ads

AGAMA DAN KORUPSI

 `Oleh: Drs. Mahrus As’ad, M.Ag
(Dosen IAIN Metro)


Praktek korupsi belakangan ini sudah menjamah hampir ke seluruh sektor penyelenggaraan negara, tak terkecuali sektor yang beratributkan atau dekat dengan urusan agama. Beberapa waktu lalu seorang pejabat tertinggi sebuah partai berasaskan agama dinyatakan bersalah oleh pengadilan Tipikor karena skandal korupsi impor daging sapi di Kementerian Pertanian; Mantan Menteri Agama menjadi tersangka KPK karena korupsi dana haji; baru-baru ini seorang guru besar dan sekaligus rektor sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Cirebon ditahan kejaksaan setempat karena penggelapan uang negara dan seorang Ketua DPRD sebuah kabupaten di Madura bergelar KH (Kyai Haji) digelandang KPK karena korupsi-manipulasi pembelian gas negara. Kasus-kasus serupa lainnya tentu saja masih banyak, hanya karena tidak atau belum terungkap saja. Mewakili golongan “melek agama”, mereka sesunguhnya orang-orang yang secara akal sehat sulit dimengerti mengapa bisa terperosok ke dalam perbuatan korupsi yang tidak saja melawan hukum negara, tetapi juga akan dilaknat Tuhan di akherat nanti. Ada apa dengan keberagamaan mereka sehingga tidak mampu lagi menjadi pedoman hidup dan referensi dalam kehidupan nyata pemeluknya?
Dalam hukum agama, ketentuan mengenai larangan korupsi sangat tegas berlandaskan dalil-dalil yang kuat, sama tegas dan kuatnya dengan larangan-larangan agama lainnya, seperti larangan berzina, larangan memakan riba, dan larangan meminum khamr (arak). Namun, mengapa larangan-larangan yang disebut terakhir relatif lebih dipatuhi daripada larangan korupsi tidak mudah menjawabnya. Yang jelas, pelaku tindak korupsi, apalagi yang melek agama, tidak bisa sembarangan orang, sebagaimana pelaku zina, pemakan riba, dan peminum khamr. Pelaku tindak korupsi pastilah orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintahan yang tentu saja dari segi pendapatan relatif berlebih, memiliki pengaruh di lingkungan kerja, bisa mengelola dan membelanjakan uang negara dengan otoritas yang dimiliki, termasuk mengambil sebagiannya untuk diri sendiri dan kelompoknya. Dalam konteks ini, penting memberikan penekanan pada “diri sendiri dan kelompoknya” sebab hampir tidak pernah terjadi pelaku tindak korupsi berkerja sendirian; selalu melibatkan sebuah “kelompok”, kecil atau besar. Merasa punya agama, para koruptor jenis ini  boleh dikatakan tidak takut lagi dengan dosa; bahkan, terkesan mereka bisa bernegoisasi dengannya. Ini artinya, mereka dengan sadar telah “mengebiri” keberagamaan mereka, sehingga dengan sendirinya, menjadikan agama tidak bisa lagi menjalankan fungsi utamannya sebagai pembimbing dan referensi moral bagi pemeluknya.
 Sebagai individu melek agama, sudah pasti para koruptor jenis ini mengetahui banyak hal-ihwal keilmuan agama, yang memudahkan mereka merekayasa penggunaan istilah-istilah dari perbendaharaan agama untuk kepentingan menggasak uang negara, seperti ’āmil untuk ‘bos’, dan mudharabah untuk jatah yang diterimakan kepada kelompok kepentingan dalam sebuah proyek. Istilah ’Āmil secara teknis pada mulanya digunakan untuk menunjuk orang-orang yang diberi kewenangan mengurus distrikbusi zakat (rukun Islam keempat), yang karena posisinya mendapatkan jatah dari pembagian zakat yang terkumpul. Menurut kabar yang beredar, para ’āmil proyek ini mengklaim memiliki hak jatah sebesar sepuluh persen (10%) dari total nilai sebuah proyek. Sedang, mudharabah adalah konsep dalam ekonomi syariah terkait pembagian keuntungan dari kerjasama modal yang diikutsertakan dalam kegiatan bisnis bersama. Seberapa besar nilai mudharabah ini tergantung kepintaran tim bernegoisasi dengan pelaksana proyek. Dari penggunaan istilah ini saja, kuat terkesan adanya pemaksaan dan pemerkosaan akademis, dan bahkan berani mempermainkan hukum Tuhan, agar tindakan mereka yang jelas-jelas melanggarnya mendapatkan pembenaran, setidaknya di kalangan kelompok mereka.
