PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM NAHDLATUL ULAMA
Oleh: Drs. Mahrus As’ad, M.Ag
(Dosen IAIN Metro)
A. Pendahuluan
Sebelum pembaruan, konsep “pendidikan Islam” di Indonesia menunjuk kegiatan
pembelajaran ilmu-ilmu (pengetahuan) agama, yang dari segi sistem dan
kelembagaanya bersifat sederhana, disebut “pengajian”, baik dalam bentuk
Pengajian Al-Qur’an maupun Pengajian Kitab. Pengajian Al-Qur’an berlangsung di
langgar-langgar, di serambi-serambi masjid, di rumah-rumah pribadi guru,
biasanya mengajarkan murid pengenalan huruf-huruf Arab agar bisa melafalkan
beberapa bagian dari teks Al-Qur’an, khususnya Al-Fatehah dan
surat-surat pendek dalam Jus Amma, dan peraturan serta tata tertib
salat, wudlu dan beberapa doa. Pengajian Kitab, sebagai kelanjutan dari
Pengajian Al-Qur’an, bertempat di pesantren (surau), yang fase pertama
pembelajarannya difokuskan pada penguasaan bahasa Arab, dengan membaca dan menghafalkan
uraian tata bahasa dalam bentuk sajak. Bila beberapa cabang tata bahasa Arab
telah diselesaikan, si murid mulai belajar agama dalam arti sesungguhnya, yang
materinya berupa kitab-kitab klasik, utamanya mencakup fiqh, ditambah tauhid
dan tafsir Al-Qur’an. Murid
yang mampu mengikuti pelajaran tinggi dapat mengambil mata pelajaran
komplementer dalam sistem halaqah (lingkaran), seperti tasawuf, hadits,
falak, yang kesemuanya tergantung pada keahlian kyai pesantren bersangkutan.[1]
Dari aspek didaktis-metodis,
metode pembelajaran di Pengajian Al-Qur’an dan Pengajian Kitab pada dasarnya
tidak ada perbedaan, bersifat perorangan dan sukarela dan berpusat pada guru
(kyai). Tidak adanya ikatan formalitas membuat sistem pembelajaran mereka
sangat longgar sehingga murid bisa ikut dan meninggalkan pelajaran kapan saja.
Tidak dikenalnya sistem evaluasi menjadikan waktu belajar berlangsung tanpa
batas. Biasanya batas waktu belajar murid ditentukan kapan sebuah kitab
diselesaikan: bisa dalam hitungan bulan, bisa juga bertahun-tahun, tergantung
bakat-kesungguhan murid. Menurut Steenbrink, sistem belajar seperti ini hanya
cocok bagi murid yang cerdas, rajin, dan mampu, serta bersedia mengorbankan
waktu yang banyak untuk studi. Sebaliknya, murid kebanyakan, yang punya waktu
belajar hanya beberapa tahun antara umur 12 hingga 15 tahun, tidak mendapat
perhatian. Waktu mereka bahkan banyak dihabiskan untuk belajar bahasa Arab yang
sifatnya statis, khususnya tata bahasanya, dengan menggunakan metode
tradisional, yang tidak bisa memberikan kemampuan berbahasa aktif untuk
keperluan membaca kitab-kitab berbahasa Arab secara mandiri.[2]
Sering dianggap sebagai warisan pendidikan Islam Abad Pertengahan,[3]
sistem pembelajaran seperti itu jelas sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan kaum
Muslim di era modern yang semakin kompleks.
Problem ketidakefektifan
dan inefisiensi hampir mewarnai seluruh aktifitas pembelajaran di
lembaga-lembaga pendidikan (Islam tradisional) pesantren, yang menjadikannya semakin melemah
dan terpuruk serta eksklusif, sehingga pada gilirannya tidak mampu lagi
memainkan fungsi sosialnya sebagai agen perubahan yang bisa mengantarkan
generasi Muslim mampu memasuki lapangan kehihidupan modern yang lebih luas. Kondisi seperti ini telah
mendorong kaum Muslimin, secara perseorangan maupun organisasi awal abad ke-20 mengupayakan
pembaruan pendidikan Islam, antara lain dengan memperkenalkan sistem
pembelajaran modern yang kemudian dikenal dengan madrasah dan sekolah. Salah satu organisasi
yang memainkan peran
penting dalam hal ini adalah Nahdlatul Ulama (NU). Jaringan kekyaiannya
yang luas memudahkan NU mengintroduksi ide-ide dan usaha pembaruan
pendidikannya sehingga mengantarkan
pesantren secara
perlahan dan pasti mengalami metamorfosis yang pada gilirannya mampu menjadi tenaga
pendorong bagi kebangunannya sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia, terutama pada pasca
kemerdekaan dan
masa-masa selanjutnya. Pembaruan pendidikan NU membawa transformasi
besar-besaran dalam kehidupan masyarakat Muslim pedesaan Indonesia dari kondisi
di mana mereka sering dikatakan jumud
dan terbelakang kepada kehidupan mainstream,
yaitu kehidupan dengan mana masyarakat mengalami kemajuan pada umumnya.
Menggunakan pendekatan
sosio-historis-fenomenologis,[4]
tulisan ini akan meninjau secara mendalam konsep dasar dan
hakekat pembaruan (tajdīd) pendidikan
NU, hubungan ide pembaruan NU dengan faham kemadzhabannya, serta kontribusinya
bagi kebangunan pendidikan Islam awal abad ke-20 dalam menghadapi tuntutan baru
di bidang pendidikan di satu pihak dan penguatan pilar ketahanan kebudayaan nasional
di pihak lain. Untuk
memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai masalah yang dibahas, tinjauan
pertama-tama diarahkan pada kondisi pesantren awal abad ke-20, NU
sebagai lembaga pendidikan, NU dan pembaruan pendidikan Islam, aspek-aspek
yang dipembarui, kontribusi, dan
terakhir kesimpulan.
B. Kondisi Pendidikan
Islam Awal Abad ke-20
Kedatangan bangsa Belanda ke
tanah air secara pelahan mengakibatkan makin terdesaknya posisi pendidikan
Islam, terutama pesantren, dalam menjalankan fungsi sosialnya di wilayah ini. Sejak berakhirnya Perang Jawa
1825-1830, pendidikan Islam terus mengalami kemunduran. Penyebabnya antara lain adanya berbagai pembatasan dari
pemerintah kolonial terhadap gerak langkah pesantren, di samping beralihnya fungsi sejumlah pesantren menjadi kubu pertahanan tentara Diponegoro.[5] Ada banyak cara
dilakukan pemerintah kolonial
Belanda untuk
menghalangi gerak langkah pesantren mulai dari pengadaan ujian calon-calon guru untuk
mendapatkan ijin mengajar, pendataan guru-guru agama (kyai) beserta
murid-muridnya, hinhga sensor terhadap buku-buku yang datang dari luar negeri.[6] Dekade-dekade
berikutnya menyaksikan betapa semangatnya pemerintah menggalakkan berbagai macam pengawasan
terhadap kaum muslimin, seperti Ordonasi Haji 1859, Instruksi Pemerintah 1867 tentang
ketertiban umum, pembentukan Peradilan Agama (Priesterraden) pada 1882, sebagai upaya mengawasi segala gerak-gerik
kaum Muslim, termasuk dalam bidang pendidikan.[7]
Pada 1904 didirikan pula
Kantoor van Inlandsch Zaken, yang salah satu fungsinya mengawasi gerak-gerik pesantren.[8]
Setahun kemudian, muncul Ordonasi Guru 1905, yang diperbarui pada 1925.[9]
Tak disangsikan lagi, berbagai kebijakan
Belanda tersebut mengakibatkan pesantren mengalami banyak kerugian. Seperti
diketahui, adalah
biasa bagi para guru di
masa ini memberikan pengajaran, selain di pesantren sendiri, di
pesantren-pesantren milik para koleganya yang tempatnya berjauhan. Pembatasan dan pengawasan tersebut jelas berakibat makin renggangnya hubungan antar mereka, apalagi makin
kurangnya buku-buku dari luar sebagai bahan ajar dan kajian, yang berarti juga makin
terganggunya pengembangan
keahlian dan keilmuan
tertentu pada sebuah pesantren, sehingga menyebabkan terganggunya aktifitas
belajar-mengajar yang
pada gilirannya menurunkan kualitas. Singkatnya, berbagai bentuk kebijakan pemerintah kolonial yang
represif terhadap kaum Muslim menjadikan pendidikan Islam di tanah air mengalami
kemunduran.[10]
Memasuki abad ke-20 kaum
Muslim di tanah air, Jawa khususnya, menyaksikan munculnya eksperimen
pembaruan pendidikan Islam dengan
memperkenalkan sistem kelembagaan pendidikan modern yang diperkenalkan kaum
reformis Muslim, secara perorangan maupun organisasi.[11]
Eksperimen ini didorong kebutuhan mereka akan format pendidikan
Islam yang bisa memenuhi tuntutan kehidupan modern yang terus bergerak maju. Pesantren
yang telah lama beroperasi, dianggap mereka selain heterodok, juga sudah
ketinggalan jaman dan tidak lagi efektif
untuk meningkatkan kualitas pendidikan umat. Karena itu perlu diganti dengan sistem kelembagaan baru
yang lebih cocok dan islami, yang kemudian disebut “madrasah”.[12]
Mampu mengundang
banyak murid, kemunculan lembaga
pendidikan baru ini, tak pelak lagi, menimbulkan rekasi yang
cukup hebat kalangan pendidik pesantren, karena dianggap dapat
mengganggu harmoni kehidupan keberagamaan umat, yang
selama ini dijaga dan dilestarikan pesantren.[13] Menurut
mereka, madrasah yang diperkenalkan kaum reformis dapat dikatakan dari
segi substansinya hanyalah copy dari
sekolah Belanda oyang dibuka sejak pertengahan kedua
abad ke-19, yang meminjam istilah McVey- bisa
menjadi langkah awal menuju sekularisme.[14] Singkatnya, pendidikan Islam,
khususnya pesantren, tengah menghadapi tantangan besar yang berasal dari
dirinya sendiri serta dari luar. Kondisi seperti ini tentu saja akan merugikan masa depan pendidikan Islam sendiri,
sehingga pada gilirannya mendorong Nahdlatul Ulama (NU) mengusahakan pembaruan di
dalamnya.
