MADRASAH SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN KARAKTER: BELAJAR DARI MADRASAH GONTOR
Oleh:
Drs. Mahrus
As’ad, M.Ag
(Dosen IAIN Metro)
A.
Pendahuluan
Sebagai lembaga pendidikan bercorak agama, madrasah seharusnya menjadi
pelopor utama dalam penyelenggaraan pendidikan karakter, yang dalam tradisi
kurikulernya dapat dipersamakan dengan pendidikan akhlak.[1]
Konsekwensiya keberadaan madrasah tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan
karakter dalam arti, harus memiliki kepedulian yang kuat dalam mendukung dan mendorong
implementasinya dalam kehidupan kongkret para murid. Seperti halnya pendidikan
akhlak, pendidikan karakter di madrasah harus mampu menumbuhkan dalam diri para
muridnya rasa cinta pada kebenaran dan kebaikan yang berkelanjut pada lahirnya
perbuatan-perbuatan baik dan benar dari sudut pandang etis dengan tetap
menempatkan Kitab Suci dan hadis Nabi sebagai kriteria penilaiannya tertinggi.
Dengan demikian, madrasah harus memberikan perhatian yang lebih besar dari pada
lembaga pendidikan formal lainnya dalam melahirkan pribadi-pribadi berakhlak
mulia dan berkarakter unggul, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat
dan warga negara.
Hanya saja apa yang dilakukan madrasah dalam kenyataannya belum mampu
melaksanakan fungsinya secara optimal, yaitu melahirkan generasi muslim yang
berkarakter kuat dan unggul, yang memiliki kesiapan untuk memasuki kehidupan
modern yang penuh tantangan. Sebaliknya, yang lahir justru para lulusan “biasa-biasa
saja”, yang tentu saja jauh dari harapan. Faktor penyebabnya banyak dan
bermacam-macam, mulai dari rendahnya mutu input dan SDM pendidikan yang
tersedia, kurangnya sarana-prasarana, kelangkaan pemimpin pendidikan yang visioner,
hingga kurikulumnya yang menurut Indra Jati Sidi, menyontek bulat-bulat dari
sekolah sehingga menjadi overload.[2]
Dalam pemberian Pendidikan Agama, termasuk pendidikan akhlak, madrasah lebih
suka mengadopsi metode yang biasa untuk ilmu pengetahuan umum, yang lebih
menekankan penguasaan kognitif-verbalis, dalam arti kaya pengetahuan, tetapi
miskin pengamalan serta tindakan nyata.
Kondisi tidak
menguntungkan seperti
itu seharusnya
menyadarkan masyarakat madrasah untuk mengadakan perbaikan
bersifat fundamental agar madrasah
mampu memainkan
perannya
lebih besar dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam dan sekaligus pendidikan
nasional. Perbaikan tersebut bisa perubahan bersifat paradigmatik
maupun penyempurnaan kelembagaan. Yang pertama menyangkut apa yang disebut Tilaar
sebagai reposisi dan reaktualisasi agar madrasah dapat menjalankan fungsinya
secara maksimal dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
di atas. Sedangkan, yang kedua menyangkut pencarian model pengembangan
kelembagaan madrasah sebagai pusat pembudayaan kemampuan dan nilai-nilai serta
norma-norma moral, agar menjadi bagian integral dalam akhlak dan kepribadian
murid. Pertanyaannya model pendidikan dan kelembagaan madrasah seperti apakah
yang cocok untuk mencapai tujuan itu? Menggunakan pendekatan
deskriptif-analitik, tulisan ini akan menjelaskan model pendidikan dan
kelembagaan madrasah yang dimaksud; namun, sebelumnya penting untuk membahas
apa itu pendidikan karakter dan tujuannya serta [visi misi]peran madrasah dalam
pendidikan karakter
B.
Pendidikan karakter: Pengertian dan Tujuan
Kata karakter berasal dari bahasa ian , karasso,
berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’
seperti sidik jari.[3] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.[4]
Griek, seperti dikutip Zubaidi, mendefinisikan
karakter sebagai paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap,
sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang
lain. Karakter merupakan keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah
dikuasai secara stabil yang mendefenisikan seorang individu dalam keseluruhan
tata perilaku psikisnya yang
menjadikannya tipikal dalam cara berpikir dan bertindak.[5]
Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan
(doing the good).[6]
Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik,
kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku jujur dan
bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh
ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan
seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen
untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakter dapat disebut
sebagai jatidiri seseorang yang terbentuk dalam proses kehidupan oleh sejumlah
nilai-nilai etis yang dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya. Berkarakter
artinya berkepribadian, berperilaku, bersifat bertabiat, dan berwatak,[7]
yang mengacu pada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku, (behaviors), motivasi, (motivations), dan ketrampilan (skills). Dalam konteks pendidikan,
pendidikan karakter diartikan sebagai usaha yang dilakukan secara sengaja dari
seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu pengembangan karakter dengan
optimal, bertujuan mendorong murid tumbuh dan berkembang dengan kompetensi
berpikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam hidupnya serta
mempunyari keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada berbagai
tantangan.
Pendidikan karakter membantu murid mengembangkan kemampuannya dalam
menentukan keputusan tentang baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan dan
menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.[8]
Untuk itu, penekanan pendidikan karakter tidak sebatas pada transfer
pengetahuan mengenai nilai-nilai yang baik; lebih dari itu, ia juga menjangkau
pada bagaimana menjadikan nilai-nilai tersebut tersebut tertanam dan menyatu
dalam totalitas pikiran dan tindakan. Pendidikan karakter dimaksudkan sebagai
upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan
pengalaman dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang
menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksinya dengan Tuhan, diri sendiri,
antarsesama, dan lingkungannya. Dalam grand desain pendidikan karakter,
nilai-nilai luhur tersebut berasal dari teori-teori pendidikan, nilai-nilai
sosial budaya, ajaran agama, Pancasila dan UUD 1945, dan UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, serata pengalaman terbaik dan praktek nyata
dalam kehidupan sehari-hari.[9]
Pendidikan karakter bertujuan: pertama, mengembangkan potensi kalbu/nurani/
afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki
nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku
peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi
budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung
jawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia
yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan
kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan (dignity).[10]
Adapun fungsinya adalah, pertama, pengembangan potensi dasar, agar “berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik”; kedua, perbaikan perilaku yang
kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik, dan ketiga, penyaring
budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.[11]
Selain keluarga dan masyarakat, peran lembaga pendidikan, seperti madrasah,
sangatlah penting dalam usaha pencapaian tujuan pendidikan karakter, seperti
dikatakan di atas, yang bila disingkat, terbentuknya karakter yang baik dan
unggul. Dalan konteks ini, pendidikan karakter merupakan usaha madrasah yang
dilakukan secara bersama-sama dan terus menrus oleh pimpinan, guru, staf, dan
seluruh warga madrasah untuk membentuk akhlak dan kepribadian murid melalui
berbagai nilai (vitues) yang diambil dari ajaran agama, adat-istiadat, dan
budaya bangsa, serta nilai-nilai luhur bersifat universal.[12]
Semua unsur dikerahkan untuk itu, termasuk kurikulum dan lingkungan fisik
maupun nonfisik.[13]
C.
Madrasah Gontor sebagai Model Pendidikan Karakter
Model dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai ‘pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya)
dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan’. Hopkins mengartikan model
sebagai abstraksi, representasi dari kenyataan (reality) atau ungkapan dari bayangan
bersifat mental.[14] Masyarakat
madrasah dapat menggunakan model untuk memahami dan mendeskripsikan berbagai
unsur terkait dengan madrasah, digunakan sebagai kerangka acuan yang dengannya
mereka dapat mengamati dan mendiskusikan unsur yang digambarkan tersebut.
Terkait dengan pemilihan madrasah Gontor sebagai model pendidikan karakter tentu
saja bukan asal comot, melainkan berdasarkan alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dari studi yang mendalam, diperoleh
gambaran yang sangat jelas bahwa madrasah Gontor, nama formalnya Kulliyatul Mu’alimin Islamiyah (KMI), bukanlah
jenis madrasah seperti kebanyakan madrasah yang beroperasi di negeri ini, yang
hanya mengekor sekolah, melainkan madrasah yang berani memformat dirinya sedemikian
rupa sehingga menghasilkan output pendidikan
yang mutunya sangat membanggakan, dan telah lama menjadi acuan bagi pendirian
banyak madrasah di berbagai tempat. Seperti
apa madrasah itu, berikut ini deskripsinya.