Modus lainnya untuk mengesankan bahwa tindak korupsi mereka dapat ditoleril dari segi agama yaitu kesukaan mereka membagi-bagikan derma, istilah teknisnya shadaqah, mulai kepada kerabat, tetangga sekitar, rumah-rumah yatim dan panti-panti asuhan, serta kaum dhuafa’, hingga ke mushalla-mushalla atau masjid. Bagi kaum awam, tindakan philantropis mereka ini tentu saja suatu kebajikan yang menurut perspektif agama pelakunya patut mendapatkan pujian; kalau ia politisi pantas didukung, dan kalau ustadz/kyai patut mendapatkan mimbar dalam khutbah-khutbah Jum’at dan ceramah agama. Logika masyarakat awam sangat sederhana, mereka tidak mau tahu dari mana uang yang dibagi-bagikan. Yang penting, pembagian tersebut membawa berkah bagi ummat, yang diistilahkan mereka, sebagai wujud adanya rahmatan lil’ālamīn. Tidak mengherankan, bila kemudian sering terjadi anomali di sini, oleh masyarakat awam para koruptor dermawan ini dianggap pahlawan, walaupun, bagi aparat penegak hukum, mereka tidak lebih dari kriminal berkedok agama.
Bagaimana para pemeluk agama memungsikan agama dalam realitas kehidupan sangat tergantung dengan cara beragama seperti apa yang mereka pilih. Menurut Dale Cannon dalam bukunya yang diberi judul sama Enam Cara  Beragama, ada enam cara orang beragama yang berbeda-beda tujuannya. Pertama, cara ritus suci, memusatkan diri pada berbagai upacara ritual, bertujuan menjalin kendekatan diri dengan Tuhan. Kedua, cara perbuat benar, menekankan terwujudnya ajaran agama demi terwujudnya “tertib ilahi” di bumi. Ketiga, cara ketaatan, bertujuan menjalin kehangatan hubungan batiniah dengan Tuhan, melalui pemujaan dan sikap-sikap khusus, tanpa mementingkan ritual bersifat formal. Keempat, cara mediasi samanik, yaitu mendekati sumber-sumber “supernatural”, melalui perantaraan seorang saman (dukun), sebagai kendaraan mendekati Tuhan, untuk menghadapi berbagai musibah-bencana, guna mendapatkan penyembuhan dan kesejahteraan masyarakat. Kelima, cara pencarian mistik, usaha sadar melalui disiplin asketik-monastik demi pencapaian kesatuan dengan Tuhan sebagai Realitas Mutlak. Terakhir, cara pengetahuan, yaitu usaha memahami realitas agama melalui studi rasional berdimensi ibadat, bertujuan memperoleh kebenaran substansial atau pengetahuan kebijaksanaan ilahi baik teoritis maupun praktis (hal. 48-74).
Dalam realitas kehidupan empiris, hampir tidak dijumpai cara beragama yang bersifat tunggal, melainkan selalu ada overlaping dari keenam cara beragama tersebut, melalui proses “pinjam-meminjam” antar unsur di dalamnya. Namun, cara beragama manapun yang diikuti, secara teoritis dapat mendatangkan kebajikan bagi para pendukungnya, yang dalam agama Islam dapat dipersamakan dengan hikmah. Syaratnya adalah bahwa mereka harus konsisten menjalankannya dan sesuai dengan tujuan utamanya. Akan tetapi jika tidak, mereka akan gagal mendapatkan kebajikan (hikmah), Sebagai gantinya, yang mereka peroleh adalah berbagai penyimpangan-penyelewengan, yang pada gilirannya dapat disalah-gunakan untuk tujuan-tujuan tersembunyi dan egoistik. Tindak korupsi, moral hipokrit, mengambil bukan haknya dan menahan hak orang lain, seperti belakangan diperlihatkan banyak pejabat publik kita yang melek agama.