C. NU sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Terbentuknya NU
sebagai lembaga pendidikan Islam sering dikaitkan dengan usaha kaum reformis
Muslim di tanah air untuk memperbaiki mutu pendidikan Islam yang dinilainya
sudah ketinggalan jaman, karena orientasinya yang
melulu memberikan pengajaran agama dalam arti sempit. Diilhami
gagasan Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya Rasyid Ridla
(1865-1935), mereka melancarkan ide-ide pembaruan,
tidak saja terkait praktek-praktek keagamaan kaum
Muslim, melainkan juga kelembagaan pendidikan tradisionalnya,
khususnya pesantren. Menurut mereka, mempertahankan lembaga
pendidikan seperti itu hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan
kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.[15] Selain
sudah ketinggalan jaman, pesantren juga dianggap tidak
efektif lagi digunakan untuk meningkatkan pendidikan anak. Oleh karena itu,
mereka menyerukan agar pesantren ditinggalkan dan, sebagai penggantinya,
dibuatkan lembaga pendidikan baru, yang lebih modern dan cocok guna menghadapi
tuntutan jaman.[16]
Atas dasar itu, kaum pembaharu memperkenalkan sebuah lembaga pendidikan
baru ke dalam tradisi pendidikan Islam Indonesia, yang disusun secara
bertingkat, terorganisir secara formal, disebut “madrasah”. Penggunaan nama
“madrasah” bagi sekolah-sekolah modern yang dikembangkan kaum pembaharu
dimaksudkan sebagai antitesa terhadap lembaga pendidikan pesantren, yang
dinilai tidak saja dekat dengan tradisi lokal yang heterodok. Jadi apa yang
dilakukan kaum pembaharu dengan alternatif lembaga pendidikannya adalah semacam
upaya Islamisasi terhadap kelembagaan pesantren karena di dalamnya mengandung
unsur Hindu-Budha. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, tentu saja, adalah
dalam rangka penyempurnaan isi dan metode, yang kemudian hari segera
bermetamorfose menjadi “sekolah”, yang pada dasarnya sekuler dan hampir
menyerupai sekolah-sekolah Katolik di Eropa,[17] yang
sudah diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda pada
dekade kedua abad ke-19. Dalam waktu tidak terlalu lama, sekolah-sekolah
kaum reformis (pembaharu) ini mengalami perkembangan pesat. Muhammadiyah,
misalnya, dalam waktu kira-kira sepuluh tahun sejak berdirinya, yaitu pada
1925, sudah memiliki 8 HIS, satu Sekolah Guru, 32 Sekolah Kelas Dua, sebuah
Schakelschool, 14 madrasah, dan 119 orang guru. [18]
Kemunculan sekolah-sekolah model
baru ini mendapatkan respon yang keras dari
kalangan ulama pesantren, karena -meminjam istilah McVey- selain dipandang
sebagai langkah awal menuju sekularisasi,[19] juga
dapat mengganggu harmoni tatanan tradisi budaya bangsa, yang selama ini dijaga
dan dilestarikan pesantren.[20] Di mata
mereka dan para pendukungnya, pesantren sesungguhnya bukan saja
merupakan sebuah lembaga pendidikan dalam arti sempit, melainkan juga sebagai “madrasah”
tempat tumbuh-kembang serta pemeliharaan nilai-nilai budaya
Islam bercorak lokal yang khas
dan unik, merupakan subkultur dari gugusan besar kebudayaan
Indonesia, yang berbeda dari pola kehidupan masyarakat
pada umumnya di negeri ini.[21] Bagi
mereka, memasukkan unsur-unsur baru yang baik ke dalam pesantren sebenarnya
bukan masalah demi kemajuan pendidikan umat. Namun,
semua itu harus dilakukan tidak dengan cara meninggalkan
semua unsur kebaikan pada pesantren.[22]
Menghadapi usaha pembaruan
pendidikan kaum reformis, para pendidik pesantren tidak
tinggal diam, dalam arti turut serta mengambil bagian dalam
usaha yang sama, tetapi pendekatan yang berbeda dari kaum reformis.
Dengan tetap mempertahankan sisi positif dari pesantren, kalangan pendidik
pesantren mulai membuka sistem madrasah.[23] Hanya
saja sistem madrasah mereka tidak langsung dirancang seperti
madrasah milik kaum reformis, karena sistem dan kandungan
isi pembelajarannya sepenuhnya masih bergaya pesantren. Ketika
kaum reformis melancarkan usaha pembaruan pendidikan mereka
lewat organisasi modern, lembaga- lembaga pendidikan
Islam di bawah pengawasan pendidik
pesantren belum terorganisir secara teratur. Namun secara
informal, keberadaan mereka sebenarnya sudah tergabung
dalam komunitas (jamā’ah) tersendiri,
yang secara kultural berakar kuat melalui jaringan para pendidik pesantren.[24]
Kemunculan organisasi kaum
reformis tersebut membangkitkan keinginan sejumlah pelajar Indonesia yang
pernah menuntut ilmu di Mekkah untuk mendirikan sebuah organisasi (lokal) bernama
Nahdlatul Wathan di Surabaya pada 1914,[25] yang
kemudian dikembangkan ke beberapa kota di Jawa Timur,[26] memfokuskan
kegiatannya pada pendidikan formal dan kursus-kursus. Pada
tahun 1918, berdiri lagi sebuah organisasi di lingkungan pesantren bernama Taşwīrul Afkār, di samping sebuah
koperasi bernama Nahdlatut Tujjār.[27] Taşwīrul Afkār pada masa-masa awal berdirinya lebih menitikberatkan pada diskusi dan
kursus, baru kemudian beralih ke lapangan pendidikan formal dengan membuka
madrasah.[28]
Memasuki 1926, di tengah kesibukan kaum
muslimin membentuk komite-komite untuk menghadiri Konferensi Khilafah, sejumlah
kyai muda yang pernah aktif di Syubbān a-
Wathan,[29] atas
restu Kyai Hasjim Asj’ari Tebuireng dan beberapa kyai lainnya, membetuk sebuah
komite: “Komite Hijaz”,[30] terkait
dengan tampilnya penguasa baru Hijaz Abdul Aziz bin Sa’ud
(pendiri Kerajaan Saudi Arabia) yang berpaham Wahabi.[31]
Pengalaman traumatik masa lalu menyusul sikap-tindakan Abdul Wahab yang amat
keras menentang segala pendirian yang tidak sejalan dengan mereka,[32] membuat
para pendidik pesantren khawatir akan tradisi keagamaan mereka di
tangan penguasa baru Hijaz beraliran Wahabi tersebut.[33] Para
pendidik pesantren, melalui juru bicaranya Kyai Wahab
Khasbullah, meminta sidang-sidang Komite Khilafah agar utusan
Konggres Mekkah meminta jaminan Ibnu Saud agar bersedia membiarkan pengajaran
mazhab-mazhab fiqh di Tanah Suci dan membolehkan
berbagai praktek keagamaan berdasar paham Ahlussunnah wal Jamaah serta membiarkan
peninggalan sejarah yang ada tetap berdiri.[34]
Konggres yang memang didominasi kaum reformis sedikitpun tidak mengakomodasi
tuntutan para pendidik pesantren. Penolakan ini mendorong mereka
memperjuangkan sendiri kepentingan mereka. Dalam rapat di Kertopaten Surabaya,
31 Januari 1926, para pendidik pesantren menyepakati pengiriman
delegasi ke Mekkah, atas nama organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU),
menggantikan Komite Hijaz.[35]
Peristiwa ini, menurut Ali Ma’shum, merupakan momentum penting
bagi terbentuknya NU sebagai lembaga pendidikan Islam dalam rangka menyampaikan
pesan-pesan ajaran agama seperti dicita-citakan.[36] Jadi, dapat
dikatakan bahwa terbentuknya NU sebagai lembaga pendidikan Islam sesungguhnya telah dimulai
sejak organisasi ini berdiri. Sebagai lembaga pendidikan, NU
berkomitmen mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran Islam berdasarkan paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dengan
berusaha antara lain memperbanyak madrasah/sekolah Islam berikut
pengawasan buku-buku pegangannya.[37] Difokuskannya
perhatian NU pada bidang pendidikan-pengajaran merupakan
konsekwensi logis dari sikap pembelaannya terhadap faham Aswajanya
dari serangan kaum muslim reformis, yang mau tidak mau menimbulkan
konsekwensi ke dalam.[38] Hal inilah
yang pada gilirannya secara perlahan mendorong NU untuk mendinamisir
doktrin keagamaannya guna menghindari kejumudan dan
merespon kemodernan.[39] Jika
kemudian NU terlibat dalam usaha pembaruan, hal itu merupakan keniscayaan agar
dirinya bisa terus survival menghadapi tuntutan dan tantangan jaman.
Dengan demikian, berdirinya NU
sebagai lembaga pendidikan terkait respon kalangan
pendidik pesantren dalam rangka memperluas fungsi lembaga pendidikan
tradisionlnya dalam menghadapi dan sekaligus menandingi
usaha pembaruan pendidikan kaum reformis yang secara gencar tengah mempromosikan
lembaga pendidikan modern menyerupai sekolah Belanda
yang sekuler, dengan jalan membuka dan mengembangkan madrasah baru dalam upaya
membebaskan umat dari belenggu kebodohan dan
keterbelakangan serta menjaga kelangusungan kepemimpinan
Islam untuk membawa agama memasuki kehidupan
modern. Pada masa-masa awal berdirinya, NU sebagai
lembaga pendidikan berwatak kota untuk memudahkannya menjalankan usaha dan program
pembaruan pendidikannya, terutama dalam mendapatkan
guru-guru mata pelajaran umum sebagai penyokong penyelenggaraan pendidikannya
di lapangan.[40] Namun, dalam
perkembangan selanjutnya, perhatian NU lebih banyak diarahkan pada pembaruan pesantren-pesantren
dan madrsah-madrasah cabang dan ranting yang banyak tersebar di daerah-daerah.