1. Madrasah Gontor: Dasar, Tujuan,
dan Azasi
Seperti
apa gambaran penyelenggararaan pendidikan karakter di madrasah Gontor, penting
kiranya mengetahui dasar, tujuan, dan
azas yang
menjadi landasan operasionalnya. Tidak seperti madrasah pada umumnya, madrasah Gantor
atau formalnya diberi inama Kulliyatul Mu’alimin Islamiyah (KMI)
dikembangkan Kyai Ahmad Zarkasyi dan kedua saudaranya, secara kelembagaan
mengambil bentuk madrasah klasikal siang hari, berorientasi keguruan (Islam),
berjenjang lanjutan menengah dan bersifat terminal, dengan durasi belajar 6
tahun setelah madrasah/sekolah dasar, mirip program Pendidikan Guru Agama
Lengkap 6 Tahun (PGAL 6 Tahun) yang pernah dibuka Kemeterian Agama pada awal
1950-an hingga akhir 1980-an.[15] Operasional
madrasah ini berdasarkan dan menurut tujuan pendidikan Islam serta
kebudayaan nasional dengan sistem modern. Tauhīd adalah landasan dasarnya, yaitu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, sebagai kesadaran mutlak dan sumber segala kesadaran, kenyataan alam, dan
kehidupan.[16]
Menjadikan tauhīd sebagai dasar penyelenggaraan madrasah merupakan keharusan mutlak, karena tauhīd,
meminjam bahasa Nasr, adalah alpha-omega-nya pendidikan Islam.[17]
Artinya bahwa setiap aspek operasional madrasah senantiasa bertumpu pada ajaran tauhīd
yang direalisasikan dalam
seluruh sendi kehidupan masyarakat pendukungnya secara lahir dan batin.
Sesuai dengan namanya, madrasah KMI
Gontor hanya
menerima murid laki-laki, bertujuan memberikan pembinaan karakter sedini mungkin agar tercipta
calon-calon guru (dalam arti luas), yang berkepribadian Muslim, yang mempunyai
ciri-ciri berbudi tinggi,
berbadan sehat, berpengatahuan luas, berpikir bebas, dan berjiwa ikhlas, untuk
menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan modern yang semakin kompleks.[18]
Profil generasi
muslim seperti itu merupakan gambaran rinci dari pribadi bertauhīd,
yang menurut para pendirinya, urutannya tidak boleh diubah serta dikurangi, sebab
hubungan antar aspek-aspek pada tujuan tersebut sangat erat dan bersifat
komplementer. Juga,
pada hubungan antara dasar dan tujuannya karena kandungan arti dan cara memaknai
keduanya turut menentukan azas-azas pendidikannya. Dimaksud azas-azas di sini adalah prinsip-prinsip umum,
yang sekaligus merupakan
seperangkat nilai-nilai terkait dengan strategi dasar atau tegaknya
penyelenggaraan madrasah. Singkatnya, antara apa yang dicita-citakan harus ada
keselarasan dan kesesuaian dengan
realisasinya dalam praktek.[19]
Berbasis tradisi
pesantren, madrasah KMI Gontor
mengedepankan azas-azas kekeluargaan, kesederhanaan, dan kemasyarakatan. Azas
kekeluargaan dimaksudkan sikap perilaku atau tindakan seluruh warganya secara sadar berusaha memperlakukan
orang lain seperti halnya dirinya sendiri ingin diperlakukan orang lain
tersebut. Artinya, kepentingan murid menjadi prioritas, yang mengharuskan guru
tidak saja berperan
sebagai pendidik, tetapi sekaligus juga fasilitator yang tugasnya memberikan
pelayanan sebaik mungkin dalam
proses pendidikan-pembelajaran.[20]
Azas kesederhanaan adalah sebagai sikap sadar (tahu) diri
akan batas kemampuan seorang pribadi berhadapan dengan orang lain dalam sebuah
komunitasnya, yang dioperasionalkan di madrasah ini dengan jalan menumbuhkan
pada setiap murid sikap hidup secukupnya sesuai kemampuan dan kebutuhan.[21] Kesederhanaan, dengan demikian, tidak dapat disamakan
dengan kemiskinan, tetapi adalah suatu
sikap penguasaan diri setiap murid agar tidak terjebak ke dalam sikap hidup
berlebihan, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemandirian, kejujuran,
berjiwa besar, dan keuletan dalam menghadapi segala medan kehidupan.[22]
Azas kemasyarakatan diartikan sebagai nilai atau sikap
yang memandang bahwa pendidikan lebih mengutamakan aspek kemanfaatannya setelah
murid kembali ke masyarakat daripada pencapaian nilai akademis semata. Hal
ini sejalan dengan program madrasah KMI
yang
bersifat terminal dalam rangka membawa para murid kepada pengabdian dan
pencerahan masyarakat dalam memainkan
perannya
sebagai guru, mubaligh, imam masjid, pengurus organisasi, pegawai pemerintah,
dan sebagainya.[23]
2. Sistem Pembelajaran
Meskipun beroperasi
di luar mainstream sistem pendidikan nasional, madrasah KMI Gontor menerapkan sistem pembelajarannya modern,
dalam arti seluruh kegiatan pembelajaran
diorganisasi sedemikian rupa berdasarkan doktrin efisiensi dan
efektifitas dalam
rangka memaksimalisasi tugas dan fungsi madrasah sebagai institusi pendidikan
Islam. Dengan doktrin efisiensi dan efektifitas dimaksudkan
bahwa keseluruhan proses pembelajaran dikelola berdasarkan perencanaan yang
matang sehingga outputnya
dapat diprediksi secara rasional sesuai
waktu yang telah diprogramkan. Maksimalisasi tugas dan fungsi madrasah dimaksudkan bahwa seluruh
potensi dan unsur-unsur kelebihan pada institusi ini diberdayakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masa depan pendidikan Islam.[24]
Ini berarti madrasah KMI Gontor sejak
awal menerapkan pola
pembelajaran bersifat massal terpimpin, yang dengannya pembelajaran murid
ditempatkan dalam kelas-kelas secara berkelompok dalam jumlah terbatas
berdasarkan perbedaan usia dan tingkat perkembangan mereka. Aktiftas pembelajarannya,
seperti halnya di madrasah pada umumnya, ditopang oleh sarana-sarana
belajar seperti
papan tulis, bangku, dan alat peraga, tetapi juga sumber belajar berupa
buku-buku ajar (text books) yang materinya telah disesuaikan dengan
kebutuhan murid.[25] Penggunaan metode pembelajaran diupayakan
selalu up to date agar
diperoleh peningkatan hasil belajar yang maksimal dengan
lebih efisien. Untuk
keperluan ini, para guru diberikan kebebasan berimprovisasi dan menentukan
metode pembelajaran sendiri, disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan murid.[26]
Kegiatan pembelajaran formal diselenggarakan dari pukul 07.00 -
12.00 siang, diselingi dua kali istirahat. Terintegrasi dengan pondok, kegiatan pembelajaran hampir tidak ada
putusnya, terutama bagi murid
kelas 1 - IV. Sebab setelah menyelesaikan pembelajaran formal, murid selepas shalat dhuhur (berjamaan) dan
makan siang, harus kembali melanjutkan belajar mereka dengan belajar tambahan,
mulai pukul 14.00 - 15.00 (waktu salat ashar) sebagai pendalaman materi-materi
tertentu, serta dilanjutkan lagi di malam harinya mulai pukul 20.00 - 22.00,
dipimpin wali kelas masing-masing. Kegiatan
pembelajaran di kelas V dan VI mulai lebih longgar, dalam arti lebih banyak
belajar secara mandiri, bahkan mulai dilibatkan dalam praktek mengajar pada pelajaran tambahan di kelas-kelas tingkat bawah.
Sebagai
pegangan, madrasah menyusun sendiri sebagian buku-buku pelajarannya, terutama
pelajaran agama, yang mulai kelas II ke atas sudah menggunakan bahasa Arab.