Menggunakan standar moral agama untuk mengukur perilaku menyeleweng seperti korupsi orang-orang melek agama jelas tidak relevan menurut nalar sehat maupun nalar agama sendiri. Betapa tidak? Jelas-jelas mereka mengetahui hukumnya, lengkap dengan dalil-dalil naqlinya, tetapi juga terus membiarkan perilaku menyeleweng mereka berjalan. Anehnya lagi, mereka seperti sengaja mengelabuhi hukum Tuhan,  menjadikan hukum Tuhan tentang larangan tindak korupsi sebagai bahan candaan, layaknya teori-teori kebudayaan yang sudah kadaluwarsa, yang tidak perlu lagi dijadikan referensi untuk dipedomani dalam situasi apapun. Dalam percakapan di lift-lift atau di tempat-tempat makan siang, misalnya, mudah sekali terdengar lontaran dari mulut mereka kata-kata yang mengganggap orang-orang jujur sebagai “pihak yang harus diperangi”, layaknya pelaku makar terhadap kekuasaan negara yang sah. Itu artinya logika keagamaan mereka sudah sangat jauh menyimpang dari logika normal seperti diharapkan publik bahwa para penyelenggara negara melek agama yang tengah diamanati jabatan harus menjadi garda terdepan (al-uswah) dalam menghalau perilaku tindak korupsi dan sebangsanya, sedikitnya di lingkungan kantor sendiri. Melihat kenyataan ini, tidak aneh kalau publik mulai risih dan tidak lagi percaya dengan komitmen moral mereka, karena tidak ada bedanya dengan yang awam agama.
Ketika pendidikan agama di sekolah-sekolah/madrasah hingga perguruan-perguruan tinggi (agama) lebih menekankan penguasaan tentang agama daripada bagaimana beragama, maka yang dihasilkan kemudian adalah para lulusan/sarjana-sarjana agama yang lihai menghafal dalil-dalil dan menjelaskan berbagai aspek agama, tetapi lemah dalam akhlak-keprtibadian-karakter sebagaimana seharusnya orang beragama dan sekaligus melek agama. Namun, membebankan sepenuhnya pada praksis pendidikan agama kita yang telah gagal menghasilkan lulusan sesuai harapan juga tidak fair. Merebaknya perilaku tindak korupsi di kalangan penyelenggara negara melek agama juga dipersubur oleh budaya birokrasi kita sendiri, yang membiarkan terus berlangsungnya perilaku korup yang jelas-jelas sangat berlawanan dengan nilai-nilai dan norma-norma agama.
Dalam teori pembentukan sikap, faktor lingkungan dan kebudayaan sangat menentukan pembentukan sikap dan perilaku para anggotanya, sehingga orang-orang yang asalnya mempunyai sikap murni bisa tergerus mengikuti arus perilaku orang-orang sekelilingnya karena takut dikucilkan atau disangka bodoh, yang dalam konteks korupsi tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang ada. Terkait hal ini B.F. Skinner, seperti dikutip Azwar dalam bukunya Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya (2011: 32-36), mengatakan bahwa kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami. Kita memiliki sikap dan perilaku tertentu dikarenakan mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat  untuk perilaku dan sikap tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa perilaku tindak korupsi orang-orang, terutama para penyelenggara negara, yang melek agama pada hakekatnya tidak ada bedanya dengan perilaku tindak korupsi dari mereka pada umumnya yang awam agama, dalam arti perilaku tindak korupsi bisa melanda siapa saja, tak terkecuali orang-orang dari lingkungan agama, jika komitmen mempedomani nilai-nilai dan norma-norma agama untuk memenuhi kebutuhan adab dalam kehidupan riil di masyarakat semakin lemah dan dilemahkan. Kelihaian mereka mengadopsi istilah-istilah perbendaharaan agama dalam aksi korup mereka sama sekali tidak bisa digunakan sebagai pembenaran bahwa ajaran agama permisif terhadap perilaku tindak korupsi; apa yang mereka lakukan sesungguhnya hanyalah akal-akalan berkedok agama. Merebakanya perilaku korup pada orang-orang melek agama tidak lain adalah produk dari kultur hedonisme birokrasi kita yang abai terhadap nilai-nilai dan norma-norma di luar sistem nilai dan normanya sendiri, termasuk nilai-nilai dan norma-norma agama. 
Wallau a’lam.




AGAMA DAN KORUPSI AGAMA DAN KORUPSI Reviewed by Unknown on 8:00 AM Rating: 5

No comments:

ads
Powered by Blogger.