Sebelum Muktamar Solo (1935), dilaporkan sejumlah cabang di Jawa Timur dan Jawa
Tengah sudah membuka madrasah, antara lain Madiun, Ponorogo, Nganjuk, Kediri,
Pasuruan, Gresik, Malang, Bangkalan, Jember, Banyuwangi, Semarang, dan Cirebon.[41] Setahun
kemudian, beberapa cabang lain di Jawa Timur menyusul, seperti Sidoarjo, Bangil,
Tulungangung, dan Mojokerto.[42] Sejak itu NU lebih dikenal sebagai lembaga
pendidikan Islam berwatak pedesaan dengan
pesantren dan madrasah sebagai basisnya.
D. NU dan Pembaruan Pendidikan Islam
Secara etimologis, pembaruan pendidikan Islam merupakan penggabungan
dari kata pembaruan dan pendidikan Islam. Kata “pembaruan”
dalam bahasa Indonesia berarti “proses, perbuatan, cara memperbaharuai.[43] Secara
istilah kata “pembaruan” sering disamakan dengan modernisasi, oleh Lerner
diartikan sebagai proses perubahan sosial yang dengannya masyarakat kurang maju
memperoleh sifat-sifat yang umum yang terdapat pada masyarakat yang lebih maju.[44]
Modernisasi dalam konteks ini adalah lawan dari tradisionalisme, yaitu sikap
memegang teguh kepercayaan dan praktek masa lalu yang tidak boleh diubah.
Apabila orang atau masyarakat berpegang pada tradisi, dengan sendirinya mereka
menolak modernisasi. Sebaliknya kalau mereka melakukan modernisasi, mereka
harus meninggalkan tradisi karena akan menjadi penghambat modernisasi. Dengan
demikian, modernisasi selalu menyaratkan adanya sikap dan nilai-nilai modern
dan tiadanya ruang bagi nilai-nilai tradisi.[45]
Anderson mengartikan pembaruan
(modernisasi) sebagai perubahan ke arah keterbukaan pikiran, dengan ilmu
pengatahuan dan teknologi menjadi intinya.[46] Pembaruan
(modernisasi) dalam pengertian ini mengambil ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagi ukurannya. Artinya proses dan tingkat kemodernan tergantung pada proses
dan tingkat pemanfaatan ilmu dan teknologi modern, bukan nilai-nilai dan norma
kebudayaan yang melahirkannya. Atas dasar itu, pembaruan atau modernisasi
bagi Welch selalu berkaitan dengan adanya
keyakinan pada kontrol yang bersifat rasional atau ilmiah.[47] Jadi,
proses pembaruan atau modernisasi selalu beriringan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Tidak mungkin
proses pembaruan atau modernisasi terjadi tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan
teknologi.[48]
Pembaruan atau modernisasi juga
dapat diartikan sebagai purifikasi (pemurnian) dalam arti pemantapan cara-cara
hidup yang lama, terutama ketika melek huruf memungkinkan orang untuk
menghargai ajara-ajaran agama dalam bentuk yang murni, yang tidak tercampuri
takhayul.[49] Pengertian
modernisasi dengan demikian mirip dengan tajdīd,
yaitu upaya pelurusan atau memulihan ajaran agama dari campuran unsur-unsur
baru yang dianggap merugikan dan menggangu kemurniannya, untuk dikembalikan
kepada “tampilan semula” seperti dipraktekkan generasi-generasi pendahulu. Di
sini tugas para pembaharu, demikian dikatakan Amin al-Keulli, mengembalikan
praktek keberagamaan umat terdahulu (tradisionalis) dan menghidupkannya di
zaman modern dengan tetap mempertahankan metode-metode lama.[50]
Menurut
Nurcholish Madjid, pembaruan atau modernisasi dapat disamakan dengan
rasionalisasi, dalam arti proses perombakan berpikir dan tata kerja lama yang
tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja
baru yang akliah, agar lebih berdaya guna dan efisien.[51] Pembaruan
dalam konsteks ini lebih diartikan sebagai pendekatan atau cara pandang bagaimana
mempersiapkan masa depan umat manusia sebagai sesuatu yang dapat dibentuk
daripada yang diwariskan atau dianugerahkan begitu saja kepada generasi
berikutnya. Dengan demikian, pembaruan tidak dapat dipisahkan dari adanya
keharusan mengadakan inovasi-inovasi terhadap cara-cara lama yang selalu
dibarengi cara bepikir rasional, progresif, dan dinamis. Menurut Jujun S. Suria Sumantri, pembaruan
atau modernisasi sebagai upaya perubahan dalam hidup masyarakat biasanya muncul
dari dua penyebab utama. Pertama, perubahan persepsi tentang hidup dan
berkehidupan sebagai akibat peningkatan kecerdasan dan kedua, keterkaitan dan
ketergantungan umat manusia secara universal baik secara ekonomis maupun sosial
budaya.[52]
Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa pembaruan atau modernisasi
adalah suatu proses perubahan ke arah kondisi baru, yang diusahakan secara
sengaja dalam rangka peningkatan atau perbaikan kualitas sosiobudaya, dengan
cara-cara lebih rasional, efisien, dan inovatif sebagai akibat dari penggunaan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak dan beragamnya istilah dan
pengartian tentang pembaruan atau modernisasi menunjukan sifat universalitasnya,
dalam arti bukan lagi sebagai gejala Barat saja, melainkan sudah memasuki
hampir seluruh masyarakat-bangsa di dunia, yang kemudian penampakannya juga sangat
bergantung pada intepretasi, indikator, serta respon masyarakat penerimanya.
Bila istilah pembaruan atau modernisasi dikaitkan dengan pendidikan Islam,
yang dimaksudkan adalah proses perubahan ke arah kondisi baru, baik sistem
maupun kelembagaan, yang sengaja diusahakan untuk kepentingan peningkatan
kemampuannya mewujudkan tujuan dan fungsi pendidikan Islam secara lebih
rasional, efektif, dan efisien seperti yang diinginkan. Sasarannya
adalah segala aktifitas terkait pendidikan dan pengajaran
Islam, pemahaman tentangnya, dan bagaimana pengoperasiannnya, sebagai
bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Singkatnya, pendidikan Islam di sini tidak terbatas pada pengertian dan
kelembagaannya, melainkan mencakup juga sistem serta isi
pembelajarannya serta paradigma yang mendasari operasionalnya sebagai
upaya memperkuat tamadun Islam di
tengah kehidupan nasional bangsa Indonesia.
Sebagai istilah teknis, istilah “pembaruan” atau
“modernisasi” tidak dikenal dalam perbendaharanan keagamaan NU. Hal
ini mudah dipahami karena sebagai organisasi keagamaan, NU
sejak awal berdirinya memang tidak pernah menyatakan diri secara eksplisit berorientasi
pembaruan, seperti halnya Muhammadiyah dan
Al-Irsyad. Menurut Anggaran
Dasarnya, NU justru mengklaim diri sebagai organisasi keagamaan yang secara
tegas membela konservatisme agama dengan memegang teguh ajaran salah satu Mazhab Empat.[53] Pada
dasarnya NU setuju dengan pandangan kaum reformis
yang hendak memurnikan ajaran agama, tetapi NU menjalankannya dengan
berdasarkan sistem dan metodologi (kemadzhaban) yang sudah
disepakati ulama, terutama Mazhab Empat, sehingga kemurnian ajaran agama dapat
lebih terjamin. Menurut NU dengan langsung kembali
pada penggunaan Al-Qur’an-Hadis, tanpa sistem dan metodologi yang
jelas, pemurnian ajaran agama hanya akan mendatangkan anarkisme.[54] Dalam
hal ini, NU tidak sependapat dengan Muhammadiyah yang menganggap bahwa
pintu ijtihad terbuka sebebas-bebasnya; namun, hal ini tidak
berarti setiap orang harus bertaklid,[55] seperti
ditegaskan Kyai Hasyim Asy’ari, dengan pernyataannya sebagai dikutip berikut:
Tidak
seorang mukallaf orang yang sudah
terbebani ketentuan dan hukum agama]-pun yang bukan mujtahid mutlak berhak
menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi SAW….Sedangkan,
orang-orang yang mampu berijtihad adalah haram baginya bertaklid dalam
persoalan yang ia sendiri mampu berijtihad, karena hasil ijtihadnya justru akan
menjadi rujukan bagi mereka yang bertaklid.[56]
Lewat kaum mudanya, diskursus pembaruan mulai memasuki
kesadaran keberagaman NU sejak akhir 1960-an dengan
munculnya tulisan-tulisan di media massa yang coba mengungkap kemajuan
NU,[57]
dilanjutkan pada periode berikutnya dengan skope
perhatian lebih luas,
mencakup bidang pendidikan, yang intinya tentang
pentingnya keberanian dan kerelaan untuk berubah.[58] Hingga
akhir 1980-an, barulah NU secara terang-terangan menceburkan diri
dalam diskursus tajdīd (pembaruan). Hal ini
dikarenakan NU mulai merasa tidak
nyaman dengan munculnya kegairahan kalangan
intelektual Muslim muda yang ingin menghidupkan kembali semangat
tajdīd di tanah
air melalui penggunaan beberapa istilah yang cukup meresahkan
umat, seperti desakralisasi, sekularisasi, pribumisasi, reaktualisasi, dan
lain-lain.[59] Melalui
Musyawarah Nasional (Munas) Alim-Ulama Cilacap, pertengahan Nopember, 1987,
Rais ‘Ām NU Kyai Ahmad Siddiq berusaha menjelaskan arti, scope,
batas-batas, dan
rambu-rambu yang harus diperhatikan terkait tajdīd (pembaruan) dalam
Islam, khususnya ulama NU.[60]