Evaluasi pembelajarannya dilakukan secara mingguan, berlaku untuk seluruh murid
dari kelas I - VI, diselenggarakan oleh sebuah kepanitiaan, mulai minggu-minggu
pertengahan setiap semesternya, dan ujian akhir tahun terdiri atas ujian lisan
(imtihan syafahi) dan ujian tulis (imtihan tahriri), yang
diakhiri dengan pemberian (selembar) raport, yang melaporkan prestasi
belajar murid pada semester bersangkutan. Materi yang diujikan sebanyak 15 mata
pelajaran, meliputi Tafsir, Hadis, Fiqh, Mahfudhat, Tauhid, Tamrin
al-Lughah, Ihya, Matematika, Fisika, Geografi, dan Tarbiyah.
Sejak memperoleh
persamaan (mu’adalah) dari Kementerian Agama RI pada 1998,[27]
murid-murid yang berhasil menyelesaikan ujian kelas VI memperoleh dua macam
ijazah: ijazah lokal KMI dan ijazah persamaan (tanpa ujian) dari Kementerian
Agama, yang diberikan setelah yang bersangkutan mengikuti program pengabdian.[28]
Sebelumnya, hanya diberikan ijazah lokal; mereka yang ingin kuliah di perguruan
tinggi (negeri), difasilitasi mengikuti ujian persamaan agar dapar ijazah
negeri.[29]
Pembelajaran yang diberikan madrasah ini,
seperti dikatakan Arwani, bertujuan untuk menyiapkan profil lulusannya yang
berkecakapan all round, dalam arti menguasai banyak bidang, mencakup
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, termasuk kewirausahaan, kesenian dan musik,
yang bermanfaat tidak saja selama di pondok, tetapi juga setelah kembali di
masyarakat.[30]
3.
Kurikulum
Kurikulum
madrasah KMI
Gontor mencakup satuan-satuan rencana
pembelajaran (teaching plan units) berisi materi-materi yang bervariasi
disusun berdasarkan prinsip-prinsip modern, dimana unsur cakupan, pengurutan,
relevansi, kontinuitas, dan sebagainya menjadi pertimbangan
utama, selain azas-azas pokok yang mendasarinya,
seperti dikemukakan di atas.[31]
Bersifat
campuran, kurikulum ini
memberikan pembelajaran
ilmu-ilmu agama
dan pengetahuan umum secara seimbang dengan porsi 100:100, dimaksudkan
sebagai pendekatan
mengintegrasikan kedua bidang keilmuan tersebut
agar tidak lagi menimbulkan apa yang sering diistilahkan dengan dikotomi ilmu.
Kandungan materinya sangat luas, mencakup sejumlah mata pelajaran dari
rumpun ilmu-ilmu
agama, ditambah ilmu-ilmu umum dan ilmu keguruan untuk kelas-kelas
atas, serta
bahasa Arab dan Inggris.[32]
Namun, terdapat ciri khusus pada kurikulum madrasah KMI, yaitu
penonjolannya pada muatan extra kurikulernya, termasuk pembelajaran bahasa Arab
dan Inggris secara aktif, yang sangat berguna bagi pengembangkan kompetensi
murid secara pribadi maupun sosial dalam mempersiapkan diri menghadapi hidup
secara kongkret di masyarakat. Yang paling menonjol di antaranya adalah
kepramukaan yang harus dikuti semua murid kelas I - IV, dan berpidato (muhadharah)
dalam tiga bahasa: bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia, diselenggarakan tiga
kali seminggu. Sedangkan, bagi murid kelas-kelas atas disediakan kegiatan
keorganisasian yang tugasnya mengelola berbagai urusan dan kegiatan murid di
luar pembelajaran pagi, mulai dari pengajaran siang dan malam, penggerak
bahasa, olah raga, kesenian, perpustakaan, perkoperasian, penerangan, keamanan,
kesehatan lingkungan, ta’mir masjid, penerimaan tamu, hingga urusan binatu.
Ada lagi dua kegiatan
yang hanya untuk murid-murid kelas VI, yaitu Bedah Buku (Book Reviews)
dan Wisata Perekomonian (Economic Study Tour). Sesuai dengan namanya, kedua kegiatan ini bertujuan
sosial-edukatif, yang dengannya diharapkan dapat membekali murid nilai-nilai
dan kecakapan hidup (life skills) yang dibutuhkan setelah mereka tamat
belajar, baik untuk keperluan melanjutkan studi maupun terjun di masyarakat. Atas
dasar ini, kurikulum madrasah KMI
Gontor lebih
menunjuk pengertian kurikulum lebih luas
daripada yang umum berlaku di madrasah pada umumnntya, termasuk milik pemerintah, yang memandang
kurikulum semata-mata hanya sebagai sekumpulan ilmu (pengetahuan) yang diajarkan,
melainkan sebagai keseluruhan pengetahuan, kegiatan, dan pengalaman yang
diberikan kepada murid sebagai bekal minimal dalam rangka pengembangan
kepribadian murid secara intelektual, mental-spiritual, dan moral-sosial dalam
rangka mengantarkan mereka memasuki kehidupan nyata sebagai warga negara yang
berkeadaban.[33]
4.
Manajemen
Berbeda
dari kebanyakan madrasah (swasta) pada umumnya, Madrasah KMI Gontor dikenal
sangat teguh memegangi prinsip al-i’timād ‘ala al-nafs, berdiri di atas
kaki sendiri, zelf-help atau
swasta murni, lewat mana pengelolaannya berdasarkan sistem manajemen
yang terprogram secara secara rasional sehingga kemajuannya dapat diukur
berdasarkan capaian-capaian seperti yang direncanakan. Penerapan sistem manajemen seperti ini bertujuan agar madrasah dan
seluruh unsur penopangnya dapat beroperasi sesuai dengan fungsi masing tanpa harus mengalami interupsi yang
dapat mengganggu kinerjanya, seperti dialami kebanyakan lembaga pendidikan
Islam tradisional berbasis masyarakat (swasta). Kuncinya terletak pada
kesediaan pendiri madrasah, yang sejak awal telah menerapkan semacam Renstra
(Rencana Strategis), dikenal dengan Panca Jangka Pondok Modern Gontor, untuk
menjamin masa depan madrasah, karena penyelenggaraannya memang terintegrasi
secara padu dengan sistem pondok.[34]
Penggunaan “Renstra”
ini terbukti memberikan daya tahan yang
kuat bagi keberadaan madrasah. Di banyak tempat, tidak sedikit madrasah harus
berhenti beroperasi lantaran ditinggal (mati) pendirinya.
Model manajemen pendidikan berorientasi mutu,
sekarang populer dengan istilah Total Quality Management in Education,[35]
sudah lama dipraktekkan di
madrasah ini guna menjamin keberlanjutan kualitas pendidikan, yang pada gilirannya akan berpulang pada kehandalan
operasional madrasah sendiri.
Kesediannya untuk memikirkan kaderisasi secara rasional dan memberikan para
alumni terbaiknya tempat berbakti dalam kegiatan pengajaran maupun pengurusan madrasah yang tergabung dalam Badan Wakaf,
menjadi kekuatan
utama yang sangat bermanfaat bagi terpeliharanya kualitas dan tradisi
pendidikan-pembelajaran yang dikembangkan madrasah ini dalam menghadapi kebutuhan dan
kompetisi bersifat lokal dan global. Kehadiran Badan Wakaf yang mengontrol
operasional madrasah telah memberikannya energi yang seakan tidak pernah habis
dalam rangka pengembangan institusi dan berbagai perangkat pendukung. Badan
Wakaf ini pulalah yang menunjang sebagian
besar biaya operasional
madrasah
dari penghasilan tanah-tanah wakaf pondok yang cukup luas,[36]
sehingga biaya belajar murid di madrasah ini bisa diusahakan
semurah mungkin. Hal
ini mengingatkan kita pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di masa klasik,
dengan mana sistem wakaf menjadi tumpuan utamanya, seperti yang masih diterapkan di
Al-zhar Mesir.[37] Boleh jadi, hingga hari ini sulit menemukan
sebuah madrasah
di luar milik pemerintah yang mampu menyaingi gerak ekspansif madrasah Gontor karena kuatnya dukungan manajemen
berorientasi mutu di belakangnya.
5. Lingkungan
Sebagai
salah satu faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan, penataan lingkungan
merupakan suatu keharusan yang tidak bisa dihindarkan.[38]
Kegiatan pendidikan pembelajaran diselenggarakan di sebuah kompleks
terpisah dari masyarakat sekitar, dalamnya terdapat sejumlah bangunan pernamanen relatif megah, tertata
rapi untuk memenuhi segala kebutuhan berbagai aktifitas pendidikan pembelajaran formal dan non
formal dengan masjid sebagai pusatnya. Menempati lahan yang cukup luas,
lingkungan dibiarkan diisi pepohonan hijau, di bagian depan terhampar lapangan
luas, tempat para murid yang datang dari berbagai daerah Indonesia, bahkan dari
luar negeri, menjalankan segala aktiftas ekstra kurikuler yang membutuhkan
ruang terbuka luas, seperti olah raga dan kepramukaan. Bermacam jenis bangunan
diatur sesuai peruntukan mereka berdasarkan kepentingan edukatif, terdiri atas
ruang belajar utama, asrama, balai pertemuan (hall), bangunan administrasi, perpustakaan, dapur umum, gudang dan
bangunan perlengkapan, toko/koperasi, rumah tamu, perumahan guru, dan rumah
keluarga pimpinan. Menempati lahan hampir seluas 10 hektar, madrasah KMI Gontor
membentuk perkampungan tersendiri,
dengan mana kyai menjadi pemimpin duniawi sekaligus spiritual.
6.
Pendidikan Karakter
Seperti
sudah dikatakan di atas, kurikulum madrasah KMI Gontor cakupaannya luas sekali,
di dalamnya terdapat ciri khusus yaitu pendidikan karakter, dalam rangka
membekali muridnya kesiapan mental dalam menghadapi dan sekaligus berkompetisi
memasuki kehidupan modern yang banyak tantangan.[39] Memang para pendirinya tidak pernah secara terang-terangan
mengatakan hal itu. Namun, dengan menggunakan logika Weberian tidak sulit untuk mendapatkan jawabannya,[40]
yaitu bahwa untuk
menjadikan seorang murid mampu memasuki pergaulan modern memerlukan pembinaan karakter yang kuat guna
memberikan kecukupan referensi
moral-etik minimal yang selayaknya dimiliki, mencakup pemahaman dan perasaan serta pengamalan sejumlah nilai dan
sikap perilaku dasar, seperti ditetapkan dalam visi pendidikannya. Karena itu, bukan
secara kebetulan bila madrasah ini didesign sedemikian rupa agar setiap unsurnya bekerja secara
terintegrasi untuk memaksimalkan fungsinya dalam memberikan para muridnya kesempatan mengembangkan karakternya secara utuh.
Pendidikan karakter seperti apakah
yang dikembangkan madrasah KMI Gontor dan bagaimana penerapannya? Seperti sudah disebutkan di
muka, tujuan madrasah iniadalah untuk memberikan pembinaan sedini mungkin demi
terciptanya calon-calon guru berkepribadian Muslim, yang mempunyai ciri-ciri
berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengatahuan luas, berpikir bebas, dan
berjiwa ikhlas, agar memiliki kesiapan memasuki kehidupan modern yang penuh
tantangan.
Berbudi tinggi (berakhlak mulia) dimaksudkan
sikap mental yang
memancarkan
nilai-nilai moral yang senantiasa mendorong seseorang menjauhkan diri dari segala sikap dan perilaku
tercela dan destruktif. Pentingnya penanaman nilai-nilai dan sikap mental seperti ini tidak perlu dipertanyakan lagi, karena
merupakan intisari dari ajaran Islam setelah tauhīd (aqidah).[41]
Doktrin in
menginginkan para murid senantiasa terjaga amaliah pribadi dan sosialnya sebagai prasyarat
menjadi warga negara yang bermartabat dari sudut agama maupun etika.[42]
Jadi, nilai-nilai agama dan keadaban sosial harus menjadi acuan hidup mereka
secara perorangan maupun kolektif, demi terciptanya keharmonisan di tengah
masyarakat bangsa.
Berbadan sehat
dimaksudkan adalah kondisi
murid agar selalu memelihara
atau mementingkan kesehatan badan
jasmaninya.[43]
Dengan doktrin ini, madrasah
menginginkan apapun profesi muridnya kelak, kesehatan jasmani harus
diperhatikan, karena hanya badan sehat dapat diajak bekerja keras menghadapi
medan kehidupan. Pepatah Arab Al-a’qlu al-sâlim fî al-jism al-sâlim,
jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat, diharapkan mampu meneguhkan
kesadaran para murid akan pentingnya nilai-nilai kesehatan jasmani, sebagai
pasangan tak terpisahkan dari sehat secara rohani.[44]
Berpengetahuan
luas adalah bahwa
penguasaan murid atas ilmu pengetahuan tidak hanya secara material-kuantitatif saja, melainkan yang tak kalah pentingnya
adalah efek yang ditimbulkannya,
lebih mengutamakan keluasan wawasan dalam melihat berbagai macam persoalan tanpa terjebak dalam fanatisme
aliran pemikiran.[45]
Doktrin ini ingin menekankan pentingnya
nilai keterbukaan terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan informasi,
meminjam bahasa
Elfindri, bahwa semakin berilmu dan luas pandangan seseorang murid, ia akan semakin mudah dalam memecahkan berbagai persoalan
hidup dan dalam mengambil
keputusan. Penguasaan ilmu yang baik dan luas bisa memudahkan hidup seseorang
murid, terlebih lagi di era modern
yang penuh tantangan dan persaingan.[46]
Dengan berpikir bebas dimaksudkan sebagai kebebasan untuk
melakukan segala perilaku dengan tetap berdasarkan nalar sehat, sebagai bentuk
penghargaannya kepada murid akan kebutuhan asasinya dalam mengembangkan diri
sebagai pribadi otonom.[47] Hamka mengatakan, keluasan ilmu tanpa
kebebasan berpikir akan melahirkan orang-orang pandai yang berwawasan sempit
dan jumud; keluasan ilmu disertai kebebasan berpikir dapat menghasilkan hikmah
yang bermanfaat bagi kemajuan.[48] Kebebasan berpikir bisa dimaknai sebagai
upaya penjauhan seluruh warganya dari segala bentuk keterikatan sempit berbagai
mazhab dan paham (organisasi) keagamaan yang ada di masyarakat, dengan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi demi terciptanya persaudaraan hidup
antar sesama umat (ukhuwah islamiyah).[49]
Berjiwa ikhlas adalah kondisi batin yang bersih dan
tulus-tanpa pamrih dari hal-hal yang sifatnya material-duniawi. Berjiwa ikhlas dimaksudkan sebagai tertatanya kondisi jiwa
yang dengan
tulus mengarahkan seluruh kegiatan yang ada, baik yang melibatkan seluruh warga
madrasah, mulai dari pimpinan,
guru, pengurus-staf, hingga para
murid
sendiri, tanpa didasari dorongan meraih keuntungan apapun, selain rasa tanggung
jawab memajukan agama (li i’lāi kalimatillāh). Sejak awal, sikap seperti
ini telah ditunjukkan
para pimpinan sendiri dan seluruh keluarganya dengan mewakafkan harta
dan dirinya hanya untuk kepentingan madrasah; diikuti para guru dan stafnya yang dengan ikhlas mengajar tanpa gaji, dan para muridnya ikhlas dalam belajar semata-mata
demi menuntut ilmu (thalab al-ilm).[50]
Sejauh ini
problem pemilihan dan perumusan nilai-nilai
yang menjadi landasan dasar berpijak senantiasa masih menghinggapi para penyelenggara
pendidikan di tanah air,
terlebih lagi di kalangan
madrasah,
dalam menghadapi tuntutan dan tantangan di era modern. Ada sebagian masyarakat pendidikan yang sudah memiliki kesiapan diri dengan berbagai konsekwensinya, tetapi sebagian lainnya justru masih gamang karena mengidap rasa “persaingan budaya” tidak
seimbang sehingga melahirkan berbagai
kekhawatiran
atas terjadinya apa yang disebut Mochtar Buchori sebagai “erosi budaya” pada
generasi muda.[51]
Dalam situasi seperti ini, justru madrasah
KMI Gontor berani membuat pilihan yang tegas dan tepat sehingga memperjelas
visi, misi, dan tujuan yang hendak dicapainya. Kekuatan filosofi pendidikan madrasah KMI Gontor terletak pada
komitmennya yang kuat dengan menempatkan
ajaran dan nilai-nilai ajaran agama dan moral kebangsaan sebagai pilar utama
konstruks pendidikan karakternya, yang dengannya diharapkan dapat mendasari
serta menyinari penerapan nilai-nilai lain yang diadopsi.
7. Metode
Bagaimana nilai-nilai dasar yang telah diseleksi tersebut
ditanamkan pada para murid sehingga mereka mampu menghayati dan kemudian
mengamalkannya dalam perilaku sehari-hari dapat diketahui dari strategi dan metode
madrasah KMI Gontor dalam menyelenggarakan pendidikan karakternya yang
dipusatkan dalam sistem pondok. Menggunakan pendekatan eklektik,[52] berbasis disiplin mirip militer,[53] madrasah menjadikan pondok sebagai bagian tak
terpisahkan dari madrasah dalam memainkan perannya sebagai “tri pusat”
pendidikan dalam rangka penanaman nilai-nilai serta sikap dan pandangan hidup
yang telah ditentukan.[54] Dibantu seluruh guru dan stafnya, para pimpinan madrasah
terlibat langsung dalam seluruh aktifitas pembelajaran, mulai dari acara
perkenalan murid baru, kegiatan di dalam dan di luar kelas, hingga acara
perpisahan murid. Mereka menggunakan hampir seluruh waktu dan
kesempatan untuk memonitor seluruh kegiatan edukatif para muridnya, yang
terjadwal secara teratur bersifat harian, mingguan, bulanan, tengah semesteran,
dan semesteran, dalam rangka membiasakan mereka belajar dengan baik, hidup secara sehat dan
benar, mandiri, kerja keras, jujur, efisien, kerja sama, saling percaya, tolong
menolong, dan bertanggung jawab.
Untuk maksud
ini, madrasah mengadakan
konkordasi secara baik tidak
saja antara aspek-aspek
tujuan dan azas-azasnya, tetapi juga dengan pemilihan dan kandungan materi serta penerapannya dalam kehidupan ilmiah dan amaliah sehari-hari
demi terciptanya tata among (governance) yang akuntabel untuk menghindari
terjadinya tabrakan dan pertentangan antar nilai-nilai yang ingin dikembangkan
dengan organ-organ pendukungnya.[55]
Sebagai contoh, dalam rangka pengembangan nilai-nilai berpikir bebas, pada para muridnya, terutama kelas-kelas atas, diberikan materi ush al-figh sebagai upaya membuka pemikiran hukum semua mazhab utama
dalam fiqh. Di sini,
murid diperkenalkan dengan Bidayah al-Mujtahidnya
Ibn Rusyd untuk memberikan mereka kesadaran sejak dini adanya pluralisme dalam
pemikiran dan pemahaman fiqh, tanpa perlu pemihakan kepada salah satu mazhab,
sehingga diharapkan akan tertanam pada mereka sikap non-sektarian. Untuk
menanamkan nilai-nilai mandiri, kerja keras, jujur, efisien, dan bertanggung
jawab, murid-murid dibiasakan belajar dan mengerjakan berbagai tugas mereka
secara sungguh-sungguh dan
teratur, selain dengan
menerapkan sistem evaluasi yang sangat ketat, agar mereka memperoleh hasil belar
yang bermutu secara akademik dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.[56]
Di luar kegiatan
formal pagi hari, madrasah KMI
Gontor, seperti sudah disebutkan di muka, memberikan murid-muridnya dua jenis
kegiatan yang ditangani sendiri melalui
organisasi
murid, sebagai sarana melatih keprigelan (skills) dan sekaligus menanamkan nilai-nilai
tanggung jawab edukatif-sosial seperti
diinginkan. Kedua duany
adalah kursus sore dan belajar bersama malam hari serta kegiatan
ektra-kurikuler lain yang terjadwal. Kedua jenis kegiatan ini besar artinya
bagi kesiapan murid di kemudian hari untuk terjun ke masyarakat, seperti pengalaman memberikan bimbing belajar pada juniornya, menjadi khatib Jum’at,
iman salat, atau pimpinan organisasi (internal), kepramukaan, klub-klub olah raga dan
kesenian, serta kelompok-kelompok diskusi. Terlatih menangani berbagai kegiatan
ekstra menjadi ciri murid madrasah KMI
Gontor di luar prestasi akademisnya. Tentu saja semua itu memberikan
murid bekal berharga setamat dari madrasah dan harus terjun ke masyarakat,
termasuk dalam mengadakan pembaruan yang
diperlukan di dalamnya.[57]
Untuk mendukung
pencapaian wawasan global,
madrasah KMI
Gontor menata lingkungan (akademik)
belajarnya sedemikian rupa sehingga, boleh dikatakan, seluruh sudut madrasah
beserta pondoknya berfungsi edukatif; mulai dari kamar (tidur), kelas, masjid,
hingga dapur umum, guna memudahkan internalisasi nilai-nilai dan pandangan
hidup serta sikap tingkah laku positif-konstruktif ke dalam diri para muridnya.
Gedung-gedung tempat tinggal mereka diberi nama secara internasional,[58]
demikian pula dengan penggunaan bahasa pergaulan sehari-hari mereka; akan
tetapi, pada saat yang sama mereka tidak boleh kehilangan ciri kebangsaannya.
Terletak di
pedalaman Jawa (Timur), suasana pergaulan di madrasah KMI Gontor lebih
terasa ke-Indonesia-annya daripada suasana Jawanya. Bahasa komunikasi sehari-hari murid dengan guru-guru
atau Kyai juga bahasa Indonesia, bukan bahasa (lokal) Jawa, seperti lazimnya di madrasah-madrasah di lingkungan pesantren Jawa. Pengaturan
penggunaan kamar tempat tinggal
juga tidak membolehkan penghuniannya dari satu suku, melainkan harus mencampur mereka agar tercipta sistem
pertemanan lintas suku secara baik dan sehat.[59]
Dalam pengawasan pimpinani
dan guru-guru, murid dikondisikan hidup dalam pergaulan “masyarakat etis” mulikultural sebagai usaha mewujudkan
nilai-nilai susila dan sosial, yang
mampu saling
menjaga kehormatan diri dan tolong-menolong guna menjauhkan diri mereka dari berbagai bentuk intrusi
pengaruh luar yang bisa merugikan kehidupan murid secara pribadi maupun
kolektif,[60]
tanpa ada toleransi
bagi yang melakukan pelanggaran di dalamnya.[61]
Lingkungan fisik
tempat tinggal murid melakukan segala aktifitas sehari-hari, termasuk
belajarnya, tampak tertata rapi dan selalu terjaga kebersihannya, serta ditumbuhi pepohonan hijau alami,
menambah keasrian dan kenyamanannya. Dengan lingkungan seperti ini, diharapkan di antara sesama
warga pondok tumbuh subur nilai-nilai persaudaraan azasi yang memudahkan
terciptanya keselamatan dan kedamaian bersama, seperti disimbolkan dengan nama pondoknya, dār
al-salām (kampung damai).[62]
Bagaimana pendidikan karakter ini
dapat mempertahankan watak kebangsaannya,
cacatan Castel di bawah ini dapat memberikan gambaran, seperti dikutip sebagai
mengatakan:
There
is nothing grotesquely ke-arab-araban about Gontor. The atmosphere is
quite genuinely Indonesian, but at the same time both modern and Islamic;
simple, but not harshly austere; clean, but not antiseptically so; serious and
religious but not morbid or fanatical; progressive and forward-looking, but
without the word “revolutionary”- which cover so much and means so little in
Indonesia today-constantly on its tongue. To anyone fresh from Djakarta, with
its cultural confusion, hypocritical slogan, paralyzed intelligentsia,
corruption, cynicism, conspicuous consumption and uncollected garbage, Gontor
seems indeed an abode of peace, and an earnest of the promise that Islamic
reformism at its best may once, if no more, have held for Indonesia society...[63]
Seperti para pendidik modern pada umumnya,
pimpinan madrasah KMI Gontor memiliki
pandangan optimis tentang keberadaan lembaga madrasah,
terlebih lagi didukung
sistem pendidikan pondoknya, memungkinkan penggunaannya secara
maksimal untuk keperluan pendidikan karakter, berdasarkan fitrah atau potensi yang dimiliki murid
berupa jiwa, hati, akal pikiran, dan tabiat, untuk mencapai kondisi kepribadian
yang lebih kuat dan baik, karena
pada hakekatnya fitrah
manusia, terlebih lagi murid-murid yang masih dalam usia pembentukan (formative
age), tidak
seperti benda-benda padat (kayu, besi, dan batu),[64]
bersifat dinamis, dan dapat diperbaiki serta dibentuk.[65]
Menurut seorang pendirinya,
apabila di kemudian hari terdapat sebagian dari mereka memiliki sifat yang dinggap menyimpang dari garis fitrah, atau potensi mereka menjadi lemah, hal itu semata-mata karena pengaruh lingkungan
luar, baik yang bersifat bio-fisik maupun psikologis dan sosio-kultural.[66]
Pendidikan karakter
baginya berfungsi
sebagai usaha pemberian bimbingan, penyempurnaan,
sekaligus koreksi, yang sifatnya serba
terus,[67] agar daya-daya dinamis yang dimiliki murid teraktualisasi dalam bentuk apa yang disebut Elfindri sebagai karakter kuat dan baik, dan pada saat yang sama, meminimalisasi karakter yang lemah dan jelek.[68] Namun, sekuat apapun usaha yang dilakukan manusia,
hasil akhirnya tetap tergantung pertolongan Allah Pendidik Agung seluruh
semesta.[69]
Dari uraian agak panjang di atas, dapat diketahui bahwa paradigma pendidikan
karakter yang diterapkan di
madrasah KMI Gontor sangat berbeda
dengan pandangan kaum naturalis Rousseau, atau puerosentris Maria Montessori, atau positivis Comte, serta sosialis
Durkheim, yang berusaha meredusir kapasitas manusia pada fakta eksternal
semata, atau sekedar tanggap atas determinisme natural-psikologisnya serta
kemampuan integratif-adaptifnya saja, tanpa memperhatikan dimensi
rohaniah-spiritual yang dimiliki manusia sehingga sama sekali tidak menyinggung
keberadaannya terkait dengan Sang Pencipta, sebagai fondasi pembentukan
karakter serta kebudayaan yang melingkupinya.[70]
Pendidikan karakter dalam rumusan madrasah
KMI Gontor
bukan
sekedar taksonomi bersifat sekuler-duniawi dalam bentuk pemberian
pengetahuan-kognitif dan psikomotorik (hard skills) semata,
melainkan dilengkapi pula dengan soft skills, yang dengannya
memungkinkan tumbuh-kembangnya karakter holistik-paripurna, yang mengarah pada
terbentuknya inter dan antarpersonal
skills serta kemampuan pemenuhan agama (transcendental skills) secara
berkeseimbangan yang sangat berguna untuk mendorong manusia berhubungan serta berkompetisi dengan sesamanya
secara berkeadaban, yang sejauh ini masih terabaikan, terutama dalam sistem
pendidikan nasional.[71]
Seperti diakui Amin
Abdullah, pendidikan karakter yang dikembangkan madrasah KMI Gontor telah berhasil memberikan para
muridnya etos yang
kuat dalam bentuk etos
berilmu, etos sosial, etos beragama, dan etos berdedikasi sebagai manifestasi
konkrit dari nilai-nilai dan sikap-perilaku seperti ditegaskan pada
aspek-aspek dari
tujuan madrasahnya.[72]
Meski sering dikritik memiliki kelemahan dalam segi pemberian kedalaman ilmu,[73]
lebih-lebih yang mengarah pada profesionalisme,[74]
sebagai gantinya, madrasah KMI
Gontor membekali muridnya lebih banyak
kemampuan dan kecakapan,
termasuk berkomunikasi dalam bahasa nasional dan bahasa asing, yang justru
sangat memudahkan mereka hidup dan diterima menjadi warga bahkan pemimpin
masyarakat.
Alasan mengapa madrasah
ini tidak mau
bergeming dari corak kurikulumnya
seperti berlaku sekarang, baru ditemukan jawabannya belakangan. Menurut hasil
penelitian para ahli psikologi sosial bahwa peranan ilmu menentukan kesuksesan hidup seseorang hanya sebesar 18%,
sisanya (82%) ditentukan oleh keterampilan emosional, soft skills, dan
sejenisnya.[75]
Terkait hal ini madrasah KMI
Gontor telah membuktikannya sejak lama.
Alumni pertamanya Idham Khalid, di usia belia telah tampil dalam Konferensi
Islam Asia-Afrika di Bandung pada 1955, pernah menjabat Wakil Perdana Menteri
dan Ketua Umum PBNU. Beberapa aluminnya berikutnya, seperti Nurcholish Madjid,
salah satu pemikir Muslim Indonesia kontemporer terkemuka; mantan Ketua Umum
PBNU Hasyim Muzadi dan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, ketokohannya
diakui secara nasional maupun internasional, dapat dijadikan contoh untuk
menyebutkan beberapa. Setelah berlalunya
era madrasah Tebuireng, kiranya
sulit ditemukan
kembali madrasah
baru yang mampu menghasilkan kader-kader pemimpin umat yang tangguh, seperti
pada
madrasah KMI Gontor.
D. Penutup
Secara umum, terobosan seperti ditunjukkan madrasah KMI Gontor relatif
telah berhasil meningkatkan pamor madrasah di tengah masyarakat tidak terlepas
dari keteguhan para pemimpinnya memegangi prinsip al-i’timād ‘ala al-nafs
(berdiri di atas kaki sendiri), dalam arti komitmennya yang kuat untuk
mengelola seluruh aktifitas pendidikannya dalam meraih kualitas sepenuhnya
bertumpu pada kemampuan sendiri, mulai dari format kelembagaannya, sistem
pembelajarannya, design kurikulumnya, rekruitmen guru-gurunya, pembiayaan
operasionalnya, hingga pengadaan sarana prasarananya. Faktor kekuatan dan kejelasan
landasan filosofis dan orientasi akademisnya, metode pembelajarannya yang
inovatif, termasuk untuk bahasa asingnya, kepemimpinan kolegial yang visioner, akuntabilitas
manajemennya, efektifitas pendayagunaan sistem pondok (asrama)nya, berlimpahnya
dukungan tanah wakaf, serta keluasan jaringan alumninya, memungkinkan madrasah
bergerak maju secara terencana, tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai
lembaga pendidikan Islam pribumi. Konsep
community/school based management seperti pernah dipromosikan pemerintah
di awal Era Reformasi, boleh jadi menemukan realisasinya dalam arti sebenarnya
pada madrasah ini.
Tak disangsikan lagi,
madrasah KMI
Gontor merupakan living model yang dapat dicontoh bagi
pengembangan madrasah berkarakter
global baik milik
pemerintah maupun swasta. Justru madrasah swasta lebih bebas melakukannya, karena identitas
keswastaannya bisa
menjadi kekuatan khusus dan
sekaligus modal budaya untuk terus mengembangkan diri secara mandiri
dan berkelanjutan. Harapan pada madrasah negeri sudah
pasti; dukungan
masyarakat setempat serta
LPTK terdekat bisa memudahkan operasionalnya lebih baik dari yang ada
sekarang. Yang diperlukan
madrasah kita sebenarnya
adalah pimpinan yang visioner dan berintegritas
serta (tambahan) SDM pendidikan yang ikhlas dan kompeten di bidang masing-masing.
Kehadiran
madrasah yang berkarakter global berpeluang menarik lebih
anak-anak dari
kalangan keluarga
Muslim
menengah-terpelajar,
tanpa harus meninggalkan anak-anak dari keluarga kebanyakan, karena beban biaya bulanannya
yang relatif murah, tidak seperti sekolah-sekolah Islam
model baru yang disebut di muka, yang membebani orang tua murid dengan bayaran
jutaan rupiah tiap bulannya.
Pengembangan madrasah-pondok ala KMI Gontor juga bisa menjadi koreksi bagi
praksis pendidikan nasional yang telah terbukti salah arah; terlalu memberikan
tekanan pada pengajaran intelektual-kognitif, dan mengabaikan tugas
utamanya menjadikan murid berkepribadian dan berkarakter. Seperti ditekankan
pemerintah belakangan ini dengan Kurikulum 2013 bahwa pendidikan berkarakter
merupakan keniscayaan yang tak bisa ditunda-tunda, guna membebaskan generasi muda dari keterpurukan moral. Artinya, bila praksis pendidikan
nasional masih disibukkan dengan usaha mencari-cari pola yang cocok dan
bagaimana penerapannya, madrasah KMI Gontor
dengan daya tahan
dan kekayaan karakter berbasis
spiritual dan akhlak
al-karimah bisa
dijadikan model pengembangan pendidikan umum berciri agama yang berkualitas
tanpa harus mengabaikan kepentingan masyarakat banyak (kuantitas).
Sebagai ijtihād,
apa yang dicapai madrasah
KMI Gontor
dalam pengembangan pendidikan karakter bukan bersifat final dan mutlak. Beberapa keunggulan
darinya bisa diadopsi atau dikembangkan; unsur-unsur yang out of date darinya
dapat diperbaiki
atau diganti dengan yang baru dan lebih baik. Seperti dilakukan madrasah-madrasah alumni yang
sekarang banyak berkemunculan, yang sesungguhnya bisa dimaknai
sebagai kritik atas konservatisme yang menghinggapi madrasah KMI Gontor dan sekaligus solusi yang
berusaha mengisi celah-celah yang selama ini tidak atau belum tersentuh olehnya. Flesibilitas dan adaptabilitas adalah ciri utama sistem kelembagaan
pendidikan Islam,
yang dengannya memungkinkan madrasah terus berinovasi guna menghadapi dinamisme
kehidupan kaum muslim khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
[2]Choirul
Fuad Yusuf, dkk., Isu-Isu Sekitar Madrasah,
(Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagaman Depag RI, 2006) hal. 97-98.
[3] Koesoema, Doni, Pendidikan Karakter Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta:
Grasindo, 2010) hal. 90.
[5] Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter
Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011)
hal. 8.
[6] Abdul Majid
dan Dian Andayani, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2013) hal. 11.
[8] Anas
Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter Pendidikan
Karakter Pendidikan Berbasis
Agama dan Budaya, (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
hal. 42.
[10] Sri Judianti, “Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar
melalui Penguatan Pelaksanaan Kurikulum”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kemendiknas
Oktober 2010). Edisi Khusus III, Vol. 16, hal. 282.
[13] Lihat Thomas Lickona, Pendidikan Karakter, Terjemahan Lita S,
(Bandung: Nusa Media, 2013) hal. 124-146, 181-207, 211 dan 234.
[14] Francis P.
Hunkins, Curriculum Development Program
Improvement, (London, Charles E. Merrill Publishing Co., 1980) hal. 151.
[15] Informasi mengenai pembukaan PGA 6 Tahun, lihat Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1984) hal.
363-364.
[17] Seyyed Hossein Nasr, Ideals
and Realities of Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1975) hal.
29.
[20] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
al-Iftitah dalam Pekan Perkenalan di Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyah Pondok
Modern Gontor Gontor Ponorogo Indonesia Modern Gontor, 1987) hal. 90.
[21] Amir Hamzah Wiryosukarto, dkk., Biografi
KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Ponorogo,
Gontror Press, 1996) hal. 59-69.
[22] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal. 13, 32, dan 90-91.
[23] Tim Penyusun, Sedjarah Balai
Pendidikan Pondok Modern Gontor Ponorogo Indonesia Penggal II, (Ponorogo:
Pondok Modern Gontor, tt) hal. 72-73.
[24] Ali Saifullah HA, “Daarussalaam
Pondok Gontor” …, hal. 137 dan 143.
[25] Madrasah KMI
Gontor menyusunnya
sendiri, yang hingga kini turut memperkaya dan menentukan corak kemandirian
pembelajarannya. Buku-buku
yang dikeluarkannya
meliputi: 1, Duras al-Lughah al-‘Arabiyah I dan II (Buku Pelajaran
bahasa Arab Dasar), 2. Kamus Duras al-Lughah al-‘Arabiyah I dan II,
3. Al-Tamrinat I , II dan III (Buku-buku Latihan dan pendalaman Qawa’id,
uslub, kalimat, dan mufradat), 4. Dalil al-Tamrinat I, II, dan
III, 5. Amtsilah al-Jumal I dan II (Buku berisi contoh-contoh
I’rab dari kalimat lengkap yang benar), 6. Al-Alfadz al-Mutaraddifah
(buku tentang sinonim beberapa kata dasar bahasa Arab), 7. Qawa’id al-Imla
(Buku tentang penulisan Arab yang benar), 8. Pelajaran membaca Huruf Arab I
A, I B, dan II (dalam bahasa Jawa), 9. Pelajaran Tajwid (Buku
Pelajaran tentang kaidah membaca Al-Qur’an secara benar dalam bahasa
Indonesia), 10. Bimbingan Keimanan (Buku pelajaran aqidah untuk tingkat dasar dan anak-anak), 11. Ushuluddin
(Buku pelajaran akidah Ahlussunnah wal Jamaah untuk tingkat menengah dan
lanjutan), dan 12. Pelajaran Fiqih I dan II (Buku pelajaran fiqih
tingkat menengah dan bimbingan praktis ibadah untuk pemula).
[26] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah …,hal. 26-31 dan 43-47.
[27] Pada 29 Juni 2000, Kementerian
Pandidikan dan Kebudayaan RI secara resmi juga mengakui sistem pendidikan
Mu’alimin yang dikembangkan Zarkasyi, seperti tertuang dalam Keputusan Menteri
Pendidikan nasional No. 106/O/2000, ditanda tangani Menteri Pendidikan nasional
Dr. A. Yahya Muhaimin.
[28] Muhammad Arwani, Denyut Nadi
Murid Sebuah Upaya Memaknai Kegiatan Murid Gontor, (Yogyakarta: Tajidu,
2001) hal.
108-115.
[29] Wawancara dengan salah seorang
alumni tahun 1997, 26 Desember 2012.
[30] Muhammad Arwani, Denyut Nadi…,
hal. 112-125.
[31] Mengenai hal ini lihat Francis
P. Hunkins, Curriculum Development Program Improvement, (London: Charles
E. Merrill Publishing Company, 1980) hal. 229-236.
[32] Ada sekitar 50-an jenis mata
pelajaran yang secara formal diberikan di madrasah ini, yang rinciannya secara
lengkap dapat dilihat pada raport murid yang dikeluarkan di tiap
semester. Di sini pengaruh kurikulum KMI Mahmud Yunus dan Madrasah Arabiayahnya
Al-Hasyimi Solo sangat kelihatan; Zarkasyi memang pernah mengunjungi keduanya,
selain Madrasah Sumatera Thawalib Padang Panjang di Sumatera Barat.
[33] Bandingkan dengan pendapat
William B. Ragan, seperti dikutip S. Nasution dalam Asas-Asas Kurikulum,
(Bandung: Jemmars, 1982) hal. 12.
[34] Ada lima bidang pengembangan
yang menjadi pokok perhatiannya. Pertama, bidang pendidikan dan pengajaran,
bergerak di bidang penjagaan tradisi dan pengembangan mutu pendidikan; kedua,
bidang pembinaan kader, memfokuskan pada pembinaan dan pengembangan
(kompetensi) SDM pendidikan; ketiga, bidang pengadaan sumber pembiayaan,
memperhatikan pemeliharaan, pengadaan, dan perluasan sumber pembiayaan guna
menunjang program pendidikan-pengajaran, keempat, bidang pengembangan sarana,
mengurusi pelaksanaan tugas-tugas penyediaan, pemeliharaan, penambahan, dan
perlengkapan sarana-prasarana administrati-pendidikan, dan kelima, bidang
pembinaan kesejahteraan keluarga, mengusahakan ketercukupan kebutuhan kehidupan
keluarga pendiri pondok. Lihat Ali Saifullah HA, “Daarussalaam Pondok Gontor”,
hal. 138.
[35] Tentang ini baca, Edwar Sallis,
dalam judul yang sama.
[36] Menurut cacatan Castles pada
masa-masa awal madrasah Zarkasyi memiliki 25 hektar sawah, tetapi belakangan
(1965) telah meningkat tajam menjadi sekitar 240 hektar yang diperolehnya dari
warga Ngawi pasca penerapan undang-undang pembatasan tanah. Menurut data tahun
2000, aset kekayaannya tanahnya mencapai sekita 276 hektar. Baca Lance Castles
“Note on the Islamic School at Gontor”, Indonesia, (Ithaca: Cornell
Modern Indonesia Project, 1960) Vol. I. hal. 36-37 dan Muhammad Arwani
Denyut Nadi…, hal. 52.
[37] Tentang wakaf dalam pendidikan Islam, baca Hasan
Langgulung, Asas-asas Pgendidikan
Islam (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1992) hal. d159-168.
[38] Pandangan
Islam tentan pentingnya faktor lingkungan dalam penyelenggaraan pendidikan,
lihat antara lain Zuhairi, dkk., Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) hal. 173-174.
[39]
Bisa jadi sikap ini merupakan wujud komitmen pendiri madrasah KMI Gontor Kyai
Imam Zarkasyi dalam memperjuangkan ide dan pandangannya mengenai format
pendidikan agama yang harus dikembangkan pemerintah; namun, hal itu tidak
mendapatkan respon seperti diharapkannya. Seperti
diketahui, setelah Indonesia merdeka, pemerintah menugasi Imam Zarkasyi
mengepalai Bagian C Kementerian Agama, yang tugas utamanya menyusun Rencana
Pendidikan Agama dan meletakkan kerangka dasar operasionalnya. Ketika itu, umat
Islam tengah santer-santernya dihadapkan dengan pandangan dikotomik yang membuat
urusan pendidikan terbelah ke dalam dua kubu yang saling berlawanan. Di satu
pihak, ada dorongan mempertahankan pendidikan agama tanpa pendidikan umum; dan
di pihak lain, dorongan mementingkan pendidikan umum sama sekali tanpa pendidikan
agama. Dalam pada itu, di Kementerian Agama sendiri muncul tarik-menarik antara
konsep pendidikan (Islam) yang menginginkan intelektualisasi santri dan
menyantrikan kaum intelek. Bagaimana mewujudkannya menjadi perdebatan serius.
Ada dua pendapat yang tampaknya sama, tetapi hakekatnya mengandung perbedaan
sangat mendasar. Yang pertama, pendapat Imam Zarkasyi, yang menginginkan
intensifikasi pendidikan agama tanpa meninggalkan pendidikan umum. Yang kedua,
pendapat Drs. Abdullah Sigit, sarjana pendidikan lulusan Belanda, yang
menawarkan konsep intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan umum dengan
memberikan pendidikan agama sekedarnya. Di sini Zarkasyi lebih menekankan
terbentuknya kepribadian muslim yang kuat dan berwawasan luas serta trampil; sedangkan,
Drs. Abdullah Sigit lebih menekankan unsur intelektualitas dan keterampilan.
Suasana di Kementerian Agama sendiri kurang mendukung Imam Zarkasyi; dan lebih
membela Drs. Abdullah Sigit, yang mementingkan pendidikan umum. Munculnya format madrasah model Undang-Undang No
20 Tahun 2003 tentang Sisidiknas yang bercorak pendidikan umum di bawah
supervisi Kementerian Agama, asal-usulnya dapat dilacak dari peristiwa
pertentangan ke dua kubu ini, yang jelas-jelah telah mengucilkan kubu Zarkasyi
dan memenangkan kubu Drs. Abdullah Sigit. Buntut dari “perseteruan” ini
mendorong Zarkasyi melepaskan jabatannya di Kementerian Agama pada awal 1947, dan posisinya selanjutnya
digantikan Drs. Abdullah Sigit sehingga memudahkannya merealisasikan gagasannya
terkait dengan pendidikan agama. Zarkasyi sendiri kemudian pulang ke Gontor
menekuni madrasahnya yang ditinggalkannya hampir 30 tahun karena menjalankan tugas-tugas negara. Lihat
Amir Hamzah
Wiryosukarto, dkk., KH. Imam Zarkasyi dari Gontor…, hal. 158-100;
Sekretariat Pondok Modern Gontor, Serba-Serbi Pondok Modern Gontor Pekan
Perkenalan Tingkat II, (Ponorogo: Pondok Modern Darussalam Gontor, 1997)
hal. 32.
[40] Menurut
pandangan ini bahwa pembaruan atau modernisasi ditentukan oleh adanya
sikap-sikap modern tertentu, sebagai prasyarat bagi keberhasilannya. Lihat,
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) hal. 192.
[41] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I, hal.
36-54.
[42] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah…,
hal. 58.
[44] Muhammad Arwani, Denyut
Nadi…, hal. 122.
[46] Elfindri, dkk., Pendidikan
Karakter Kerangka, Metode dan Aplikasi untuk Pendidik dan Profesional, (Jakarta: Baduose Media, 2012) hal. 29 dan
40.
[47] Nurcholish Madjid, “KH. Imam
Zarkasyi: Peran dan Ketokohannya”, dalam Amir Hamzah Wiryosukarto, dkk., Biografi
KH. Imam Zarkasyi …, hal. 967
[48] Hamka, Tasauf Modern,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983) hal. 107.
[49] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal. 21-22.
[51] Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001) hal. 82.
[52] Secara teoritis, ada delapan
pendekatan yang umum digunakan dalam pendidikan karakter, yaitu evocation,
inculcation, moral reasoning, value clarification, value analysis, moral
awareness, commitment approach, dan union approach. Uraian lebih
rinci mengenai masing-masingnya, baca Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter …,
hal. 206-209.
[53] Nurcholish Madjid, “K.H. Imam
Zarkasyi:, …hal. 967.
[54] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal. 10.
[55] Baca Amin Abdullah, “K.H. Imam
Zarkasyi Figur Seorang Kyai-Pendidik yang Multi Dimensional”, dalam Amir Hamzah
Wiryosukarto, dkk., Biografi KH. Imam Zarkasyi …, hal. 826.
[57] Ali Saifullah H.A. “Daarussalam,
Pondok Modern Gontor”…, hal. 145.
[58] Nama-nama gedung itu antara lain
Gedung Tunis, Sanggit, Aligarh, Saudi, Palestina, Sudan dan Afganistan. Baca
Muhammad Arwani, Denyut Nadi…, hal. 64.
[59] Amin Abdullah, “K.H. Imam
Zarkasyi…”, hal. 826.
[60] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal. 58-68.
[61] Dawam Sholeh, “Karakter
al-Ustadz Imam Zarkasyi dan Kebebasan Pondok Modern Gontor (Sebuah Refleksi)”
dalam Amir Hamzah Wiryosukarto, dkk., Biografi K.H. Imam Zarkasyi…, hal.
855.
[62] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal .54-5.
[63] Lance Castles “Note on the
Islamic School at Gontor…”, hal. 33-34.
[64] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal. 6.
[65] Amin Abdullah, “K.H. Imam
Zarkasyi…”, hal, 826.
[66] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal. 92; 67-68.
[68] Elfindri, dkk., Pendidikan
Karakter…, hal. 27-28.
[69] Imam Zarkasyi, Diktat Khutbah
…, hal. 93-94.
[70] Doni Koesoema, Pendidikan
Karakter…, hal. 39.
[71] Elfindri, dkk., Pendidikan
Karakter… hal. 29.
[72] Amin Abdullah, “K.H. Imam
Zarkasyi…” hal. 831.
[73] Nurcholish Madjid, “K.H. Imam
Zarkasyi…,” hal. 970.
[74] Lance Castles “Note on the
Islamic School at Gontor…”, hal. 40.
[75] Elfindri, dkk., Pendidikan
Karakter…, hal. 47.
MADRASAH SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN KARAKTER: BELAJAR DARI MADRASAH GONTOR
Reviewed by Unknown
on
8:00 AM
Rating:
No comments: