren, tengah menghadapi tantangan besar yang berasal dari dirinya sendiri serta dari luar. Kondisi seperti ini tentu saja akan merugikan masa depan pendidikan Islam sendiri, sehingga pada gilirannya mendorong Nahdlatul Ulama (NU) mengusahakan pembaruan di dalamnya.
C. NU sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Terbentuknya NU sebagai lembaga pendidikan Islam sering dikaitkan dengan usaha kaum reformis Muslim di tanah air untuk memperbaiki mutu pendidikan Islam yang dinilainya sudah ketinggalan jaman, karena orientasinya yang melulu memberikan pengajaran agama dalam arti sempit. Diilhami gagasan Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya Rasyid Ridla (1865-1935), mereka melancarkan ide-ide pembaruan, tidak saja terkait praktek-praktek keagamaan kaum Muslim, melainkan juga kelembagaan pendidikan tradisionalnya, khususnya pesantren. Menurut mereka, mempertahankan lembaga pendidikan seperti itu hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.[15] Selain sudah ketinggalan jaman, pesantren juga dianggap tidak efektif lagi digunakan untuk meningkatkan pendidikan anak. Oleh karena itu, mereka menyerukan agar pesantren ditinggalkan dan, sebagai penggantinya, dibuatkan lembaga pendidikan baru, yang lebih modern dan cocok guna menghadapi tuntutan jaman.[16]
Atas dasar itu, kaum pembaharu memperkenalkan sebuah lembaga pendidikan baru ke dalam tradisi pendidikan Islam Indonesia, yang disusun secara bertingkat, terorganisir secara formal, disebut “madrasah”. Penggunaan nama “madrasah” bagi sekolah-sekolah modern yang dikembangkan kaum pembaharu dimaksudkan sebagai antitesa terhadap lembaga pendidikan pesantren, yang dinilai tidak saja dekat dengan tradisi lokal yang heterodok. Jadi apa yang dilakukan kaum pembaharu dengan alternatif lembaga pendidikannya adalah semacam upaya Islamisasi terhadap kelembagaan pesantren karena di dalamnya mengandung unsur Hindu-Budha. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, tentu saja, adalah dalam rangka penyempurnaan isi dan metode, yang kemudian hari segera bermetamorfose menjadi “sekolah”, yang pada dasarnya sekuler dan hampir menyerupai sekolah-sekolah Katolik di Eropa,[17] yang sudah diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda pada dekade kedua abad ke-19. Dalam waktu tidak terlalu lama, sekolah-sekolah kaum reformis (pembaharu) ini mengalami perkembangan pesat. Muhammadiyah, misalnya, dalam waktu kira-kira sepuluh tahun sejak berdirinya, yaitu pada 1925, sudah memiliki 8 HIS, satu Sekolah Guru, 32 Sekolah Kelas Dua, sebuah Schakelschool, 14 madrasah, dan 119 orang guru. [18] 
Kemunculan sekolah-sekolah model baru ini mendapatkan respon yang keras dari kalangan ulama pesantren, karena -meminjam istilah McVey- selain dipandang sebagai langkah awal menuju sekularisasi,[19] juga dapat mengganggu harmoni tatanan tradisi budaya bangsa, yang selama ini dijaga dan dilestarikan pesantren.[20] Di mata mereka dan para pendukungnya, pesantren sesungguhnya bukan saja merupakan sebuah lembaga pendidikan dalam arti sempit, melainkan juga sebagai “madrasah” tempat tumbuh-kembang serta pemeliharaan nilai-nilai budaya Islam bercorak lokal  yang khas dan unik, merupakan subkultur dari gugusan besar kebudayaan Indonesia, yang berbeda dari pola kehidupan masyarakat pada umumnya di negeri ini.[21] Bagi mereka, memasukkan unsur-unsur baru yang baik ke dalam pesantren sebenarnya bukan masalah demi kemajuan pendidikan umat. Namun, semua itu harus dilakukan tidak dengan cara meninggalkan semua unsur kebaikan pada pesantren.[22]
Menghadapi usaha pembaruan pendidikan kaum reformis, para pendidik pesantren tidak tinggal diam, dalam arti turut serta mengambil bagian dalam usaha yang sama, tetapi pendekatan yang berbeda dari kaum reformis. Dengan tetap mempertahankan sisi positif dari pesantren, kalangan pendidik pesantren mulai membuka sistem madrasah.[23] Hanya saja sistem madrasah mereka tidak langsung dirancang seperti madrasah milik kaum reformis, karena sistem dan kandungan isi pembelajarannya sepenuhnya masih bergaya pesantren. Ketika kaum reformis melancarkan usaha pembaruan pendidikan mereka lewat organisasi modern, lembaga- lembaga pendidikan Islam di bawah pengawasan pendidik pesantren belum terorganisir secara teratur. Namun secara informal, keberadaan mereka sebenarnya sudah tergabung dalam komunitas (jamā’ah) tersendiri, yang secara kultural berakar kuat melalui jaringan para pendidik pesantren.[24]
Kemunculan organisasi kaum reformis tersebut membangkitkan keinginan sejumlah pelajar Indonesia yang pernah menuntut ilmu di Mekkah untuk mendirikan sebuah organisasi (lokal) bernama Nahdlatul Wathan di Surabaya pada 1914,[25] yang kemudian dikembangkan ke beberapa kota di Jawa Timur,[26] memfokuskan kegiatannya pada pendidikan formal dan kursus-kursus. Pada tahun 1918, berdiri lagi sebuah organisasi di lingkungan pesantren bernama Taşwīrul Afkār, di samping sebuah koperasi bernama Nahdlatut Tujjār.[27] Taşwīrul Afkār pada masa-masa awal berdirinya lebih menitikberatkan pada diskusi dan kursus, baru kemudian beralih ke lapangan pendidikan formal dengan membuka madrasah.[28]
Memasuki 1926, di tengah kesibukan kaum muslimin membentuk komite-komite untuk menghadiri Konferensi Khilafah, sejumlah kyai muda yang pernah aktif di Syubbān a- Wathan,[29] atas restu Kyai Hasjim Asj’ari Tebuireng dan beberapa kyai lainnya, membetuk sebuah komite: “Komite Hijaz”,[30] terkait dengan tampilnya penguasa baru Hijaz Abdul Aziz bin Sa’ud (pendiri Kerajaan Saudi Arabia) yang berpaham Wahabi.[31] Pengalaman traumatik masa lalu menyusul sikap-tindakan Abdul Wahab yang amat keras menentang segala pendirian yang tidak sejalan dengan mereka,[32] membuat para pendidik pesantren khawatir akan tradisi keagamaan mereka di tangan penguasa baru Hijaz beraliran Wahabi tersebut.[33] Para pendidik pesantren, melalui juru bicaranya Kyai Wahab Khasbullah, meminta sidang-sidang Komite Khilafah agar utusan Konggres Mekkah meminta jaminan Ibnu Saud agar bersedia membiarkan pengajaran mazhab-mazhab fiqh di Tanah Suci dan membolehkan berbagai praktek keagamaan berdasar paham Ahlussunnah wal Jamaah serta membiarkan peninggalan sejarah yang ada tetap berdiri.[34] Konggres yang memang didominasi kaum reformis sedikitpun tidak mengakomodasi tuntutan para pendidik pesantren. Penolakan ini mendorong mereka memperjuangkan sendiri kepentingan mereka. Dalam rapat di Kertopaten Surabaya, 31 Januari 1926, para pendidik pesantren menyepakati pengiriman delegasi ke Mekkah, atas nama organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU), menggantikan Komite Hijaz.[35]
Peristiwa ini, menurut Ali Ma’shum, merupakan momentum penting bagi terbentuknya NU sebagai lembaga pendidikan Islam dalam rangka menyampaikan pesan-pesan ajaran agama seperti dicita-citakan.[36] Jadi, dapat dikatakan bahwa terbentuknya NU sebagai lembaga pendidikan Islam sesungguhnya telah dimulai sejak organisasi ini berdiri. Sebagai lembaga pendidikan, NU berkomitmen mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran Islam berdasarkan paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dengan berusaha antara lain memperbanyak madrasah/sekolah Islam berikut pengawasan buku-buku pegangannya.[37] Difokuskannya perhatian NU pada bidang pendidikan-pengajaran merupakan konsekwensi logis dari sikap pembelaannya terhadap faham Aswajanya dari serangan kaum muslim reformis, yang mau tidak mau menimbulkan konsekwensi ke dalam.[38] Hal inilah yang pada gilirannya secara perlahan mendorong NU untuk mendinamisir doktrin keagamaannya  guna menghindari kejumudan dan merespon kemodernan.[39] Jika kemudian NU terlibat dalam usaha pembaruan, hal itu merupakan keniscayaan agar dirinya bisa terus survival menghadapi tuntutan dan tantangan jaman.
Dengan demikian, berdirinya NU sebagai lembaga pendidikan terkait respon kalangan pendidik pesantren dalam rangka memperluas fungsi lembaga pendidikan tradisionlnya dalam menghadapi dan sekaligus menandingi usaha pembaruan pendidikan kaum reformis yang secara gencar tengah mempromosikan lembaga pendidikan modern menyerupai sekolah Belanda yang sekuler, dengan jalan membuka dan mengembangkan madrasah baru dalam upaya membebaskan umat dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan serta menjaga kelangusungan kepemimpinan Islam untuk membawa agama memasuki kehidupan modern. Pada masa-masa awal berdirinya, NU sebagai lembaga pendidikan berwatak kota untuk memudahkannya menjalankan usaha dan program pembaruan pendidikannya, terutama dalam mendapatkan guru-guru mata pelajaran umum sebagai penyokong penyelenggaraan pendidikannya di lapangan.[40] Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perhatian NU lebih banyak diarahkan pada pembaruan pesantren-pesantren dan madrsah-madrasah cabang dan ranting yang banyak tersebar di daerah-daerah. Sebelum Muktamar Solo (1935), dilaporkan sejumlah cabang di Jawa Timur dan Jawa Tengah sudah membuka madrasah, antara lain Madiun, Ponorogo, Nganjuk, Kediri, Pasuruan, Gresik, Malang, Bangkalan, Jember, Banyuwangi, Semarang, dan Cirebon.[41] Setahun kemudian, beberapa cabang lain di Jawa Timur menyusul, seperti Sidoarjo, Bangil, Tulungangung, dan Mojokerto.[42] Sejak itu NU lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam berwatak pedesaan dengan pesantren dan madrasah sebagai basisnya.
D. NU dan Pembaruan Pendidikan Islam
Secara etimologis, pembaruan pendidikan Islam merupakan penggabungan dari kata pembaruan dan pendidikan Islam. Kata “pembaruan” dalam bahasa Indonesia berarti “proses, perbuatan, cara memperbaharuai.[43] Secara istilah kata “pembaruan” sering disamakan dengan modernisasi, oleh Lerner diartikan sebagai proses perubahan sosial yang dengannya masyarakat kurang maju memperoleh sifat-sifat yang umum yang terdapat pada masyarakat yang lebih maju.[44] Modernisasi dalam konteks ini adalah lawan dari tradisionalisme, yaitu sikap memegang teguh kepercayaan dan praktek masa lalu yang tidak boleh diubah. Apabila orang atau masyarakat berpegang pada tradisi, dengan sendirinya mereka menolak modernisasi. Sebaliknya kalau mereka melakukan modernisasi, mereka harus meninggalkan tradisi karena akan menjadi penghambat modernisasi. Dengan demikian, modernisasi selalu menyaratkan adanya sikap dan nilai-nilai modern dan tiadanya ruang bagi nilai-nilai tradisi.[45]
Anderson mengartikan pembaruan (modernisasi) sebagai perubahan ke arah keterbukaan pikiran, dengan ilmu pengatahuan dan teknologi menjadi intinya.[46] Pembaruan (modernisasi) dalam pengertian ini mengambil ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi ukurannya. Artinya proses dan tingkat kemodernan tergantung pada proses dan tingkat pemanfaatan ilmu dan teknologi modern, bukan nilai-nilai dan norma kebudayaan yang melahirkannya. Atas dasar itu, pembaruan atau modernisasi bagi Welch selalu berkaitan dengan adanya keyakinan pada kontrol yang bersifat rasional atau ilmiah.[47] Jadi, proses pembaruan atau modernisasi selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Tidak mungkin proses pembaruan atau modernisasi terjadi tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.[48]
Pembaruan atau modernisasi juga dapat diartikan sebagai purifikasi (pemurnian) dalam arti pemantapan cara-cara hidup yang lama, terutama ketika melek huruf memungkinkan orang untuk menghargai ajara-ajaran agama dalam bentuk yang murni, yang tidak tercampuri takhayul.[49] Pengertian modernisasi dengan demikian mirip dengan tajdīd, yaitu upaya pelurusan atau memulihan ajaran agama dari campuran unsur-unsur baru yang dianggap merugikan dan menggangu kemurniannya, untuk dikembalikan kepada “tampilan semula” seperti dipraktekkan generasi-generasi pendahulu. Di sini tugas para pembaharu, demikian dikatakan Amin al-Keulli, mengembalikan praktek keberagamaan umat terdahulu (tradisionalis) dan menghidupkannya di zaman modern dengan tetap mempertahankan metode-metode lama.[50]  
Menurut Nurcholish Madjid, pembaruan atau modernisasi dapat disamakan dengan rasionalisasi, dalam arti proses perombakan berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah, agar lebih berdaya guna dan efisien.[51] Pembaruan dalam konsteks ini lebih diartikan sebagai pendekatan atau cara pandang bagaimana mempersiapkan masa depan umat manusia sebagai sesuatu yang dapat dibentuk daripada yang diwariskan atau dianugerahkan begitu saja kepada generasi berikutnya. Dengan demikian, pembaruan tidak dapat dipisahkan dari adanya keharusan mengadakan inovasi-inovasi terhadap cara-cara lama yang selalu dibarengi cara bepikir rasional, progresif, dan dinamis. Menurut Jujun S. Suria Sumantri, pembaruan atau modernisasi sebagai upaya perubahan dalam hidup masyarakat biasanya muncul dari dua penyebab utama. Pertama, perubahan persepsi tentang hidup dan berkehidupan sebagai akibat peningkatan kecerdasan dan kedua, keterkaitan dan ketergantungan umat manusia secara universal baik secara ekonomis maupun sosial budaya.[52]    
Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa pembaruan atau modernisasi adalah suatu proses perubahan ke arah kondisi baru, yang diusahakan secara sengaja dalam rangka peningkatan atau perbaikan kualitas sosiobudaya, dengan cara-cara lebih rasional, efisien, dan inovatif sebagai akibat dari penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak dan beragamnya istilah dan pengartian tentang pembaruan atau modernisasi menunjukan sifat universalitasnya, dalam arti bukan lagi sebagai gejala Barat saja, melainkan sudah memasuki hampir seluruh masyarakat-bangsa di dunia, yang kemudian penampakannya juga sangat bergantung pada intepretasi, indikator, serta respon masyarakat penerimanya.
Bila istilah pembaruan atau modernisasi dikaitkan dengan pendidikan Islam, yang dimaksudkan adalah proses perubahan ke arah kondisi baru, baik sistem maupun kelembagaan, yang sengaja diusahakan untuk kepentingan peningkatan kemampuannya mewujudkan tujuan dan fungsi pendidikan Islam secara lebih rasional, efektif, dan efisien seperti yang diinginkan. Sasarannya adalah segala aktifitas terkait pendidikan dan pengajaran Islam, pemahaman tentangnya, dan bagaimana pengoperasiannnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Singkatnya, pendidikan Islam di sini tidak terbatas pada pengertian dan kelembagaannya, melainkan mencakup juga sistem serta isi pembelajarannya serta paradigma yang mendasari operasionalnya sebagai upaya memperkuat tamadun Islam di tengah kehidupan nasional bangsa Indonesia.
Sebagai istilah teknis, istilah “pembaruan” atau “modernisasi” tidak dikenal dalam perbendaharanan keagamaan NU. Hal ini mudah dipahami karena sebagai organisasi keagamaan, NU sejak awal berdirinya memang tidak pernah menyatakan diri secara eksplisit berorientasi pembaruan, seperti halnya Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Menurut Anggaran Dasarnya, NU justru mengklaim diri sebagai organisasi keagamaan yang secara tegas membela konservatisme agama dengan memegang teguh ajaran salah satu Mazhab Empat.[53] Pada dasarnya NU setuju dengan pandangan kaum reformis yang hendak memurnikan ajaran agama, tetapi NU menjalankannya dengan berdasarkan sistem dan metodologi (kemadzhaban) yang sudah disepakati ulama, terutama Mazhab Empat, sehingga kemurnian ajaran agama dapat lebih terjamin. Menurut NU dengan langsung kembali pada penggunaan Al-Qur’an-Hadis, tanpa sistem dan metodologi yang jelas, pemurnian ajaran agama hanya akan mendatangkan anarkisme.[54] Dalam hal ini, NU tidak sependapat dengan Muhammadiyah yang menganggap bahwa pintu ijtihad terbuka sebebas-bebasnya; namun, hal ini tidak berarti setiap orang harus bertaklid,[55] seperti ditegaskan Kyai Hasyim Asy’ari, dengan pernyataannya sebagai dikutip berikut:
Tidak seorang mukallaf orang yang sudah terbebani ketentuan dan hukum agama]-pun yang bukan mujtahid mutlak berhak menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi SAW….Sedangkan, orang-orang yang mampu berijtihad adalah haram baginya bertaklid dalam persoalan yang ia sendiri mampu berijtihad, karena hasil ijtihadnya justru akan menjadi rujukan bagi mereka yang bertaklid.[56]

Lewat kaum mudanya, diskursus pembaruan mulai memasuki kesadaran keberagaman NU sejak akhir 1960-an dengan munculnya tulisan-tulisan di media massa yang coba mengungkap kemajuan NU,[57] dilanjutkan pada periode berikutnya dengan skope perhatian lebih luas, mencakup bidang pendidikan, yang intinya tentang pentingnya keberanian dan kerelaan untuk berubah.[58] Hingga akhir 1980-an, barulah NU secara terang-terangan menceburkan diri dalam diskursus tajdīd (pembaruan). Hal ini dikarenakan NU mulai merasa tidak nyaman dengan munculnya kegairahan kalangan intelektual Muslim muda yang ingin menghidupkan kembali semangat tajdīd di tanah air melalui penggunaan beberapa istilah yang cukup meresahkan umat, seperti desakralisasi, sekularisasi, pribumisasi, reaktualisasi, dan lain-lain.[59] Melalui Musyawarah Nasional (Munas) Alim-Ulama Cilacap, pertengahan Nopember, 1987, Rais ‘Ām NU Kyai Ahmad Siddiq  berusaha menjelaskan arti, scope,  batas-batas, dan rambu-rambu yang harus diperhatikan terkait tajdīd (pembaruan) dalam Islam, khususnya ulama NU.[60]
Dari sinilah, gagasan pembaruan NU terus bergulir, dan mulai mendapat tempat dan apresiasi. Sebulan kemudian, pembahasan masalah tajdīd (pembaruan) dalam NU digelar lebih serius lagi dalam sebuah seminar yang diselenggaraan NU Jawa Timur dan Universitas Islam Malang, 13 Desember 1988. Dalam sebuah artikel berjudul “Pokok-Pokok Pikiran tentang Tajdid”, Kyai Ahmad Shiddik kembali menegaskan bahwa tajdīd atau “pembaruan” dalam NU adalah sebagai upaya menjadikan agama Islam senantiasa kembali kepada kefitriannya yang bersih, jernih, dan lurus, setiap kali terjadi kekeruhan-kekeruhan dan penyimpangan, sehingga dengan kondisi seperti itu, agama Islam dapat diterapkan untuk menghadapi perkembangan jaman yang selalu berubah.[61] Menurutnya, dalam paham Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang dipegangi NU sebenarnya terdapat kesediaan untuk terus memperbaiki dan menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan baru, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran dasar agama.[62]
Bak bola salju yang terus menggelinding, sejak itu diskursus pembaruan (tajdīd) dalam NU semakin besar gaungnya. Pada dekade 1990-an, kaum muda NU mengambil alih diskursus tersebut dengan menggunakan istilah “transformasi”. Lewan jargon-jargon yang diusung,[63]  mereka berusaha mempertanyakan doktrin Aswaja yang selama ini dianggap final agar ditinjau kembali.[64] Menurut mereka, di dalamnya secara inherent terkandung kesediaan untuk terus melakukan koreksi diri agar senantiasa dapat menangkap dinamika zaman. Karena itu, peluang untuk memaknainya kembali dan aktualisasinya terbuka lebar, dan usaha itu oleh mereka disebutnya sama dengan tajdīd.[65] Sejauh mana pemaknaan dan pengadopsian tajdīd (pembaruan) dalam NU sampai sekarang masih ditunggu hasilnya. Namun sebagai patokan, diperoleh gambaran bahwa berlandaskan diktum al-muhāfazah ‘alā al-qadīm al-şāih wa al-akhdhu bi al-jadīd al-aşlāh,  sesungguhnya NU memberi ruang-gerak yang cukup luas bagi terwujudnya tajdīd (pembaruan) di dalamnya, sepanjang tidak mengubah hal-hal yang qath’i (sudah di atur Allah).[66] Ditegaskan bahwa dimaksud tajdīd (pembaruan) dalam NU tidak lain adalah sebagai “pemulihan menjadi seperti semula, ketika masih baru; dan tidak boleh diartikan “menggantinya dengan yang baru”,[67] serta selalu berpegang pada sistem dan metodologi kebermazhaban yang sudah baku.
Yang ditekankan dalam tajdīd (pembaruan) bagi NU adalah fungsinya, mencakup tiga hal. Pertama al-i’ādah, yaitu pemulihan ajaran Islam, dalam arti dipisahkan atau dibersikannya dari campuran unsur-unsur yang merugikan dan mengganggu kemurnian dan kesempurnaannya. Kedua al-ibānah, yaitu membedakan yang sunnah dari yang bid’ah secara cermat oleh ahlinya. Dan ketiga al-ihyā, yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari ajaran Islam yang pengalamannya terbengkalai atau terhenti.[68] Yang menjadi persoalan adalah apa yang harus dilakukan NU jika menghadapi realitas yang tidak sesuai dengan doktrin? Dalam hal ini, ia membuka diri untuk melakukan reintepretasi (penafsiran kembali) terhadap sistem kebermazhabannya, dengan mengembangkan sebuah metode yang dinamis, dengan cara mencari titik temu antara otoritas wahyu dengan rasio (al-naqlu wa al-’aqlu), di samping juga mempertemukan nash-nash yang tersurat (zahīr al-nuşuş) dengan realitas yang ada. Jadi, dimaksud  tajdīd (pembaruan) bagi NU bukan sekedar ”purifikasi”, tetapi juga dinamisasi paham ajaran Islam.[69] Skopenya mencakup bidang apa saja, selagi masuk akal (ma’qūl li al-ma’nā), dan tidak terbatas hanya pada bidang keagamaan, tetapi juga masalah-masalah duniawiah lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.[70]  
Dalam masalah pendidikan, pembahruan (tajdīd) dalam NU sebagai upaya perbaikan guna meningkatkan kualitas pelayanan sehingga menghasilkan kualitas outputs lebih baik daripada sebelumnya, sebenarnya sudah lama dilakukan para pendidik (ulama) NU. Sebagai contoh, dalam pemahaman ajaran agama terkait pendidikan dapat dikemukakan antara lain dalam soal hijab. Semula kata hijab di kalangan pendidik NU dipahami sebagai tabir bersifat fisik yang menyekat antara kedua tempat lelaki dan wanita, sehingga berakibat munculnya madrasah khusus laki-laki (banīn) dan madrasah khusus wanita (banāt) secara terpisah. Tetapi pemahaman baru membawakan arti pemisah (hā’il) tanpa adanya tabir fisik, diwujudkan dalam bentuk pembuatan jarak antara dua bangku atau tempat duduk. Pemahaman ini muncul dari kebutuhan menyediakan tempat terpisah antara siswa dan siswi dalam sebuah ruangan kelas yang sama (sistem co-edukasi).
 Bertolak dari dasar-dasar keagamaan yang kuat, usaha pembaruan pendidikan NU terus bergulir, seperti diperlihatkan dalam serangakaian ide-ide dan usaha pembaruannya, yang kemudian menghasilkan sebuah format pendidikan keagamaan (Islam) baru berciri umum, bernama madrasah, tanpa harus meninggalkan watak tradisionalitasnya yang sudah lama hidup dalam serta menghidupi umat Islam Indonesia, khususnya Jawa. Pembaruan pendidikan NU merupakan wujud nyata dari sikap keterbukaanya terhadap perubahan akan pentingnya kemajuan, yang pada gilirannya mampu menjadi tenaga penggerak bagi perbaikan kondisi kehidupan umat, masyarakat-bangsa secara keseluruhan.[71]
Dari penjelasan di atas kalangan NU tampaknya lebih menyukai penggunaan istilah “dinamisasi” daripada tajdīd (pembahruan), karena selain faktor psikologis, istilah “dinamisasi” bagi mereka cakupannya lebih luas, mengandung dua proses yang saling terkait, yaitu penghidupan kembali nilai-nilai lama yang posistif, di samping penggantian nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang lebih baik dan sempurna. Jadi, makna modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam istilah “dinamisasi”, yang berarti “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan.[72]  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa antara NU dengan kaum reformis sesungguhnya tidak ada perbedaan prinsipil dalam hal perlunya pembaruan (modernisasi), terutama bidang pendidikan, karena hal itu memang merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan.[73] Antara keduanya bahkan terdapat titik temu. Yang membuat keduanya tampak berbeda adalah dalam hal penggunaan metodenya. Menurut kaum reformis, karena penolakannya terhadap sejarah (umat), pembaruan (modernisasi) dalam Islam harus dilakukan dengan cara pemutusan akar tradisi. Karen itu, pembaruan (modernisasi) harus berangkat dari ide menciptakan suatu dari titik nol atau sama sekali baru.[74] Sebaliknya bagi NU, karena pandangannya yang positif terhadap sejarah (umat), pembaruan (modernisasi) dilakukannya dengan tetap berpijak pada tradisi yang ada, yang secara konkret hidup dalam dan menghidupi umat sebagai fondasi penopangnya.[75]
Dalam bidang pendidikan, pendekatan NU diperlihatkan secara jelas dalam pembaruan sistem dan kelembagaan pendidikannya lewat penggunaan pembelajaran madrasah sebagai subsistem pendidikan pesantrennya, lewat mana kebaikan-kebaikan pendidikan tradisional dipadu-kembangkan dengan kebaikan-kebaikan pendidikan modern, tanpa harus menggusur keberadaan lembaga induknya pesantren. Singkatnya [dengan pendekatan gradualnya], pembaruan (tajdīd) dilancarkan NU, tidak dengan berusaha menghapus tradisi, tetapi dengan memperbaikinya unsur-unsur yang dianggap lemah dan kadaluwarsa serta memperlengkapinya dengan unsur-unsur baru yang lebih baik. Di sini penting untuk menggaris bawahi apa yang dikatakan Dawam Rahardjo, mantan Direktur LP3ES, mengatakan bahwa kelahiran NU tidak lain merupakan langkah pembaruan terhadap aspirasi dan realitas sosial masyarakat Islam ketika itu.[76]
Jelaslah bahwa NU, meski sering dituduh konservatif,[77]  tidak berarti anti-pembaruan (modernisasi), melainkan justru mendorongnya, tidak saja dalam lapangan pendidikan dan sosial-budaya, tetapi juga  dalam keagamaan lainnya. Semua ini tidak dapat dilepaskan dari faktor inherent dalam ajaran keagamaan paham Aswaja yang dipegangi, seperti sudah dijelaskan di muka. Terkait pembaruan NU ini, penting untuk mengingat kembali pernyataan Steenbrink bahwa semua istilah menyangkut modernis dan konservatif harus diterima dalam arti tertentu saja. Sebab bisa jadi sebuah organisasi yang dalam ibadah bersifat taqlid,[78] tetapi dalam bidang (politik) diniawi sangat progresif dan terbuka.[79] Ide dan usaha pembaruan tidak selalu diikuti oleh munculnya organisasi reformasi. Sebaliknya, pembaruan dapat muncul dalam kelompok keagamaan apa saja, tanpa harus menunggu munculnya beberapa eksponen pembaharu dalam paham-pahamnya. Kasus pembaruan NU ini dengan sendirinya membuktikan adanya fakta bahwa proses pembaruan ternyata tidak selalu diikuti oleh munculnya organisasi reformasi. Jadi, tidak ada yang kontradiktif dengan sikap penerimaan pembaruan dengan paham konservatif kemadzhaban NU, karena di dalamnya secara inherent terdapat dorongan untuk melakukan hal itu.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya hadirnya tokoh-tokoh penting (ulama) di lingkungan NU berpikiran progresif, seperti Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Wahid Hasyim, Kyai Syaifuddin Zuhri, dan Kyai Hasyim Latief, untuk menyebutkan beberapa, memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi dinamisme pendidikan NU secara keseluruhan. Berbeda dengan kebanyakan ulama (tokoh agama) di dunia Islam,[80] mereka adalah pendidik sekaligus ulama independen, yang secara pribadi sepak terjang mereka di lapangan pemikiaran keagamaan umumnya dan pendidikan khususnya, telah memperlihatkan perhatian yang sangat besar bagi kemajuan pendidikan umat dengan terobosan masing-masing. “Budaya terobosan” ini, seperti dikatakan Abdurrahman Wahid, terbukti sangat ampuh untuk menembus budaya status quo dalam tubuh organisasi seperti NU yang sistem pengambilan keputusannya sangat kuat berdasarkan konsensus. “Budaya terobosan” ini pula telah mendorong kalangan pendidik NU semakin toleransi terhadap berbagai bentuk inovasi, yang pada gilirannya juga memudahkan mereka menerima pembaruan.[81] Kyai Hasyim dengan Madrasah Salafiyahnya di lingkungan pesantren Tebuirengnya, Kyai Wahid dengan Madrasah Nizamiyahnya, Kyai Syaifuddin Zuhri dengan HIS-nya, Kyai Hasyim Latief dengan madrasah dan sekolahnya.
Sebagai pemimpin organisasi dan sekaligus pendidik, pengaruh mereka sangat besar dalam pembentukan dan penerimaan sikap, dalam hal ini kemodernan di lapangan pendidikan, di kalangan para pengikut maupun murid-murid (santri)-nya. Dalam psikologi sosial, kejadian seperti ini merupakan hal biasa. Penerimaan dan keserupaan sikap tokoh-tokoh panutan seringkali semata-mata didasari kepercayaan yang mendalam atau pengalaman bahwa para tokoh panutan tersebut selalu dapat berpendapat atau bersikap yang tepat dalam segala situasi. Apabila terjadi kebimbangan dalam bersikap, biasanya peniruan sikap atasan atau tokoh panutan merupakan jalan yang dianggap terbaik. Bahkan kadang-kadang peniruan sikap atasan atau tokoh panutan tersebut terjadi tanpa disadari oleh individu-individu dan dibentuk oleh kharisma atau otoritas mereka.[82] Dalam budaya NU, kharisma atau otoritas guru sangat menonjol dalam pembentukan sikap semacam itu.

E. Aspek-Aspek yang Dipembarui

Seperti sudah disebut di atas, sebelum ada usaha pembaruan, pendidikan Islam awal, terutama di pedalaman Jawa, pada umumnya diselenggarakan dengan cara sangat sederhana, baik dalam bentuk pesantren lama maupun madrasah diniyah atau Sekolah Arab, yang dari segi sistem dan kelembagaannya dianggap tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan perubahan jaman. Dengan bertahap dan tetap menjaga kontinuitas tradisi, NU melalui Bagian Ma’arifnya, memulai usaha pembaruan pendidikannya sejak awal 1930-an, melalui serangkaian koreksi dan inovasi agar pendidikan Islam dapat memainkan fungsi sosialnya secara maksimal. Aspek-aspek yang sifatnya substansial mendapatkan perhatian tanpa mengabaikan aspek-aspek yang bersifat teknis-metodik.[83] Antara lain yang paling mendasar adalah menyangkut teologi pendidikannya, yang lebih menekankan penggunaan konsep “manusia dinamis”-nya al-Maturidi menggantikan konsep “manusia fatalis” Al-Asy’ari. Dimaksud manusia dinamis di sini adalah manusia  yang dalam sikapnya rasional, bertanggung jawab, selalu berprakarsa dan melakukan ikhtiar; bergerak ke depan, berubah dan berkembang menuju ke tingkat yang lebih sempurna (kamīl).[84] Citra manusia dinamis ditandai dengan prestasinya yang bermakna dan berguna, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain serta lingkungannya, dari waktu ke waktu, selama proses menuju kamil. Jumlah total dari prestasi tersebut akan menunjukkan tingkat kesempurnaan sebagai manusia. Jadi, manusia dinamis identik dengan maju, dalam arti tidak bisa menerima kondisi stagnan (humūl) atau mandeg (jumūd), dan senantisa berorientasi ke depan (optimisme).[85]
 Bertolak dari sini, pembaruan dilanjutkan dengan mengadakan semacam apa yang disebut Tilaar dengan reaktualisasi dan reposisi[86] agar lembaga pendidikan Islam dapat menjalankan fungsinya secara maksimal dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Reaktualisasi adalah upaya menghidupkan dan menggerakkan kembali nilai-nilai positif yang sejak dulu dimiliki lembaga pendidikan Islam, dan cocok dengan kondisi modern, sambil membenahi kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya, dengan mengikut-sertakan partisipasi masyarakat secara optimal dalam penyelenggaraannya. Sedangkan, reposisi dimaksudkan sebagai upaya mengatur atau merumuskan kembali posisi lembaga pendidikan Islam bukan sekedar sebagai lembaga pengajaran ilmu-ilmu agama (tafaqquh fī al-dīn), tetapi sekaligus juga berbagai ilmu pengetahuan umum dan keterampilan (teknologi), serta sebagai lembaga pendidikan pribumi (Islam) yang mementingkan tegaknya nilai-nilai demokrasi, toleransi, pluralisme, moral budi pekerti; memperkuat iman-takwa, dan memupuk kerja sama dan tolong menolong antar sesama komponen bangsa dalam suasana kompetisi menghadapi tuntutan kehidupan modern.
 Untuk maksud ini, NU harus mengadakan perombakan paradigma penyelenggaraan pendidikannya yang lebih berorientasi pada mutu tanpa harus meninggalkan segi kuantitasnya mengingat sebagian besar pendukungnya berada di daerah pedalaman, yang tidak atau belum terjangkau pelayanan pendidikan pemerintah. Implikasinya NU perlu mengusahakan sistem dan kelembagaan pendidikan yang lebih teratur dan lengkap, tidak saja dalam bentuk  madrasah tetapi juga sekolah seperti yang diselenggarakan pemerintah, yang disusun secara berjenjang dari tingkat rendah hingga lebih tinggi, dan terbuka untuk kaum wanita dalam sistem ko-edukasi, dengan tetap menghidupkan kelembagaan pesantren sebagai payung besarnya.
NU juga mengupayakan koreksi metode yang selama ini digunakan di madrasah madrasah pesantrennya dengan memperkenalkan metode pembelajaran baru yang lebih terorganisir dan memperhatikan segi-segi perkembangan jasmani-rohani siswa serta relevansinya dengan kebutuhan hidup kongkret di masyarakat yang segala sesuatunya bisa dikontrol sehingga outputnya dapat diprediksi secara rasional, dalam rangka melengkapi dan menyempurnakan sistem kelembagaan pendidikan tradisional (pesantren) yang ada. Untuk tujuan ini, beberapa aspek penyelenggaraan pendidikan modern dimasukkan, antara lain standarisasi kurikulum bercorak campuran, pengorganisasian pembelajaran yang berorientasi mutu, dan rekruitmen guru berdasarkan keahlian. Dalam proses ini sudah pasti sejumlah unsur lama yang positif dipertahankan untuk beroperasi secara bersama dengan unsur-unsur baru yang ditambahkan sehingga menghasilkan sebuah format sistem-kelembagaan pendidikan (Islam) baru yang khas, di mana pesantren tetap menjadi induknya.
Corak pembaruan pendidikan NU seperti inilah yang secara tegas membedakannya dengan pembaruan pendidikan dari kalangan muslim reformis, yang menyebabkan terkikisnya tradisi lokal, karena kecenderungan mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan dari luar secara berlebihan. Pembaruan pendidikan NU adalah cermin kemoderenan para pendidik pesantren yang berusaha membawa warganya kepada cara pandang baru di lapangan pendidikan, sebagai sarana maksimalisasi aktifitas pendidikan pengajaran Islam di kurun modern, guna melengkapi sistem-kelembagaan pendidikan tradisional (pesantren) yang ada, karena telah mengalami pelapukan akibat dimakan usia. Hal ini pada gilirannya terbukti menjadi tenaga penggerak bagi perbaikan mutu penyelenggaraan pendidikan masyarakat bawah dalam rangka memasuki kemajuan dan turut mengisi serta memperkaya sistem pendidikan nasional.[87]
F. Kontribusi
Keputusan NU menyelengarakan program pendidikan modern, seperti dilakukan pemerintah, didasari alasan, di samping demi legitimasi para lulusannya di masyarakat, juga kesadarannya akan peran yang harus dimainkan dalam memberikan peluang yang sama bagi kemajuan seluruh anggota masyarakat, tanpa perlu memberikan sekat-sekat yang bersifat formal.[88] Artinya, keberadaan pendidikan NU tidak boleh bersifat eksklusif seperti pada masa kolonial, tetapi harus terintegrasi dalam sistem pendidikan nasilonal, tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam berpaham Ahlusunnah wal Jamaah, atau yang lebih dikenal dengan Islam mazhab “jalan tengah” (moderat).[89] Bahwa lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU pada umumnya masih serba kekurangan tidak bisa dibantah mengingat berbagai keterbatasan menyangkut dana dan kemampuan sumberdaya pendidikan serta ketersediaan pemimpin yang visioner. Namun secara umum kontribusi mereka tidak bisa diremehkan dalam proses kebangunan dan pembangunan umat (Islam) di tanah air, terutama setelah kemerdekaan.
Salah satu sumbangan terpenting pembaruan pendidikan NU adalah usaha reorientasi tujuan pendidikan di lingkungan pesantren dan lembaga pendidikan turunannya –madrasah- yang terlalu berorientasi mengejar kehidupan moral-spiritual melalui pengajaran ilmu-ilmu agama an sich demi kebeahagiaan di kehidupan akherat nanti.[90] Tujuan pendidikan seperti ini diubah NU dengan menegaskan pentingnya tujuan yang berorientasi duniawi dan ukhrawi secara bersamaan dengan memasukkan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan, di samping ilmu-ilmu agama, dalam kurikulum madrasah. Melalui penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan umum dan ilmu-ilmu agama serta ketrampilan diharapkan murid-murid madrasah memiliki kesiapan dan kemampuan berkompetisi dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat selepas belajar nanti.[91]
Dengan demikian, sasaran pembaruan pendidikan NU adalah perubahan mindset kalangan pendidik serta masyarakat pesantren untuk berpandangan lebih realistis dan “membumi” dalam mengoperasikan lembaga pendidikannya dengan memberikan perhatian seimbang antara kewajiban memenuhi kebutuhan ukhrawi dengan duniawi dalam satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan.[92] Mereka disadarkan bahwa penyelenggaraan pendidikan sejatinya harus bertolak dari kebutuhan-kebutuhan nyata dalam kehidupan di masyarakat dengan selalu memperhitungkan ketersediaan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam sebaga karunia dan amanat Allah SWT. Tak kalah pentingnya, pendidikan juga harus mampu membawa anak didik ke arah kemandirian, dalam arti bukan sekedar mampu berusaha sendiri, tetapi juga memberikan penghidupan kepada orang lain.[93] Penerimaan yang demikian meluas di kalangan pendidik dan masyarakat pesantren akan sistem-kelembagaan pendidikan modern seperti dicanangkan pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan usaha dan program pembaruan pendidikan NU, lewat pribadi-pribadi tokohnya, yang sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka.[94]
Perubahan mindset di kalangan pendidik pesantren yang digalang NU seperti ini pada gilirannya memberikan sumbangan berharga lainnya bagi perkembangan pendidikan Islam di tanah air, khususnya madrasah yang kebanyakan beroperasi di lingkungan (kultur) pesantren, untuk selanjutnya berintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional dalam menghadapi tantangan moderntas yang semakin kompleks. Seperti diketahui, operasional madrasah pada masa-masa awal sangat ekseklusif satu sama lain, dalam arti  tidak saja dalam penggunaan nama, tetapi juga dalam hal orientasi penyelenggaraannya, penjenjangannya, penggunaan kurikulumnya, dan durasi programnya yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan antara lain tidakadanya lembaga atau institusi yang mengorganisir mereka.[95] Bersama NU berarti terbukanya jalan bagi penyatuan gerak langkah sebagai salah satu kekuatan terpenting dalam upaya mewujudkan masyarakat sipil yang beradab dan kuat. Keberadaan masyarakat sipil seperti ini terbukti sangat berguna dalam menjaga dan memperkuat harmoni kehidupan masyarakat serta ketahanan nasional bangsa yang berakar pada kebudayaan sendiri yang pluralistis. Sebaliknya, absennya masyarakat sipil yang demikian memudahkan ketahanan nasional terkoyak, seperti tengah disaksikan kaum muslim di Timur Tengah.[96]
Hingga dewasa ini NU menyelenggarakan program pendidikan formal berciri agama dan umum/kejuruan, mirip yang diselenggarakan pemerintah, dari tingkat pra-sekolah hingga  perguruan tinggi, dalam naungan sistem dan kelembagaan pesantren yang merupakan warisan kultural kaum muslim (pribumi) tanah air. Jangkauan operasionalnya mencakup hampir ke seluruh wilayah Indonesia, dengan Jawa Timur sebagai sentranya, diikuti DIY Yogyakarta, pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, Lampung, dan Sulawesi Selatan, menggunakan label “Maarif/NU” maupun nama-nama inqognito lainnya.[97] Jumlah mereka mencapai ribuan,[98] kebanyakan beroperasi di daerah pedesaan dan bahkan hingga pedalaman pemukiman transmigran yang jauh dari jangkauan madrasah/sekolah negeri, dengan murid lebih dari 85% berasal dari keluarga petani kurang mampu secara ekonomi. Ini berarti bahwa pendidikan NU sebagai sub-sistem pendidikan nasional pada dasarnya tidak mengandung perbedaan prinsipil dengan tujuan pendidikan nasional, kecuali dalam penekanannya pada penanaman paham Islam Agian Ma’arifhlussunnah wal Jamaah. Artinya pendidikan NU secara langsung telah turut serta dalam proses transformasi kehidupan bangsa dalam membawa perubahan dan kemajuan hidup generasi muslim, terutama dari kalangan petani pedesaan yang merupakan bagian terbesar dari penduduk negeri ini: dari kondisi yang sering dikatakan ndeso dan jumud ke arah kehidupan mainstream saat ini, yaitu kondisi hidup secara modern pada umumnya, dengan sub-kultur tersendiri, yang tidak mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan gaya hidup dari luar.[99] Singkatnya, pembaruan pendidikan NU telah memperkenalkan dan membawa mereka kepada kemodernan dengan tetap mengedepankan kultur kepribumian mereka sebagai Muslim sehingga memudahkan  mereka menghadapi dan beradaptasi dengan dinamisme kehidupan berbangsa dan bernegara secara tepat dan cepat.  

G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat pembaruan (tajdīd) NU di bidang pendidikan adalah identik dengan dinamisasi dalam arti “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan, lebih difokuskan pada aspek-aspek yang bersifat substansial dalam rangka reposisi dan reaktualisasi fungsi sosialnya di era modern. Reposisi dimaksudkan sebagai usaha menempatkan kembali sistem kelembagaan tradisionalnya, khususnya pesantren dan madrasah, agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan baru di bidang pendidikan, melalui koreksi dan rehabilitasi atas unsur-unsur kelembagaan lamanya yang dianggap usang serta inovasi dengan memasukkan unsur-unsur (yang sama sekali) baru, agar mampu menjalankan fungsi sosialnya secara optimal. Dimaksud reaktualisasi adalah upaya mengaktifkan kembali ajaran Islam dan prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam klasik yang hampir terlupakan, yang sebenarnya masih tetap bisa dipedomani karena universalitas nilai-nilai di dalamnya. Bertolak dari tradisi, pembaruan (tajdīd) pendidikan NU sebenarnya identik dengan dinamisasi, dalam arti “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan. Dengan demikian, pembaruan pendidikan dalam konteks NU tidak semata-mata hanya mengadopsi unsur-unsur baru sebagai akibat penggunaan ilmu pengetahuan-teknologi, tetapi juga reaktualisasi atau revitalisasi kekayaan tradisi pendidikan Islam sendiri, karena universalitas isi kandungannya, untuk diterapkan kembali di era modern. Semua ini tidak dapat dilepaskan dari peran sentra yang dimainkan para pendidik (ulama) pesantren yang independen dan berpikiran progresif sehingga faham konservatif-kemadzhaban yang dipegangi NU tidak menjadi penghalang dan bahkan sebagai pendorong terjadinya pembaruan pendidikan di dalamnya. Pendekatan seperti inilah yang membedakan pembaruan pendidikan NU dengan usaha serupa yang dilakukan golongan reformis, karena kecenderungan mereka mengadopsi unsur-unsur baru dari luar secara berlebihan. Model sistem-kelembagaan pendidikan Islam ala NU yang tetap bertumpu pada tradisi terbukti telah memberikan kontribusi penting tidak hanya dalam memperkaya sistem pendidikan nasional, tetapi juga dalam menyediakan pilar yang kokoh untuk menyangga dan memperkokoh kebudayaan dan ketahanan kehidupan berbangsa-bernegara secara keseluruhan.





[1] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 13-14.
[2] Ibid, hal. 16.
[3] A. Mukti Ali, “Al-Zarnuji dan Imam Zarkasyi dalam Metodologi Pendidikan Agama Suatu Pembahasan Perbandingan tentang Metodologi Pendidikan Agama pada Abad Pertengahan dan di Pondok Modern Gontor”, dalam Amir Hamzah Wiryosukarto, dkk., Biografi KH. Imam Zarkasyi di Mata Umat, (Ponorogo: Gontor Press, 1996) hal. 905-906.
[4] Mengenai metode campuran ini, dapat dibaca antara lain Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1993), khususnya hal. 50-53; Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Terj. Mestika Zed dan Zulfami, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), khususnya hal.20-30; dan Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Method, (Boston, Allyn and Bacon, Inc., 1986) hal. 31-32.
[5] Peter Caray dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa di depan rombongan dosen IAIN di Universitas Oxford Inggris pada 10 april 1979 menemukan lebih dari 150 orang kyai dan haji  yang turut berperang bersama Diponegoro. Padahal sebelumnya hubungan antara santri dan kraton tidak begitu baik. Baca Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal.  30.
[6] Karel A. Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung: Mizan, 1995) hal. 106-120.
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam, (Jakarta: LP3ES, 1988) hal. 29-30.
[8] Karel A. Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian, hal. 120-126.
[9] H. Aqib Suminto, Politik Islam, hal. 184.
[10] Mahrus As’ad, “Pembaruan pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari”, Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam, Vol. 8 Nomor 1, April 2012, hal. 112-114.
[11] Mahrus As’ad, “Pembaruan pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari”, Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam, Vol. 8 Nomor 1, April 2012, hal. 112-114.
[12] Clifford Geertz, “Modernization in Moslim Society”, hal. 100-101.
[13] KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna Awak sampai nDandakna Bangsa: sebuah Kesaksian, dalam Marzuki Wahid, dkk., Geger di Republik NU: Perebutan Wacana, Tafsir Sejarah, Tafsir Makna (Jakarta: Kompas-Lakpesdam NU, 1999) hal.  307-308.
[14] Ruth T. McVey, “Taman Siswa and The Indonesian National Awakening”, Indonesia, Vol. I (April), 1967, hal. 133.
[15]Azyumardi Azra, “Pembaruan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar” dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997/1998) hal. 2.
[16] KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna Awak ...”,  hal.  307.
[17] Clifford Geertz, “Modernization ...”, hal.  100-101.
[18] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1988) hal. 95.
[19] Ruth T. McVey, “Taman Siswa ...”, hal.. 133.
[20] KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna Awak …, hal.  307-308.
[21] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980) hal. 10.
[22] KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna Awak …, hal.  307-308.
[23] Clifford Geertz, “Modernization ...”, hal.  101
[24] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), hal. 13-14.
[25] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1994) hal. 41.
[26] Cabang-cabang Nahdlatul Wathan sebagian tetap menggunakan namanya; sebagiannya lagi menggunakan nama lain, seperti Far’ul Wathan, Hidayatul Wathan, Khitabul Wathan, dan lain-lain. Aboebakar, Sedjarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Peringatan Alm. K.H. A. Wahid Hasjim, 1957) hal. 469-473.
[27] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama …, hal. 45.
[28] Choirul Anam, Pertumbuhan …, hal. 27.
[29] Syubbānul Wathan (Pemuda Tanah Air) adalah sebuah organisasi pemuda, dibentuk pada 1924, atas inisiatip Kyai Wahab, berasal dari sebuah kursus agama, yang melaluinya 65 guru dan ulama muda diberi pengarahan tiga kali seminggu di madrasah Nahdlatul Wathan, guna membahas masalah hukum agama, program dakwah, peningkatan pengetahuan para anggotanya, dan sebagainya. Saifuddin Zuhri, K.H. Wahab Hasbullah, (Jakarta: Yamunu, 1972) hal. 24.
[30] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama…, hal. 120.
[31] Ibid, hal. 57-59.
[32] Tentang pandangan dan sikap keras Abdul Wahab menghadapi segala pendirian yang tidak sejalan dengan mereka, baca Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terjemahan Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006). 
[33] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama…, hal. 57.
[34] Ibid.
[35] M. Fajrul Falaakh, “Jam’iyah Nahdlatul Ulama: Kini, Lampau dan Datang”, dalam Ellyasa KH. Dharwis, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1997) hal. 177.
[36] K.H. Ali Ma’shum, “Amanat Rois Aam PBNU”, Disampaikan pada Musyawarah Kerja LP. Ma’arif NU se-Indonesia di Jakarta, 9 April 1983. PP. LP. Ma’arif, Laporan Musyawarah Kerja Lembaga Pendidikan. Ma’arif, dii Jakarta 8-11 April 1983, Jakarta, PP. LP. Ma’arif, 1983.
[37] Statuten  Perkompoelan Nahdlatoel Oelama, Pasal 3.
[38] M. Dawam Rahardjo, “NU dalam Perspektif Gerakan Sosial Keagamaan”, Makalah  disampaikan dalam Sarasehan Pendidikan dan Rapat Kerja Terbatas LP. Ma’arif NU di Jakarta, 6-7 Maret 1996.
[39] Sulthan Fatoni, dkk., “NU”: Ideology Politics and the Formation of Khaira Ummah”, (Jakarta: LP. Ma’arif, 2003) hal. 60; Slamet Effendy Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, (Jakarta: Radjawali, 1983) hal. 34
[40] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah …,  hal. 68.
[41] Swara Nahdlatoel Oelama, No. 11 Th. 4  (Zul Qo’dah 1353).
[42] Berita Nahdlatoel ‘Oelama, No. 18-19 Th. 5 (1 Agustus 1936).        
[43] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997) Edisi Kedua, hal. 95.
[44] Daniel Lerner, “Modernization” dalam David  A. Sills, International Encyclopedia of the Social Sciences, (New York: Crowell Collier and Macmillan, 1968) Vol. 9-10, hal. 386. 
[45] Ibid
[46] Lihat C. Arnold Anderson, “Modernisasi Pendidikan” dalam Myron Weiner, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, (Yogyakarta: UGM Press, 1977) hal. 61.
[47] Lihat Claude E. Welch, Jr, Political Modernization, A Reader in Comparative Political Change, (California: Wadsworth, 1967) hal. 4.
[48] Abuddin Nata, dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2005) hal. 105.
[49] C. Arnold Anderson, “Modernisasi Pendidikan”, hal. 61.
[50] Amin al-Kulli, Al-Mujaddidūn fi al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2003) hal.36.
[51] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1988) hal. 172.
[52]Jujun S. Suria Sumantri, “Pembangunan Sosial Budaya Secara Terpadu”, Suara Karya, 6 Agust. 1985.
[53] Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama Pasal 2.
[54] Aula, Januari 1988, hal. 6.
[55] Ahmad Mansur Suryanegara, “Gerak Langkah Jam’iyah dan Partai Politik Nahdlatul Ulama, Panji Masyarakat, No. 366, 1981, hal. 43.
[56] KH. Abdul Muchith Muzadi, Apa dan Bagaimana Nahdlatul Ulama? (Jember: PCNU, 2003) hal. 127.
[57] Lihat salah satunya tulisan Al-Anshori berjudul “Bedanya Modernisasi dan Modulasi dalam NU”, dibuat untuk menyambut Muktamar NU ke-24 di Bandung, dalam tiga kali terbitan secara bersambung. Duta Masjarakat, 28, 29, dan 30 Juni 1967.
[58] Farida Mawardi, “Mencari Pola dan Strategi Pengembangan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Ma’arif”, Disampaikan dalam Raker Terbatas PBNU Bagian Ma’arif, di Jakarta, 4-6 Mei 1978.
[59] Lihat artikel “Tadjid Menurut Pandangan NU” dalam Aula Januari 1988, hal. 6-17.
[60] Ibid,  hal. 8.
[61] Ibid, hal. 8.
[62] Ibid, hal. 14.
[63] Lihat Chatibul Umam Wiranu (Peny.), Membaca Ulang Aswaja dan Upaya Transformasi PMII, (Jakarta: PB. PMII, 1997)
[64] A. Muhaimin Iskandar, “Prolog: PMII sedang Menantang Resiko?”, dalam Chatibul Umam Wiranu (Peny.), Membaca Ulang …, hal. vii.
[65] Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: eLSAS, 2004) hal. 99.
[66]KH. Ahmad Siddiq, “Pokok-Pokok Pikiran tentang Tajdid”, Aula Januari 1988, hal. 10 dan 15.
[67]Ibid, hal. 10 dan 15.
[68] Ibid, hal. 10.
[69] Ibid, hal. 11.
[70] Ibid, hal. 10-12.
[71] LP. Ma’arif, Konsep Kebijakan Umum L.P. Ma’aruf NahdlatulUlama Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta:  LP. Ma’arif Pusat, 1991).
[72] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai ..., hal. 52.
[73] Berita Nahdlatoel Oelama, No. 17 Th. 8 (1 Juli 1938), hal. 5/273.
[74] Chatibul Umam Wiranu, Membaca Ulang ..., hal. 3.
[75] Ibid, hal. 5.
[76] Menurutnya, ada beberapa hal yang menunjukkan “gerak maju” dengan lahirnya NU. Pertama, masyarakat Islam yang ketika itu relatif tertutup, dengan lahirnya NU, telah berhasil membuka komunikasi dengan dunia luar serta mampu menciptakan antisipasi terhadap masalah-masalah nasional maupun internasional. Kedua, dengan ciri pendekatannya yang luwes, NU berhasil mendorong terjadinya proses pembaruan dalam usaha-usaha pendidikan Islam melalui pengaruh para kyai. Ketiga, karena NU lahir dari realitas sosial yang ada, dengan sendirinya NU telah memberikan andilnya yang sangat besar terhadap usaha perawatan dan pengembangan nilai-nilai nasional dan warisan budaya bangsa. Keempat, dengan berpedoman kepada Ijma’ dan Qiyas, di samping Al-Qur’an dan Hadits, berarti NU telah meletakkan diri pada dasar pijakan yang rasional. Menurutnya, bahwa Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber ajaran sudah jelas, tetapi kesediaan menggunakan Ijma’ dan Qiyas merupakan hal yang menarik. Ijma’ adalah penafsiran ajaran Islam oleh ahlinya dengan jalan musyawarah. Sedangkan, Qiyas, yaitu suatu metode berfikir identik dengan analogi, sebagai cara menafsirkan ajaran sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat tertentu. Semua ini merupakan landasan NU yang sangat dinamis dan modern. Risalah Nahdlatul Ulama, No. V/VI Tahun I (1979), hal. 9.
[77] Selain dicap sebagai “conservative”, NU juga sering diidentikan dengan anti perubahan  (anti-modernisme), “tradisionalits”, dan “orthodox”. Lihat Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, (Singapore: Oxford University Press, 1973) hal. 222-234; W.F. Wertheim, Indonesia Society in Transition: A Study of Social Change, (The Hague: W van Hoeve, 1966); Clifford Geertz, “Modernization in a Muslim Society: The Indonesian Case” dalam Robert N. Bellah, Religion and Progress in Modern Asia, (New York: Free Press, 1965) hal. 103; Harry J. Benda,  The Cresent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945, (The Hague: W.van Hoeve, 1958) hal. 50.
[78] Taqlid atau bermazhab dalam sikap keberibadatan NU dipahami  dalam arti sangat longgar, terutama di kalangan para elitnya (kyai). Meskipun secara formal mayoritas memegangi mazhab Syafi’i, dalam prakteknya, para kyai NU dapat dengan mudah menerima ajaran mazhab lain, selagi masih dalam koridor mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penerimaan pendapat selain Syafi’iyah tidak mengalangi mereka untuk berpindah kepada mazhab lain, jika memang pendapat syara’ memungkinkan. Dan mereka tidak takut lagi dituduh talfiq.
[79] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah , hal. 29.
[80]  W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Terj. Taufik Adnan Amal, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001) hal. 5.
[81] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) hal. 221.
[82] Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 32-33.
[83] Mahrus As’ad, Pembaruan Pendidikan Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2007).p
[84] PBNU, Konsepsi Pengembangan Sumberdaya…, hal. 19.
[85] Ibid, hal. 20.
[86] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta, Reneka Cipta, 2004) hal. 172 dan 174.
[87] PP. LP. Ma’arif, Konsep Kebijakan Umum.
[88] M. Nadjid Muchtar, Wawancara, 19 Mei 2004.
[89] Paham Ahlusunnah wal Jamaah (Aswaja) diyakini sebagai integralisasi ajaran Islam mencakup seluruh aspek-aspek keagamaan berdasarkan manhaj (metode pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam hal akidah (teologi), empat imam mazhab besar dalam fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali serta para imam lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam dalam tasawuf, mencakup tiga hal pokok, yang secara garis besar juga ad aspek-aspek terpenting ajaran Islam, yaitu akidah, syari’ah atau fiqh, dan akhlak. Akidah adalah aspek terpenting dan yang melatarbelakangi lahirnya paham Aswaja dalam Islam, berdasarkan metode pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah, menempatkan nas Al-Qur’an dan Sunnah sebagai otoritas utama, berfungsi sebagai petunjuk dalam memahami ajaran Islam. Sedangkan, akal yang mempunyai potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan alat bantu untuk memahami nas tersebut. Singkatnya, NU menggunakan pola pikir taqdīm al-naş ‘alā al-‘aql, mendahulukan naş (teks), kemudian baru nalar (akal). Syari’ah atau fiqh adalah aspek keagamaan berhubungan dengan ibadah dan muamalah. Ibadah adalah tuntutan formal berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti terumuskan dalam rukun Islam (habl min Allāh). Muamalah adalah bentuk kegiatan ibadah, dalam arti pengamalan ajaran agama, bersifat sosial menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya secara horizontal (habl min al-nās). Semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah; namun, karena tidak semua orang dapat memahami keduanya secara langsung, sebab kebanyakan nas Al-Qur’an dan Sunnah hanya berbicara pokok-pokok dan prinsip-prinsip (uşul) saja, hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode pengambilan hukum tertentu, sehingga terdapat kejelasan apa saja yang menjadi cabang-cabangnya (furū’). Untuk melakukannya diperlukan ijtihād yang tentu saja tidak semua orang mampu melakukannya. Itulah sebabnya dalam paham Aswaja NU, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agama sangat penting. Sedangkan, akhlak adalah kondisi mental spiritual yang mendorong manusia untuk berperilaku. Karena berwujud kesadaran, nilai suatu perbuatan seseorang pada dasarnya tergantung pada hakekat dorongan mental-spiritual yang ada dalam dirinya. Artinya, semua perbuatan baik yang dilakukan manusia dalam perspektif ajaran ini tidak boleh tercampur dengan unsur-unsur lain, selain motif mengharap ridla Allah, yang disebut ikhlas. Penekanan aspek akhlak dapat diartikan sebagai upaya membimbing manusia dalam mencapai derajat keikhlasan. Untuk mencapainya diperlukan proses pembiasaan atau pelatihan diri secara berkesinambungan, yang dalam tradisi Aswaja, dikembangkan para sufi, yang kemudian menghasilkan tasawuf, sebagai alat pendukung dalam mendidik dan membimbing aspek esoterik (batiniah) manusia dalam mencapai nilai-nilai ihsān, yaitu suatu sikap mental-spiritual yang senantiasa merasakan kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan, dengan mengambil jalan yang dikembangkan Al-Junaid al-Baghdadi dan Al-Ghazali dan imam-imam lainnya yang berusaha memadukan syari’ah dan tasawuf. Bagi NU, Aswaja tidak lain merupakan cara pandang dan berpikir bersifat holistik, yang mengasumsikan bahwa segala persoalan hidup kemanusiaan baik lahir maupun batin bisa terjawab dengannya. Ciri utamanya adalah sama dengan ciri utama ajaran Islam sendiri, yaitu al-tawassuţ (sikap tengah) yang dilengkapi dengan al-i’tidal (tegak, lurus, adil) dan al-tawazun (seimbang). Tiga karakter ini berfungsi menghindari taţarruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan. Singkatnya, harus ada pertengahan dan keseimbangan dalam berbagai hal. Dalam akidah ada keseimbangan antara penggunaan dalil naqli dan ‘aqli, antara ekstrim Jabariah dan Qadariyah. Dalam syariah dan fiqh, ada pertengahan antara ijtihad “sembrono” dengan taklid buta melalui jalan bermazhab, atau tegas dalam hal qaţ’iyyāt dan toleran pada hal-hal zanniyāt. Dalam akhlak, ada keseimbangan dan pertengahan antara sikap berani (shajā’ah) dan sikap penakut serta “ngawur”. LP. Ma’arif Nahdlatul ‘Ulama, Konsep Kebijakan Umum.
[90] H.A. Wahid Hasyim, “Boeat Goeroe II” dalam Berita Nahdlatul Oelama, No. 13 Th. 9 (1 Mei 1940) hal. 7/177.
[91] Ibid.
[92] Dalam memperkuat orientasi baru pendidikan mereka, para pendidik NU sering menyampaikan ungkapan-ungkapan membumi seperti al-addunyā mazra’at al-ākhirat (dunia adalah tempat usaha menanam kebahagiaan akherat) atau ayat Al-Qur’an: Wabtaghī fīmā ātākallāh al-dār ākhirat walā tansa nasībaka min al-addunyā (“Tuntutlrah dalam sesuatu yang diberikan Allah kepadamu akan negeri akherat, dan janganlah kamu lupakan kebahagiaanmu dari dunia. Baca sebuah artikel ditulis di Oetoesan Nahdlatoel Oelama, “Sekedar Menjadi Pedoman bagi Nahdlatoel Oelama” dan artikel Moeh. Zain Dijar, “Bagaimanakan Kedoedoekan Pendidikan dalam Masjarakat  Itoe?” ditulis di Berita Nahdlatoel Oelama Th. 10 (1 Juli 1940).
[93] LP. Ma’arif, Landasan Dasar Pengenmbangan Pendidikan di Lingkungan Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PP. LP. Ma’arif, 1983).
[94] Wawancara dengan tokoh Ma’arif NU 1970-an Abdurrahman Saleh di Jakarta, 11 Mei 2003.
[95] Dunia Madrasah No. 31-32 Th. III (Maret-April 1957), hal. 30.
[96] Baca Halim Barakat, Dunia Arab Masyarakat Budaya dan Negara, Terjemahan Irfan M dan Zakkie, (Bandung: Nusa Media, 2012), hal. 201-240.
[97] Hingga akhir 1969 hampir semua sekolah/madrasah yang dikelola Ma’arif menggunakan atribut NU. Namun, sejak tampilnya pemerintah Orde Baru yang tidak menghendaki adanya politik aliran, semua sekolah/Madrasah NU dipaksa mengganti atribut ke-NU-annya, sehingga Ma’arif sebagai kembaga induknya memutuskan penggantian atribut NU tersebut dengan nama-nama lain yang tidak asing bagi wargan NU, seperti “Walisongo”, “Hasyim Asy’ari”, “Al-Ghazali”, dan sebagainya. 
[98] Berdasarkan laporan Bagian Ma’arif 1990, meskipun semua tercatat, jumlah institusi pendidikan NU sebanyak  9.344 buah, terdiri atas 3.885 TK/RA, 3804 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 197 Sekolah Dasar (SD), 590 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 378 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 212 Madrasah Aliyah (MA), 211 Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 67 Perguruan Tinggi. Menurut data 2003, institusi pendidikan NU ber institusi pendidikan NU institusi pendidikan NU berjumlah lebih dari 12.000, sebagian besar berupa pendidikan dasar dan menengah, serta 78 buah perguruan tinggi. Peningkatan jumal ini, menurut Nadjid Muchtar, bukan karena dibangunnya sekolah-sekolah baru, yang kalaupun ada jumlahnya tidak signifikan, tetapi lebih disebab meningkatnya kesadaran  di kalangan masyarakat NU mencatatkan lembaga pendidikan mereka ke Bagian Ma’arif NU. Wawancara dengan Nadjid Muchtar, 5 Mei 2003. Baca juga LP. Ma’arif, Keputusan-Keputusan Musyawarah Kerja LP. Ma’arif NU se-Indonesia 21-23 Juli 1990 (Jakarta: LP. Ma’arif, 1990).
[99] Wawancara dengan  Gaffar Rahman di Jakarta 16 Novemner 2004.
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM NAHDLATUL ULAMA PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM NAHDLATUL ULAMA Reviewed by Unknown on 8:00 AM Rating: 5

No comments:

ads
Powered by Blogger.