Dari sinilah, gagasan pembaruan NU terus
bergulir, dan mulai mendapat tempat dan apresiasi. Sebulan kemudian, pembahasan
masalah tajdīd (pembaruan)
dalam NU digelar lebih serius lagi dalam sebuah seminar yang diselenggaraan NU
Jawa Timur dan Universitas Islam Malang, 13 Desember 1988. Dalam sebuah artikel
berjudul “Pokok-Pokok Pikiran tentang Tajdid”, Kyai Ahmad Shiddik kembali menegaskan bahwa tajdīd atau “pembaruan”
dalam NU adalah sebagai upaya
menjadikan agama Islam senantiasa kembali kepada kefitriannya yang bersih,
jernih, dan lurus, setiap kali terjadi kekeruhan-kekeruhan dan penyimpangan,
sehingga dengan kondisi seperti
itu, agama Islam dapat diterapkan untuk menghadapi perkembangan jaman yang
selalu berubah.[61] Menurutnya, dalam paham
Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang dipegangi NU sebenarnya terdapat kesediaan
untuk terus memperbaiki dan menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan
baru, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran dasar agama.[62]
Bak bola salju yang terus menggelinding, sejak itu
diskursus pembaruan (tajdīd) dalam NU semakin besar gaungnya. Pada
dekade 1990-an, kaum muda NU mengambil alih diskursus tersebut dengan
menggunakan istilah “transformasi”. Lewan jargon-jargon yang diusung,[63] mereka berusaha mempertanyakan doktrin Aswaja yang selama ini dianggap final
agar ditinjau kembali.[64] Menurut
mereka, di dalamnya secara inherent terkandung kesediaan untuk terus melakukan
koreksi diri agar senantiasa dapat menangkap dinamika zaman. Karena itu,
peluang untuk memaknainya kembali dan aktualisasinya terbuka
lebar, dan usaha itu oleh mereka disebutnya sama dengan tajdīd.[65] Sejauh mana pemaknaan dan pengadopsian tajdīd (pembaruan) dalam NU
sampai sekarang masih ditunggu hasilnya. Namun sebagai
patokan, diperoleh gambaran bahwa berlandaskan diktum al-muhāfazah ‘alā
al-qadīm al-şāih wa al-akhdhu bi al-jadīd al-aşlāh, sesungguhnya NU memberi
ruang-gerak yang cukup luas bagi terwujudnya tajdīd (pembaruan) di
dalamnya, sepanjang tidak mengubah hal-hal yang qath’i (sudah di atur Allah).[66]
Ditegaskan bahwa dimaksud tajdīd (pembaruan)
dalam NU tidak lain adalah sebagai “pemulihan menjadi seperti semula, ketika
masih baru; dan tidak boleh diartikan “menggantinya dengan
yang baru”,[67] serta selalu berpegang pada sistem dan metodologi kebermazhaban
yang sudah baku.
Yang ditekankan dalam tajdīd (pembaruan) bagi NU adalah fungsinya, mencakup tiga hal. Pertama al-i’ādah, yaitu pemulihan
ajaran Islam, dalam arti dipisahkan atau dibersikannya dari campuran
unsur-unsur yang merugikan dan mengganggu kemurnian dan kesempurnaannya. Kedua al-ibānah,
yaitu membedakan yang sunnah dari yang bid’ah secara cermat oleh ahlinya. Dan
ketiga al-ihyā, yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari ajaran
Islam yang pengalamannya terbengkalai atau terhenti.[68] Yang menjadi persoalan adalah apa yang harus dilakukan NU jika
menghadapi realitas yang tidak sesuai dengan doktrin? Dalam hal ini, ia membuka
diri untuk melakukan reintepretasi (penafsiran kembali) terhadap sistem
kebermazhabannya, dengan mengembangkan sebuah metode yang dinamis, dengan cara
mencari titik temu antara otoritas wahyu dengan rasio (al-naqlu wa al-’aqlu), di samping juga mempertemukan
nash-nash yang tersurat (zahīr al-nuşuş) dengan realitas yang ada. Jadi,
dimaksud tajdīd (pembaruan) bagi NU
bukan sekedar ”purifikasi”, tetapi juga “dinamisasi” paham ajaran
Islam.[69]
Skopenya mencakup bidang apa saja, selagi masuk akal (ma’qūl li al-ma’nā), dan tidak terbatas hanya pada bidang
keagamaan, tetapi juga masalah-masalah duniawiah lainnya, seperti politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.[70]
Dalam masalah pendidikan, pembahruan (tajdīd) dalam NU
sebagai upaya perbaikan guna meningkatkan kualitas pelayanan
sehingga menghasilkan kualitas outputs
lebih baik daripada sebelumnya, sebenarnya sudah lama dilakukan para pendidik
(ulama) NU. Sebagai contoh, dalam pemahaman ajaran agama
terkait pendidikan dapat dikemukakan antara lain dalam soal hijab. Semula kata hijab di kalangan pendidik NU dipahami sebagai
tabir bersifat fisik yang menyekat antara kedua tempat lelaki dan wanita,
sehingga berakibat munculnya madrasah khusus laki-laki (banīn) dan madrasah khusus wanita (banāt) secara terpisah. Tetapi pemahaman
baru membawakan arti pemisah (hā’il)
tanpa adanya tabir fisik, diwujudkan dalam bentuk pembuatan jarak
antara dua bangku atau tempat duduk. Pemahaman ini muncul dari kebutuhan menyediakan
tempat terpisah antara siswa dan siswi dalam sebuah ruangan kelas yang sama (sistem
co-edukasi).
Bertolak dari dasar-dasar keagamaan yang
kuat, usaha pembaruan pendidikan NU terus bergulir, seperti
diperlihatkan dalam serangakaian ide-ide dan usaha pembaruannya, yang kemudian
menghasilkan sebuah format pendidikan keagamaan (Islam) baru berciri
umum, bernama madrasah, tanpa harus meninggalkan watak tradisionalitasnya yang
sudah lama hidup dalam serta menghidupi umat Islam
Indonesia, khususnya Jawa. Pembaruan pendidikan NU merupakan wujud nyata dari
sikap keterbukaanya terhadap perubahan akan pentingnya kemajuan, yang pada
gilirannya mampu menjadi tenaga penggerak bagi perbaikan kondisi kehidupan
umat, masyarakat-bangsa secara keseluruhan.[71]
Dari penjelasan di atas kalangan NU tampaknya lebih
menyukai penggunaan istilah “dinamisasi”
daripada tajdīd (pembahruan), karena selain
faktor psikologis, istilah “dinamisasi” bagi mereka cakupannya
lebih luas, mengandung dua proses yang saling
terkait, yaitu penghidupan kembali
nilai-nilai lama yang posistif, di samping penggantian
nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang lebih baik dan sempurna.
Jadi, makna modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam istilah
“dinamisasi”, yang berarti “perubahan ke arah penyempurnaan
keadaan.[72] Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa antara NU dengan kaum reformis sesungguhnya tidak ada perbedaan
prinsipil dalam hal perlunya pembaruan (modernisasi), terutama bidang
pendidikan, karena hal itu memang merupakan keniscayaan yang tidak dapat
dihindarkan.[73] Antara keduanya bahkan terdapat
titik temu. Yang membuat keduanya tampak berbeda adalah dalam hal penggunaan
metodenya. Menurut kaum reformis, karena penolakannya terhadap
sejarah (umat), pembaruan (modernisasi) dalam
Islam harus dilakukan dengan cara pemutusan akar tradisi. Karen itu, pembaruan
(modernisasi) harus berangkat dari ide menciptakan suatu dari titik
nol atau sama sekali baru.[74]
Sebaliknya bagi NU, karena pandangannya yang positif
terhadap sejarah (umat), pembaruan (modernisasi)
dilakukannya dengan tetap berpijak pada tradisi yang ada, yang
secara konkret hidup dalam dan menghidupi umat sebagai fondasi
penopangnya.[75]
Dalam bidang pendidikan, pendekatan NU diperlihatkan secara jelas dalam pembaruan
sistem dan kelembagaan pendidikannya lewat penggunaan
pembelajaran madrasah sebagai subsistem pendidikan
pesantrennya, lewat mana kebaikan-kebaikan
pendidikan tradisional dipadu-kembangkan dengan
kebaikan-kebaikan pendidikan modern, tanpa harus menggusur keberadaan lembaga
induknya pesantren. Singkatnya [dengan pendekatan
gradualnya], pembaruan (tajdīd) dilancarkan
NU, tidak dengan berusaha menghapus tradisi, tetapi dengan
memperbaikinya unsur-unsur yang dianggap lemah dan kadaluwarsa serta memperlengkapinya dengan
unsur-unsur baru yang lebih baik. Di sini penting untuk menggaris bawahi
apa yang dikatakan Dawam Rahardjo, mantan Direktur LP3ES, mengatakan bahwa
kelahiran NU tidak lain merupakan langkah pembaruan terhadap aspirasi dan
realitas sosial masyarakat Islam ketika itu.[76]
Jelaslah bahwa NU, meski sering dituduh konservatif,[77] tidak berarti anti-pembaruan
(modernisasi), melainkan justru mendorongnya, tidak saja dalam lapangan pendidikan dan sosial-budaya, tetapi juga
dalam keagamaan lainnya. Semua ini tidak
dapat dilepaskan dari faktor inherent dalam
ajaran keagamaan paham Aswaja yang dipegangi, seperti sudah
dijelaskan di muka. Terkait pembaruan NU ini,
penting untuk mengingat kembali pernyataan Steenbrink
bahwa semua istilah menyangkut modernis dan konservatif
harus diterima dalam arti tertentu saja. Sebab bisa jadi sebuah organisasi yang
dalam ibadah bersifat taqlid,[78]
tetapi dalam bidang (politik) diniawi
sangat progresif dan terbuka.[79] Ide dan
usaha pembaruan tidak selalu diikuti oleh munculnya organisasi reformasi.
Sebaliknya, pembaruan dapat muncul dalam kelompok
keagamaan apa saja, tanpa harus menunggu munculnya
beberapa eksponen pembaharu dalam paham-pahamnya. Kasus pembaruan NU ini dengan
sendirinya membuktikan adanya fakta bahwa proses pembaruan ternyata tidak
selalu diikuti oleh munculnya organisasi reformasi. Jadi, tidak ada yang
kontradiktif dengan sikap penerimaan pembaruan
dengan paham konservatif kemadzhaban NU, karena di dalamnya secara inherent terdapat dorongan untuk
melakukan hal itu.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya hadirnya tokoh-tokoh
penting (ulama) di lingkungan NU berpikiran progresif, seperti Kyai Hasyim
Asy’ari, Kyai Wahid Hasyim, Kyai Syaifuddin Zuhri, dan Kyai Hasyim Latief, untuk
menyebutkan beberapa, memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi dinamisme pendidikan
NU secara keseluruhan. Berbeda dengan kebanyakan ulama (tokoh agama) di dunia
Islam,[80] mereka
adalah pendidik sekaligus ulama independen, yang secara pribadi sepak terjang mereka
di lapangan pemikiaran keagamaan umumnya dan pendidikan khususnya, telah memperlihatkan
perhatian yang sangat besar bagi kemajuan pendidikan umat dengan terobosan
masing-masing. “Budaya terobosan” ini, seperti
dikatakan Abdurrahman Wahid, terbukti sangat ampuh untuk
menembus budaya status quo dalam
tubuh organisasi seperti NU yang sistem pengambilan
keputusannya sangat kuat berdasarkan
konsensus. “Budaya terobosan” ini pula telah
mendorong kalangan pendidik NU semakin toleransi terhadap berbagai
bentuk inovasi, yang pada gilirannya juga memudahkan mereka menerima pembaruan.[81] Kyai
Hasyim dengan Madrasah Salafiyahnya di lingkungan pesantren Tebuirengnya, Kyai
Wahid dengan Madrasah Nizamiyahnya, Kyai Syaifuddin Zuhri dengan HIS-nya, Kyai
Hasyim Latief dengan madrasah dan sekolahnya.
Sebagai pemimpin organisasi dan sekaligus pendidik,
pengaruh mereka sangat besar dalam pembentukan dan penerimaan sikap, dalam hal
ini kemodernan di lapangan pendidikan, di kalangan para pengikut maupun murid-murid
(santri)-nya. Dalam psikologi sosial, kejadian seperti ini merupakan hal biasa.
Penerimaan dan keserupaan sikap tokoh-tokoh panutan seringkali semata-mata didasari
kepercayaan yang mendalam atau pengalaman bahwa para tokoh panutan tersebut
selalu dapat berpendapat atau bersikap yang tepat dalam segala situasi. Apabila
terjadi kebimbangan dalam bersikap, biasanya peniruan sikap atasan atau tokoh
panutan merupakan jalan yang dianggap terbaik. Bahkan kadang-kadang peniruan
sikap atasan atau tokoh panutan tersebut terjadi tanpa disadari oleh
individu-individu dan dibentuk oleh kharisma atau otoritas mereka.[82]
Dalam budaya NU, kharisma atau otoritas guru sangat menonjol dalam pembentukan sikap
semacam itu.
E. Aspek-Aspek
yang Dipembarui
Seperti sudah disebut di atas,
sebelum ada usaha pembaruan, pendidikan Islam awal, terutama di pedalaman Jawa,
pada umumnya diselenggarakan dengan cara sangat sederhana, baik dalam bentuk pesantren
lama maupun madrasah diniyah atau Sekolah Arab, yang dari segi sistem dan
kelembagaannya dianggap tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan perubahan
jaman. Dengan bertahap dan tetap menjaga kontinuitas tradisi, NU melalui Bagian
Ma’arifnya, memulai usaha pembaruan pendidikannya sejak awal 1930-an, melalui
serangkaian koreksi dan inovasi agar pendidikan Islam dapat memainkan fungsi sosialnya
secara maksimal. Aspek-aspek yang sifatnya substansial mendapatkan
perhatian tanpa mengabaikan aspek-aspek yang bersifat teknis-metodik.[83] Antara lain yang paling mendasar adalah menyangkut teologi pendidikannya, yang lebih menekankan penggunaan konsep
“manusia dinamis”-nya al-Maturidi menggantikan konsep “manusia fatalis”
Al-Asy’ari. Dimaksud manusia dinamis di sini adalah manusia yang dalam sikapnya rasional, bertanggung
jawab, selalu berprakarsa dan melakukan ikhtiar; bergerak ke depan, berubah dan
berkembang menuju ke tingkat yang lebih sempurna (kamīl).[84] Citra manusia dinamis ditandai
dengan prestasinya yang bermakna dan berguna, baik bagi dirinya sendiri maupun
orang lain serta lingkungannya, dari waktu ke waktu, selama proses menuju kamil. Jumlah total dari prestasi
tersebut akan menunjukkan tingkat kesempurnaan sebagai manusia. Jadi, manusia dinamis identik dengan maju, dalam arti tidak bisa menerima
kondisi stagnan (humūl) atau mandeg (jumūd), dan senantisa berorientasi ke depan
(optimisme).[85]
Bertolak
dari sini, pembaruan dilanjutkan dengan mengadakan semacam apa yang disebut
Tilaar dengan reaktualisasi dan reposisi[86] agar lembaga
pendidikan Islam dapat menjalankan fungsinya secara maksimal dalam rangka
pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Reaktualisasi adalah upaya
menghidupkan dan menggerakkan kembali nilai-nilai positif yang sejak dulu
dimiliki lembaga pendidikan Islam, dan cocok dengan kondisi modern, sambil
membenahi kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya, dengan mengikut-sertakan
partisipasi masyarakat secara optimal dalam penyelenggaraannya. Sedangkan, reposisi
dimaksudkan sebagai upaya mengatur atau merumuskan kembali posisi lembaga
pendidikan Islam bukan sekedar sebagai lembaga pengajaran ilmu-ilmu agama (tafaqquh fī al-dīn), tetapi sekaligus
juga berbagai ilmu pengetahuan umum dan keterampilan (teknologi), serta sebagai
lembaga pendidikan pribumi (Islam) yang mementingkan tegaknya nilai-nilai demokrasi,
toleransi, pluralisme, moral budi pekerti; memperkuat iman-takwa, dan memupuk
kerja sama dan tolong menolong antar sesama komponen bangsa dalam suasana
kompetisi menghadapi tuntutan kehidupan modern.
Untuk maksud ini, NU harus mengadakan perombakan
paradigma penyelenggaraan pendidikannya yang lebih berorientasi pada mutu tanpa
harus meninggalkan segi kuantitasnya mengingat sebagian besar pendukungnya berada
di daerah pedalaman, yang tidak atau belum terjangkau pelayanan pendidikan
pemerintah. Implikasinya NU perlu mengusahakan sistem dan kelembagaan
pendidikan yang lebih teratur dan lengkap, tidak saja dalam bentuk madrasah tetapi juga sekolah seperti yang
diselenggarakan pemerintah, yang disusun secara berjenjang dari tingkat rendah hingga
lebih tinggi, dan terbuka untuk kaum wanita dalam sistem ko-edukasi, dengan tetap
menghidupkan kelembagaan pesantren sebagai payung besarnya.
NU juga mengupayakan koreksi metode yang
selama ini digunakan di madrasah madrasah pesantrennya dengan memperkenalkan metode
pembelajaran baru yang lebih terorganisir dan memperhatikan segi-segi
perkembangan jasmani-rohani siswa serta relevansinya dengan kebutuhan hidup
kongkret di masyarakat yang segala sesuatunya bisa dikontrol sehingga outputnya dapat diprediksi secara
rasional, dalam rangka melengkapi dan menyempurnakan sistem kelembagaan
pendidikan tradisional (pesantren) yang ada. Untuk tujuan ini, beberapa aspek penyelenggaraan pendidikan modern
dimasukkan, antara lain standarisasi kurikulum bercorak campuran, pengorganisasian pembelajaran yang
berorientasi mutu, dan rekruitmen guru berdasarkan keahlian. Dalam proses ini
sudah pasti sejumlah unsur lama yang positif dipertahankan untuk beroperasi
secara bersama dengan unsur-unsur baru yang ditambahkan sehingga menghasilkan
sebuah format sistem-kelembagaan pendidikan (Islam) baru yang khas, di mana
pesantren tetap menjadi induknya.
Corak pembaruan pendidikan NU seperti
inilah yang secara tegas membedakannya dengan pembaruan pendidikan dari
kalangan muslim reformis, yang menyebabkan terkikisnya tradisi lokal, karena
kecenderungan mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan dari luar secara
berlebihan. Pembaruan pendidikan NU adalah cermin kemoderenan para pendidik pesantren yang
berusaha membawa warganya
kepada cara
pandang baru di lapangan
pendidikan, sebagai sarana maksimalisasi aktifitas pendidikan
pengajaran Islam di kurun modern, guna melengkapi sistem-kelembagaan pendidikan
tradisional (pesantren) yang
ada, karena telah mengalami pelapukan akibat dimakan usia. Hal ini pada
gilirannya terbukti menjadi tenaga penggerak bagi perbaikan mutu
penyelenggaraan pendidikan masyarakat bawah dalam rangka memasuki kemajuan dan
turut mengisi serta memperkaya sistem pendidikan nasional.[87]
F. Kontribusi
Keputusan NU
menyelengarakan program pendidikan modern, seperti dilakukan pemerintah, didasari
alasan, di samping demi legitimasi para lulusannya di masyarakat, juga
kesadarannya akan peran yang harus dimainkan dalam memberikan peluang yang sama
bagi kemajuan seluruh anggota masyarakat, tanpa perlu memberikan sekat-sekat
yang bersifat formal.[88]
Artinya, keberadaan pendidikan NU tidak boleh bersifat eksklusif seperti pada
masa kolonial, tetapi harus terintegrasi dalam sistem pendidikan nasilonal,
tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam berpaham Ahlusunnah wal Jamaah, atau yang lebih dikenal dengan Islam
mazhab “jalan tengah” (moderat).[89] Bahwa
lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU pada umumnya masih serba
kekurangan tidak bisa dibantah mengingat berbagai keterbatasan menyangkut dana
dan kemampuan sumberdaya pendidikan serta ketersediaan pemimpin yang visioner.
Namun secara umum kontribusi mereka tidak bisa diremehkan dalam proses
kebangunan dan pembangunan umat (Islam) di tanah air, terutama setelah
kemerdekaan.
Salah satu
sumbangan terpenting pembaruan pendidikan NU adalah usaha reorientasi tujuan
pendidikan di lingkungan pesantren dan lembaga pendidikan turunannya –madrasah-
yang terlalu berorientasi mengejar kehidupan moral-spiritual melalui pengajaran
ilmu-ilmu agama an sich demi
kebeahagiaan di kehidupan akherat nanti.[90]
Tujuan pendidikan seperti ini diubah NU dengan menegaskan pentingnya tujuan
yang berorientasi duniawi dan ukhrawi secara bersamaan dengan memasukkan
pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan, di samping ilmu-ilmu
agama, dalam kurikulum madrasah. Melalui penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan umum
dan ilmu-ilmu agama serta ketrampilan diharapkan murid-murid madrasah memiliki
kesiapan dan kemampuan berkompetisi dalam menghadapi kehidupan nyata di
masyarakat selepas belajar nanti.[91]
Dengan demikian,
sasaran pembaruan pendidikan NU adalah perubahan mindset kalangan pendidik serta masyarakat pesantren untuk
berpandangan lebih realistis dan “membumi” dalam mengoperasikan lembaga
pendidikannya dengan memberikan perhatian seimbang antara kewajiban memenuhi
kebutuhan ukhrawi dengan duniawi dalam satu
kesatuan utuh yang tidak terpisahkan.[92] Mereka disadarkan bahwa penyelenggaraan pendidikan sejatinya harus
bertolak dari kebutuhan-kebutuhan nyata dalam kehidupan di masyarakat dengan
selalu memperhitungkan ketersediaan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam
sebaga karunia dan amanat Allah SWT. Tak kalah pentingnya, pendidikan juga
harus mampu membawa anak didik ke arah kemandirian, dalam arti bukan sekedar
mampu berusaha sendiri, tetapi juga memberikan penghidupan kepada orang lain.[93] Penerimaan yang demikian
meluas di kalangan pendidik dan masyarakat pesantren akan sistem-kelembagaan
pendidikan modern seperti dicanangkan pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan
usaha dan program pembaruan pendidikan NU, lewat pribadi-pribadi tokohnya, yang
sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka.[94]
Perubahan mindset
di kalangan pendidik pesantren yang digalang NU seperti ini pada gilirannya memberikan
sumbangan berharga lainnya bagi perkembangan pendidikan Islam di tanah air,
khususnya madrasah yang kebanyakan beroperasi di lingkungan (kultur) pesantren,
untuk selanjutnya berintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional dalam
menghadapi tantangan moderntas yang semakin kompleks. Seperti diketahui,
operasional madrasah pada masa-masa awal sangat ekseklusif satu sama lain, dalam
arti tidak saja dalam penggunaan nama,
tetapi juga dalam hal orientasi penyelenggaraannya, penjenjangannya, penggunaan
kurikulumnya, dan durasi programnya yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan
antara lain tidakadanya lembaga atau institusi yang mengorganisir mereka.[95]
Bersama NU berarti terbukanya jalan bagi penyatuan gerak langkah sebagai salah
satu kekuatan terpenting dalam upaya mewujudkan masyarakat sipil yang beradab dan
kuat. Keberadaan masyarakat sipil seperti ini terbukti sangat berguna dalam menjaga
dan memperkuat harmoni kehidupan masyarakat serta ketahanan nasional bangsa yang
berakar pada kebudayaan sendiri yang pluralistis. Sebaliknya, absennya masyarakat
sipil yang demikian memudahkan ketahanan nasional terkoyak, seperti tengah
disaksikan kaum muslim di Timur Tengah.[96]
Hingga dewasa
ini NU menyelenggarakan program pendidikan formal berciri agama dan
umum/kejuruan, mirip yang diselenggarakan pemerintah, dari tingkat pra-sekolah
hingga perguruan tinggi, dalam naungan
sistem dan kelembagaan pesantren yang merupakan warisan kultural kaum muslim
(pribumi) tanah air. Jangkauan operasionalnya mencakup hampir ke seluruh
wilayah Indonesia, dengan Jawa Timur sebagai sentranya, diikuti DIY Yogyakarta,
pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, Lampung, dan Sulawesi Selatan, menggunakan
label “Maarif/NU” maupun nama-nama inqognito
lainnya.[97] Jumlah
mereka mencapai ribuan,[98]
kebanyakan beroperasi di daerah pedesaan dan bahkan hingga pedalaman pemukiman
transmigran yang jauh dari jangkauan madrasah/sekolah negeri, dengan murid lebih
dari 85% berasal dari keluarga petani kurang mampu secara ekonomi. Ini berarti
bahwa pendidikan NU sebagai sub-sistem pendidikan nasional pada dasarnya tidak
mengandung perbedaan prinsipil dengan tujuan pendidikan nasional, kecuali dalam
penekanannya pada penanaman paham Islam
Agian Ma’arifhlussunnah wal Jamaah.
Artinya pendidikan NU secara langsung telah turut serta dalam proses transformasi
kehidupan bangsa dalam membawa perubahan dan kemajuan hidup generasi muslim,
terutama dari kalangan petani pedesaan yang merupakan bagian terbesar dari
penduduk negeri ini: dari kondisi yang sering dikatakan ndeso dan jumud ke arah kehidupan mainstream
saat ini, yaitu kondisi hidup secara modern pada umumnya, dengan sub-kultur
tersendiri, yang tidak mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan gaya hidup dari
luar.[99] Singkatnya,
pembaruan pendidikan NU telah memperkenalkan dan membawa mereka kepada kemodernan
dengan tetap mengedepankan kultur kepribumian mereka sebagai Muslim sehingga
memudahkan mereka menghadapi dan
beradaptasi dengan dinamisme kehidupan berbangsa dan bernegara secara tepat dan
cepat.
G. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat pembaruan (tajdīd) NU di bidang pendidikan adalah identik dengan dinamisasi
dalam arti “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan, lebih
difokuskan pada aspek-aspek yang bersifat substansial dalam rangka reposisi dan
reaktualisasi fungsi sosialnya di era modern. Reposisi dimaksudkan sebagai
usaha menempatkan kembali sistem kelembagaan tradisionalnya, khususnya
pesantren dan madrasah, agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan baru di
bidang pendidikan, melalui koreksi dan rehabilitasi atas unsur-unsur kelembagaan
lamanya yang dianggap usang serta inovasi dengan memasukkan unsur-unsur (yang
sama sekali) baru, agar mampu menjalankan fungsi sosialnya secara optimal. Dimaksud
reaktualisasi adalah upaya mengaktifkan kembali ajaran Islam dan prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam klasik
yang hampir terlupakan, yang sebenarnya masih tetap bisa dipedomani karena
universalitas nilai-nilai di dalamnya. Bertolak dari tradisi, pembaruan (tajdīd) pendidikan NU sebenarnya identik
dengan dinamisasi, dalam arti “perubahan ke arah penyempurnaan
keadaan. Dengan demikian, pembaruan pendidikan
dalam konteks NU tidak semata-mata hanya mengadopsi
unsur-unsur baru sebagai akibat penggunaan ilmu pengetahuan-teknologi,
tetapi juga reaktualisasi atau revitalisasi kekayaan tradisi pendidikan
Islam sendiri, karena universalitas isi kandungannya, untuk
diterapkan kembali di era modern. Semua ini tidak dapat dilepaskan
dari peran sentra yang dimainkan para pendidik (ulama) pesantren yang
independen dan berpikiran progresif sehingga faham konservatif-kemadzhaban yang
dipegangi NU tidak menjadi penghalang dan bahkan sebagai pendorong terjadinya
pembaruan pendidikan di dalamnya. Pendekatan seperti inilah yang membedakan
pembaruan pendidikan NU dengan usaha serupa yang dilakukan golongan reformis,
karena kecenderungan mereka mengadopsi unsur-unsur baru dari luar secara
berlebihan. Model sistem-kelembagaan pendidikan Islam ala NU yang tetap bertumpu
pada tradisi terbukti telah memberikan kontribusi penting tidak hanya dalam
memperkaya sistem pendidikan nasional, tetapi juga dalam menyediakan pilar yang
kokoh untuk menyangga dan memperkokoh kebudayaan dan ketahanan kehidupan
berbangsa-bernegara secara keseluruhan.
[1]
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 13-14.
[2] Ibid,
hal. 16.
[3] A.
Mukti Ali, “Al-Zarnuji dan Imam Zarkasyi dalam Metodologi Pendidikan Agama
Suatu Pembahasan Perbandingan
tentang Metodologi Pendidikan Agama pada Abad Pertengahan dan di Pondok Modern
Gontor”, dalam Amir Hamzah Wiryosukarto, dkk., Biografi KH. Imam Zarkasyi di
Mata Umat, (Ponorogo: Gontor Press, 1996) hal. 905-906.
[4]
Mengenai metode campuran ini, dapat dibaca antara lain Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1993), khususnya
hal. 50-53; Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Terj. Mestika Zed dan
Zulfami, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), khususnya hal.20-30; dan Robert C. Bogdan dan Sari Knopp
Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and
Method, (Boston, Allyn and Bacon, Inc., 1986) hal. 31-32.
[5]
Peter Caray dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa di depan
rombongan dosen IAIN di Universitas Oxford Inggris pada 10 april 1979 menemukan
lebih dari 150 orang kyai dan haji yang
turut berperang bersama Diponegoro. Padahal sebelumnya hubungan antara santri dan kraton tidak begitu baik.
Baca Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek
tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
hal. 30.
[6]
Karel A. Steenbrink, Kawan dalam
Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942),
(Bandung: Mizan, 1995) hal. 106-120.
[8]
Karel A. Steenbrink, Kawan dalam
Pertikaian, hal. 120-126.
[9] H.
Aqib Suminto, Politik Islam, hal.
184.
[10] Mahrus As’ad, “Pembaruan pendidikan Islam
K.H. Hasyim Asy’ari”, Tsaqafah Jurnal
Peradaban Islam, Vol. 8 Nomor 1, April 2012, hal. 112-114.
[11] Mahrus As’ad, “Pembaruan pendidikan Islam
K.H. Hasyim Asy’ari”, Tsaqafah Jurnal Peradaban
Islam, Vol. 8 Nomor 1, April 2012, hal. 112-114.
[13] KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna
Awak sampai nDandakna Bangsa: sebuah Kesaksian”, dalam Marzuki Wahid,
dkk., Geger di Republik NU: Perebutan Wacana, Tafsir Sejarah, Tafsir Makna (Jakarta: Kompas-Lakpesdam NU, 1999)
hal. 307-308.
[14]
Ruth T. McVey, “Taman Siswa and The Indonesian National Awakening”, Indonesia,
Vol. I (April), 1967, hal. 133.
[15]Azyumardi Azra, “Pembaruan
Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar” dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI,
1997/1998) hal. 2.
[16]
KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna Awak ...”, hal. 307.
[17]
Clifford Geertz, “Modernization ...”, hal.
100-101.
[18]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1988) hal. 95.
[20] KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna Awak …, hal. 307-308.
[22]
KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna
Awak …, hal. 307-308.
[23]
Clifford Geertz, “Modernization ...”,
hal. 101
[24]
Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), hal. 13-14.
[25] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia:
Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1994) hal. 41.
[26] Cabang-cabang Nahdlatul Wathan sebagian tetap
menggunakan namanya; sebagiannya lagi menggunakan nama lain, seperti Far’ul
Wathan, Hidayatul Wathan, Khitabul Wathan, dan lain-lain. Aboebakar, Sedjarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim dan
Karangan Tersiar, (Jakarta :
Panitia Peringatan Alm. K.H. A. Wahid
Hasjim, 1957) hal. 469-473.
[27]
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama …,
hal. 45.
[28]
Choirul Anam, Pertumbuhan …, hal. 27.
[29] Syubbānul Wathan (Pemuda Tanah Air) adalah
sebuah organisasi pemuda, dibentuk pada 1924, atas inisiatip Kyai Wahab,
berasal dari sebuah kursus agama, yang melaluinya 65 guru dan ulama muda diberi
pengarahan tiga kali seminggu di madrasah Nahdlatul Wathan, guna membahas
masalah hukum agama, program dakwah, peningkatan pengetahuan para anggotanya,
dan sebagainya. Saifuddin Zuhri, K.H. Wahab Hasbullah, (Jakarta: Yamunu, 1972) hal. 24.
[30]
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama…, hal.
120.
[31] Ibid,
hal. 57-59.
[32]
Tentang pandangan dan sikap keras Abdul Wahab menghadapi segala pendirian yang
tidak sejalan dengan mereka, baca Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terjemahan Helmi Mustofa,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006).
[33]
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama…, hal.
57.
[34] Ibid.
[35] M. Fajrul Falaakh, “Jam’iyah Nahdlatul
Ulama: Kini, Lampau dan Datang”, dalam Ellyasa KH. Dharwis, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil,
(Yogyakarta: LKiS, 1997) hal. 177.
[36]
K.H. Ali Ma’shum, “Amanat Rois Aam PBNU”, Disampaikan pada Musyawarah Kerja LP.
Ma’arif NU se-Indonesia di Jakarta ,
9 April 1983 . PP.
LP. Ma’arif, Laporan Musyawarah Kerja
Lembaga Pendidikan. Ma’arif, dii Jakarta 8-11 April 1983, Jakarta , PP. LP. Ma’arif, 1983.
[37] Statuten
Perkompoelan Nahdlatoel Oelama, Pasal 3.
[38] M. Dawam Rahardjo, “NU
dalam Perspektif Gerakan Sosial Keagamaan”, Makalah disampaikan dalam Sarasehan Pendidikan dan
Rapat Kerja Terbatas LP. Ma’arif
NU di Jakarta, 6-7 Maret 1996.
[39]
Sulthan Fatoni, dkk., “NU”: Ideology Politics and the Formation of Khaira
Ummah”, (Jakarta :
LP. Ma’arif, 2003) hal. 60; Slamet Effendy Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU,
(Jakarta: Radjawali, 1983) hal. 34
[43] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997) Edisi Kedua, hal.
95.
[44]
Daniel Lerner, “Modernization” dalam David
A. Sills, International Encyclopedia of the Social Sciences, (New
York: Crowell Collier and Macmillan, 1968) Vol. 9-10, hal. 386.
[46] Lihat C. Arnold Anderson, “Modernisasi
Pendidikan” dalam Myron Weiner, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan,
(Yogyakarta: UGM Press, 1977) hal. 61.
[47]
Lihat Claude E. Welch, Jr, Political Modernization, A Reader in Comparative
Political Change, (California: Wadsworth, 1967) hal. 4.
[48] Abuddin Nata, dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa,
2005) hal. 105.
[50] Amin al-Kulli, Al-Mujaddidūn fi al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2003) hal.36.
[51]
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
1988) hal. 172.
[52]Jujun S. Suria Sumantri, “Pembangunan Sosial Budaya
Secara Terpadu”, Suara Karya, 6 Agust. 1985.
[53] Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama
Pasal 2.
[55] Ahmad Mansur Suryanegara, “Gerak Langkah
Jam’iyah dan Partai Politik Nahdlatul Ulama, Panji Masyarakat, No. 366, 1981, hal. 43.
[56]
KH. Abdul Muchith Muzadi, Apa dan Bagaimana
Nahdlatul Ulama? (Jember: PCNU, 2003) hal. 127.
[57] Lihat salah satunya
tulisan Al-Anshori berjudul “Bedanya Modernisasi dan Modulasi dalam NU”, dibuat untuk menyambut Muktamar NU ke-24 di Bandung, dalam tiga kali
terbitan secara bersambung. Duta
Masjarakat, 28, 29, dan 30 Juni 1967.
[58] Farida Mawardi, “Mencari Pola dan
Strategi Pengembangan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Ma’arif”, Disampaikan
dalam Raker Terbatas PBNU Bagian Ma’arif,
di Jakarta, 4-6 Mei 1978.
[59] Lihat artikel “Tadjid Menurut Pandangan NU”
dalam Aula Januari 1988, hal. 6-17.
[63] Lihat Chatibul Umam
Wiranu (Peny.), Membaca Ulang Aswaja dan
Upaya Transformasi PMII, (Jakarta: PB. PMII, 1997)
[64] A. Muhaimin Iskandar, “Prolog: PMII
sedang Menantang Resiko?”, dalam Chatibul Umam Wiranu (Peny.), Membaca Ulang …, hal. vii.
[65]
Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU:
Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: eLSAS, 2004) hal. 99.
[66]KH. Ahmad Siddiq, “Pokok-Pokok Pikiran
tentang Tajdid”, Aula Januari 1988,
hal. 10 dan 15.
[71] LP. Ma’arif, Konsep Kebijakan Umum L.P. Ma’aruf
NahdlatulUlama Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: LP. Ma’arif Pusat, 1991).
[76] Menurutnya, ada beberapa hal yang
menunjukkan “gerak maju” dengan lahirnya NU. Pertama, masyarakat Islam yang
ketika itu relatif tertutup, dengan lahirnya NU, telah berhasil membuka
komunikasi dengan dunia luar serta mampu menciptakan antisipasi terhadap
masalah-masalah nasional maupun internasional. Kedua, dengan ciri pendekatannya
yang luwes, NU berhasil mendorong terjadinya proses pembaruan dalam usaha-usaha
pendidikan Islam melalui pengaruh para kyai. Ketiga, karena NU lahir dari realitas
sosial yang ada, dengan sendirinya NU telah memberikan andilnya yang sangat
besar terhadap usaha perawatan dan pengembangan nilai-nilai nasional dan
warisan budaya bangsa. Keempat, dengan berpedoman kepada Ijma’ dan Qiyas, di
samping Al-Qur’an dan Hadits, berarti NU telah meletakkan diri pada dasar
pijakan yang rasional. Menurutnya, bahwa Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber
ajaran sudah jelas, tetapi kesediaan menggunakan Ijma’ dan Qiyas merupakan
hal yang menarik. Ijma’ adalah
penafsiran ajaran Islam oleh ahlinya dengan jalan musyawarah. Sedangkan, Qiyas, yaitu suatu metode berfikir
identik dengan analogi, sebagai cara menafsirkan ajaran sesuai dengan kebutuhan
waktu dan tempat tertentu. Semua ini merupakan landasan NU yang sangat dinamis
dan modern. Risalah
Nahdlatul Ulama, No. V/VI
Tahun I (1979), hal. 9.
[77]
Selain dicap sebagai “conservative”,
NU juga sering diidentikan dengan anti perubahan (anti-modernisme),
“tradisionalits”, dan “orthodox”. Lihat Deliar Noer, The Modernist Muslim
Movement in Indonesia
1900-1942, (Singapore: Oxford University Press, 1973) hal. 222-234; W.F.
Wertheim, Indonesia Society in Transition: A Study of Social Change,
(The Hague: W van Hoeve, 1966); Clifford Geertz, “Modernization in a Muslim
Society: The Indonesian Case” dalam Robert N. Bellah, Religion and Progress
in Modern Asia, (New York: Free Press, 1965) hal. 103; Harry J. Benda, The
Cresent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation
1942-1945, (The Hague: W.van Hoeve, 1958) hal. 50.
[78] Taqlid atau bermazhab dalam sikap
keberibadatan NU dipahami dalam arti
sangat longgar, terutama di kalangan para elitnya (kyai). Meskipun secara
formal mayoritas memegangi mazhab Syafi’i, dalam prakteknya, para kyai NU dapat
dengan mudah menerima ajaran mazhab lain, selagi masih dalam koridor mazhab
empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penerimaan pendapat selain
Syafi’iyah tidak mengalangi mereka untuk berpindah kepada mazhab lain, jika
memang pendapat syara’ memungkinkan. Dan mereka tidak takut lagi dituduh talfiq.
[80] W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam
dan Modernitas, Terj. Taufik Adnan Amal, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2001) hal. 5.
[81] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,
(Jakarta: The Wahid Institute, 2007) hal. 221.
[82] Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hal. 32-33.
[83]
Mahrus As’ad, Pembaruan Pendidikan
Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2007).p
[84] PBNU,
Konsepsi Pengembangan Sumberdaya…, hal. 19.
[85] Ibid, hal. 20.
[86] H.A.R. Tilaar, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta, Reneka Cipta, 2004) hal. 172 dan 174.
[88] M. Nadjid Muchtar, Wawancara, 19
Mei 2004.
[89] Paham Ahlusunnah
wal Jamaah (Aswaja) diyakini sebagai integralisasi ajaran Islam mencakup
seluruh aspek-aspek keagamaan berdasarkan manhaj
(metode pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam hal akidah (teologi), empat
imam mazhab besar dalam fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan
Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali serta para imam lainnya yang sejalan dengan
syari’ah Islam dalam tasawuf,
mencakup tiga hal pokok, yang
secara garis besar juga ad aspek-aspek terpenting ajaran Islam,
yaitu akidah, syari’ah atau fiqh, dan akhlak. Akidah adalah aspek terpenting dan yang melatarbelakangi lahirnya paham
Aswaja dalam Islam, berdasarkan metode pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah,
menempatkan nas Al-Qur’an dan Sunnah sebagai otoritas utama, berfungsi sebagai
petunjuk dalam memahami ajaran Islam. Sedangkan, akal yang mempunyai potensi
untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan
merupakan alat bantu untuk memahami nas tersebut. Singkatnya, NU menggunakan
pola pikir taqdīm al-naş ‘alā al-‘aql,
mendahulukan naş (teks), kemudian
baru nalar (akal). Syari’ah atau fiqh adalah aspek keagamaan berhubungan dengan ibadah dan muamalah. Ibadah adalah tuntutan formal berhubungan dengan tata cara
seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti terumuskan dalam rukun Islam (habl min Allāh). Muamalah adalah bentuk kegiatan ibadah, dalam arti
pengamalan ajaran agama, bersifat sosial menyangkut hubungan manusia dengan
sesamanya secara horizontal (habl
min al-nās). Semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah; namun, karena
tidak semua orang dapat memahami keduanya secara langsung, sebab kebanyakan nas
Al-Qur’an dan Sunnah hanya berbicara pokok-pokok dan prinsip-prinsip (uşul) saja, hal ini membutuhkan
penjabaran dengan metode pengambilan hukum tertentu, sehingga terdapat
kejelasan apa saja yang menjadi cabang-cabangnya (furū’). Untuk melakukannya diperlukan ijtihād yang tentu saja tidak semua orang mampu melakukannya.
Itulah sebabnya dalam paham Aswaja NU, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami
ajaran agama sangat penting. Sedangkan, akhlak adalah kondisi mental spiritual yang mendorong manusia
untuk berperilaku. Karena berwujud kesadaran, nilai suatu perbuatan seseorang
pada dasarnya tergantung pada hakekat dorongan mental-spiritual yang ada dalam
dirinya. Artinya, semua perbuatan baik yang dilakukan manusia dalam perspektif
ajaran ini tidak boleh tercampur dengan unsur-unsur lain, selain motif
mengharap ridla Allah, yang disebut ikhlas. Penekanan aspek akhlak dapat
diartikan sebagai upaya membimbing manusia dalam mencapai derajat keikhlasan.
Untuk mencapainya diperlukan proses pembiasaan atau pelatihan diri secara
berkesinambungan, yang dalam tradisi Aswaja, dikembangkan para sufi,
yang kemudian menghasilkan tasawuf, sebagai alat pendukung dalam mendidik dan membimbing aspek
esoterik (batiniah) manusia dalam mencapai nilai-nilai ihsān, yaitu suatu sikap mental-spiritual yang senantiasa merasakan
kehadiran Allah dalam seluruh kehidupan, dengan mengambil jalan
yang dikembangkan Al-Junaid al-Baghdadi dan Al-Ghazali dan imam-imam lainnya
yang berusaha memadukan syari’ah dan tasawuf. Bagi NU, Aswaja tidak
lain merupakan cara pandang dan berpikir bersifat holistik, yang mengasumsikan
bahwa segala persoalan hidup kemanusiaan baik lahir maupun batin bisa terjawab
dengannya. Ciri utamanya adalah sama dengan ciri utama ajaran Islam sendiri, yaitu al-tawassuţ (sikap tengah) yang
dilengkapi dengan al-i’tidal (tegak,
lurus, adil) dan al-tawazun
(seimbang). Tiga karakter ini berfungsi menghindari taţarruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan.
Singkatnya, harus ada pertengahan dan keseimbangan dalam berbagai hal. Dalam
akidah ada keseimbangan antara penggunaan dalil naqli dan ‘aqli, antara
ekstrim Jabariah dan Qadariyah. Dalam syariah dan fiqh, ada pertengahan antara
ijtihad “sembrono” dengan taklid buta melalui jalan bermazhab, atau tegas dalam
hal qaţ’iyyāt dan toleran pada
hal-hal zanniyāt. Dalam akhlak, ada
keseimbangan dan pertengahan antara sikap berani (shajā’ah) dan sikap penakut serta “ngawur”. LP. Ma’arif Nahdlatul ‘Ulama, Konsep Kebijakan
Umum.
[90] H.A. Wahid Hasyim, “Boeat Goeroe II” dalam
Berita Nahdlatul Oelama, No. 13 Th. 9 (1 Mei 1940) hal. 7/177.
[92] Dalam memperkuat orientasi baru
pendidikan mereka, para pendidik NU sering menyampaikan ungkapan-ungkapan
membumi seperti al-addunyā mazra’at
al-ākhirat (dunia adalah tempat usaha menanam kebahagiaan akherat) atau
ayat Al-Qur’an: Wabtaghī fīmā ātākallāh
al-dār ākhirat walā tansa nasībaka min al-addunyā (“Tuntutlrah dalam
sesuatu yang diberikan Allah kepadamu akan negeri akherat, dan janganlah kamu
lupakan kebahagiaanmu dari dunia. Baca sebuah artikel ditulis di Oetoesan Nahdlatoel Oelama, “Sekedar
Menjadi Pedoman bagi Nahdlatoel Oelama” dan artikel Moeh. Zain Dijar,
“Bagaimanakan Kedoedoekan Pendidikan dalam Masjarakat Itoe?” ditulis di Berita Nahdlatoel Oelama Th. 10 (1 Juli 1940).
[93] LP. Ma’arif, Landasan Dasar Pengenmbangan Pendidikan di Lingkungan Nahdlatul Ulama,
(Jakarta: PP. LP. Ma’arif, 1983).
[96] Baca Halim Barakat, Dunia Arab Masyarakat Budaya dan Negara, Terjemahan Irfan M dan
Zakkie, (Bandung: Nusa Media, 2012), hal. 201-240.
[97]
Hingga akhir 1969 hampir semua sekolah/madrasah yang dikelola Ma’arif
menggunakan atribut NU. Namun, sejak tampilnya pemerintah Orde Baru yang tidak
menghendaki adanya politik aliran, semua sekolah/Madrasah NU dipaksa mengganti
atribut ke-NU-annya, sehingga Ma’arif sebagai kembaga induknya memutuskan
penggantian atribut NU tersebut dengan nama-nama lain yang tidak asing bagi
wargan NU, seperti “Walisongo”, “Hasyim Asy’ari”, “Al-Ghazali”, dan
sebagainya.
[98] Berdasarkan laporan Bagian Ma’arif
1990, meskipun semua tercatat, jumlah institusi pendidikan NU sebanyak 9.344 buah, terdiri atas 3.885 TK/RA, 3804 Madrasah
Ibtidaiyah (MI), 197 Sekolah Dasar (SD), 590 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 378
Sekolah Menengah Pertama (SMP), 212 Madrasah Aliyah (MA), 211 Sekolah Menengah
Atas (SMA), dan 67 Perguruan Tinggi. Menurut data 2003, institusi pendidikan NU
ber institusi pendidikan NU institusi pendidikan NU berjumlah lebih dari
12.000, sebagian besar berupa pendidikan dasar dan menengah, serta 78 buah
perguruan tinggi. Peningkatan jumal ini, menurut Nadjid Muchtar, bukan karena
dibangunnya sekolah-sekolah baru, yang kalaupun ada jumlahnya tidak signifikan,
tetapi lebih disebab meningkatnya kesadaran
di kalangan masyarakat NU mencatatkan lembaga pendidikan mereka ke
Bagian Ma’arif NU. Wawancara dengan Nadjid Muchtar, 5 Mei 2003. Baca juga LP.
Ma’arif, Keputusan-Keputusan Musyawarah
Kerja LP. Ma’arif NU se-Indonesia 21-23 Juli 1990 (Jakarta: LP. Ma’arif,
1990).
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM NAHDLATUL ULAMA
Reviewed by Unknown
on
8:00 AM
Rating:
No comments: