Perbandingan Pendidikan: Gerakan Pembaharuan dalam Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern,
modernisasi, dan modernisme, seperti
yang terdapat umpamanya dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan
modernisasi”. Modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran,
aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat,
institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru
yang ditimbulkaan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia ini dimulai dengan
munculnya sekolah Adabiyah. Sekolah ini adalah setara dengan sekolah HIS, yang
di dalamnya agama dan Al-Qur’an diajarkan secara wajib. Dalam tahun 1915,
sekolah ini menerima subsidi dari pemerintah dan mengganti namanya menjadi Hollandsch Maleische School Adabiyah. (Noer,
1980; 52).
Khusus pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dilatarbelakangi
oleh dua faktor penting. Pertama, faktor intern yakni kondisi masyarakat Muslim
Indonesia yang terjajah dan terbelakang dalam dunia pendidikan mendorong
semangat beberapa orang pemuka-pemuka masyarakat Indonesia untuk memulai
gerakan pembaruan pendidikan tersebut. Kedua, faktor ekstern yakni sekembalinya
pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu agama ke Timur Tengah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembaharuan
Dalam bahasa
Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan modernisme, seperti yang terdapat
umpamanya dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”.
Modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, dan
sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkaan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah
pembukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai
permulaan Periode Modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide
baru ke dalam
dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya.
Sebagai halnya
di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran untuk menyesuaikan faham-faham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi mdern itu.
Hasil
penyelidikan kaum Orientalis Barat ini segera melimpah ke dunia Islam. Kaum
terpelajar Islam mulailah pula memusatkan perhatian pada perkembangan modern
dalam Islam dan kata modernisme pun mulai pula diterjemahkan kedalam
bahasa-bahasa yang dipakai dalam Islam seperti al-tajdid dalam bahasa Arab dan pembaharuan
dalam bahasa Indonesia.
Kata modernisme
dianggap mengandung arti-arti negatif disamping arti-arti positif, maka untuk
menjauhi arti-arti negatif itu, lebih baik kiranya dipakai terjemahan
Indonesianya yaitu pembaharuan.[2]
Berdasarkan
uraian tersebut, pembaharuan adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif berbeda
dari hal yang sebelumnya serta sengaja dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
guna mencapai sebuah tujuan.
B.
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia
Pembahasan
mengenai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia telah dimulai dengan studi
A.Mukti Ali tentang pergerakan Muhammadiyah. Studi Mukti Ali sekitar gerakan
organisasi kaum reformis ini kemudian dilanjutkan oleh Alfian dan Federspiel.[3]
Di luar gerakan
Muhammadiyah, Delior Noer membahas pergerakan Muslim kontemporer Indonesia
selama pemerintah Belanda (1900-1942). Hal yang sama dilakukan Federspiel yang
memaparkan Persatuan Islam dan gerakan pembaharuan Islam yang dimulai tahun
1923, serta Taufiq Abdullah dan Murni Djamal yang meneliti dan menulis
pembaharuan Islam di Minangkabau (Sumatera Barat). Namun, hampir semua studi
yang dilakukan itu difokuskan pada peran kelompok Muslim keturunan Arab.
Kalangan Arab
Hadrami dari kelompok keturunan Ba Alwi, misalnya, mendorong kaumnya untuk
menjalankan tawassul (perantara)
sehingga mereka menjadi penghubung manusia dengan Tuhan. Praktek ini sejalan
dengan Islam mistik yang ditemui di Indonesia.
Selain itu, cara berdagang dan meminjamkan uang yang juga banyak
dilakukan kalangan Ba Alwi, membuat mereka kurang disukai. Dipengaruhi berbagai
perkembangan di akhir abad 19, masyarakat Arab di Indonesia mulai mendidik
generasi muda penerusnya dengan mengadopsi sistem pendidikan modern. Untuk itu,
di tahun 1901 mereka mendirikan perkumpulan sosial bernama Al-Jam’iyah al-Khayriyah.[4]
Kemudian
timbulnya pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baik didalam bidang agama,
sosial, dan pendidikan diawali dan dilatar belakangi oleh pembaharuan pemikiran
Islam lainnya terutama diawali oleh pembaharuan pemikiran Islam yang timbul di
Mesir, Turki, dan India. Latar belakang pembaharuan yang ditimbulkan di Mesir
dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir. Kesadaran umat Islam tentang
pentingnya arti pembaharuan adalah ketika umat Islam menyadari ketertinggalan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu juga dalam bidang militer.
Kesadaran itu dimulai sejak masuknya Napoleon ke Mesir.[5]
Dari berbagai
kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Eropa itu lebih unggul dalam bidang ilmu
pengetahuan dari kaum muslimin baik yang tertinggal di Mesir, Turki, dan
daerah lainnya. Peristiwa ini
menimbulkan kesadaran umat Islam untuk mengubah diri. Kesadaran mengubah diri
itulah menimbulkan fase pembaruan dalam periodisasi sejarah Islam. Fase
pembaruan itu muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan kemajuan zaman sekaligus
juga sebagai respon umat Islam atas ketertinggalan mereka ketika tokoh-tokoh
yang berteriak agar umat Islam mengubah diri guna menuju kemajuan, meninggalkan
pola-pola lama menuju pola baru yang berorientasi pada kemajuan zaman. Tokoh
pembaruan yang bergerak dalam bidang organisasi sosial, pendidikan, dan politik
diantaranya Syekh Muhammad Jamil, Syekh Thaher Jalaluddin, Haji Karim Amrullah,
Haji Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa, dan Zainuddin Labai Al Yunusi, yang
kesemuanya berasal dari Minangkabau.
Latar belakang
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama,
pembaharuan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh
para tokoh atau ulama yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama bermukim
di luar negeri (Makkah, Madinah, Kairo). Ide-ide yang mereka peroleh
diperantauan itu menjadi wacana
pembaruan setelah mereka kembali ke tanah air. Selain dari itu, faktor yang
bersumber dari kondisi tanah air juga banyak mempengaruhi pembaruan pendidikan
Islam di Indonesia. Kondisi tanah air pada awal abad ke-20 adalah dikuasai oleh
kaum penjajah Barat. Dalam bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda
melakukan kebijakan pendidikan deskriminatif. Lembaga pendidikan di kala itu
dibagi atas tiga strata. Strata pertama adalah strata tertinggi, yaitu sekolah
untuk ank-anak Belanda, yaitu sekolah ELS, HBS dan seterusnya ke perguruan
tinggi. Strata kedua adalah untuk anak-anak bumi putra yang orang tuanya
memiliki kemampuan ekonomi dan mempunyai posisi di pemerintahan, dapat disebut
sebagai kelompok elit masyarakat Indonesia. Strata terendah adalah anak-anak
bumi putra, yaitu kelompok orang kebanyakan hanya boleh mengecap pendidikan
sekolah dasar setahun atau sekolah kelas dua (5 tahun).[6]
Pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia ini dimulai dengan munculnya sekolah Adabiyah.
Sekolah ini adalah setara dengan sekolah HIS, yang di dalamnya agama dan
Al-Qur’an diajarkan secara wajib. Dalam tahun 1915, sekolah ini menerima
subsidi dari pemerintah dan mengganti namanya menjadi Hollandsch Maleische School Adabiyah. (Noer, 1980; 52).
Khusus
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dilatarbelakangi oleh dua faktor
penting. Pertama, faktor intern yakni kondisi masyarakat Muslim Indonesia yang
terjajah dan terbelakang dalam dunia pendidikan mendorong semangat beberapa
orang pemuka-pemuka masyarakat Indonesia untuk memulai gerakan pembaruan
pendidikan tersebut. Kedua, faktor ekstern yakni sekembalinya pelajar dan
mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu agama ke Timur Tengah, dan setelah
mereka kembali ke Indonesia mereka memulai gerakan-gerakan pembaruan tersebut.
Di antara tokoh yang berpengaruh menggerakkan pembaruan tersebut adalah Syekh
Muhammad Jamil Jambek, Haji Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Ibrahim Musa
Parabek di Sumatra Barat. Di Jawa muncul tokoh H. Ahmad Dahlan, dengan gerakan
Muhammadiyahnya, H. Hasan dengan gerakan Persis (Persatuan Islam), Haji Abdul
Halim dengan gerakan Persis (Persatuan Islam), Haji Abdul Halim Asy’ary dengan
organisasi Nahdatul Ulama, (Daulay, 2001: 47).[7]
Menurut
Steenbrink ada empat faktor yang mendorong munculnya pembaruan pendidikan Islam
di Indonesia:
1.
Sejak
tahun 1900 telah banyak pemikiran untuk kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah yang
dijadikan titik tolak menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
2.
Dorongan
kedua, adalah sifat perlwanan nasional
terhadap penguasa kolonial Belanda.
3.
Dorongan
ketiga, adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya dalam
bidang sosial dan ekonomi.
4.
Banyak
yang tidak puas dengan metode pendidikan tradisional di dalam mempelajari
Al-Qur’an dan studi agama.
Selain itu
dipandang dari sudut masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke dalam dunia
pendidikan, setidakny ada tiga hal yang perlu diperbarui. Pertama, metode yang tidak puas hanya dengan metode tradisional
pesantren saja, tapi diperlukan metode-metode baru yang lebih merangsang untuk
berpikir. Kedua, isi atau materi
pelajaran sudah perlu diperbarui, tidak hanya mengandalkan mata pelajaran agama
semata-mata yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Ketiga, manajemen. Manajemen pendidikan adalah keterkaitan antara
sistem lembaga pendidikan dengan bidang-bidang lainnya di pesantren.
Ketiga macam
ini merupakan tuntunan terhadap kebutuhan dunia pendidikan islam di kala itu.
Dengan demikian, jika ide-ide pembaruan itu diterapkan dalam dunia pendidikan
Islam, maka hal itu merupakan salah satu jalan menuju perbaikan pendidikan
Islan di Indonesia.[8]
C.
Masa Pembaharuan Pendidikan Islam
Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam diterima oleh
bangsa Eropa dan umat Islam sudah tidak memperhatikannya lagi maka secara
berangsur-angsur telah membangkitkan kekuatan di Eropa dan menimbulkan
kelemahan di kalangan umat Islam. Secara berangsur-angsur tetapi pasti,
kekuasaan umat Islam ditundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa, dan terjadilah
penjajahan di mana-mana di seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh kekuasaan
Islam. Eksploitasi kekayaan dunia Islam oleh bangsa-bangsa Eropa, semakin
memperlemah kedudukan kaum musimin dalam segala segi kehidupannya.[9]
Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum
muslimin dari bangsa-bangsa Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini, telah
timbul mulai abad ke 11 H/ 17 M dengan kekalahan-kekalahan yang diderita oleh
kerajaan Turki Usmani dalam peperangan dengan negara-negara Eropa.
Kekalahan-kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan
untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan.
Dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan modern dari Barat, untuk
pertama kali dalam dunia dunia Islam dibuka suatu percetakan di Istambul pada
tahun 1727 M, guna mencetak berbagai macam buku ilmu pengetahuan yang
diterjemahkan dari buku-buku ilmu pengetahuan Barat.
Penduduk Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M, adalah merupakan
tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali kesadaran akan
kelemahan dan keterbelakangan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut bukan hanya
menunjukkan akan kelemahan umat Islam,
tetapi juga sekaligus menunjukkan
kebodohan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut di samping membawa sepasukan
tentara yang kuat, juga membawa sepasukan ilmuwan dengan seperangkat peralatan
ilmiah, untuk mengadakan penelitian di Mesir. Inilah yang membuka mata kaum
muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga akhirnya timbul
berbagai macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengajar
ketinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha di bidang
pendidikan.[10]
·
Pola-pola Pembaharuan Pendidikan Islam
Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran
umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan memperhatikan
sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa, maka
pada garis besarnya terjadi tiga pola
pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah: 1)
Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan
modern di Eropa, 2) Yang berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali
ajaran Islam, dan 3) Yang berorientasi pada kekayaan dan sumber budaya bangsa
masing-masing dan yang bersifat nasionalisme.
1.
Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat
Pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber keuatan dan
kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka
juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang,
tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan
yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian, maka untuk
mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan
kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.[11]
Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat ini, mulanya timbul di
Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H/ 17 M setelah mengalami kalah perang
dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu yang merupakan benih bagi
timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki
modern. Sultan Muhammad II (yang memerintah di Turki Usmani 1807- 1839 M adalah
pelopor pembaharuan pendidikan di Turki.
Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi ke Barat ini, juga
nampak dalam usaha Muhammad Ali Pasya di Mesir, yang berkuasa tahun 1805-1848.
Resminya ia menjadi pasya sebagai wakil resmi dari sultan Turki di Mesir,
tetapi ternyata ia menyatakan diri sebagai penguasa yang otonom, lepas dari
kekuasaan sultan Turki.
Muhammad Ali Pasya, dalam rangka memperkuat kedudukannya dan
sekaligus melaksanakan pembaharuan pendidikan di Mesir, mengadakan pembaharuan
dengan jalan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan
dan pengajaran Barat. Di sekolah-sekolah tersebut, diajarkan berbagai macam
ilmu pengetahuan sebagaimana yang ada di Barat. Dalam rangka mengalihkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah berkembang di Barat tersebut, Muhammad Ali
menggalakkan penerjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab, bahkan untuk
itu ia telah mendirikan Sekolah Penerjemah.
2. Gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam
yang murni
Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya
Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan
ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan
pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan
serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya,
pada masa-masa kejayaannya.[12]
Menurut analisa mereka, di antara
sebab-sebab kelemahan umat Islam, adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan
ajaran agama Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber
kemajuan dan kekuatan ditinggalkan, dan menerima ajaran-ajaran Islam yang sudah
tidak murni lagi.
Kalau kelihatan ada pertentangan antara
ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman dan perubahan
kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru
tentang ajaran-ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad, dan karenanya pintu ijtihad harus
karenanya pintu ijtihad harus dibuka.
Keharusan pembukaan pintu ijtihad dan
pemberantasan taklid, selanjutnya memerlukan kekuatan akal. Di sini diperlukan
pendidikan intelektual. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an bukan semata
berbicara kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Menurut Muhammad
Abdul pula, bahwa ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai,
karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah Sunnatullah, sedangkan dasar Islam
adalah wahyu Allah. Kedua-duanya berasal dari Allah. Oleh karena itu umat Islam
harus menguasai keduanya. Umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu
pengetahuan modern di samping ilmu pengetahuan keagamaan. Sekolah-sekolah
modern harus dibuka, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping
pengetahuan agama.
3. Usaha pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada nasionalisme
Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan
berkembangnya pola kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat
mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan
kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada
umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan
nasionalisme masing-masing.[13]
Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka
terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah
perkembangan kebudayaannya. Merekapun hidup bersama dengan orang-orang yang
beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa
nasionalisme di dunia Islam.
Di samping itu, adanya keyakinan di
kalangan pemikir-pemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada
hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan
tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme
inipun bersesuaian dengan ajaran Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Pembaharuan adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif berbeda
dari hal yang sebelumnya serta sengaja dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
guna mencapai sebuah tujuan.
Timbulnya pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baik didalam
bidang agama, sosial, dan pendidikan diawali dan dilatar belakangi oleh
pembaharuan pemikiran Islam lainnya terutama diawali oleh pembaharuan pemikiran
Islam yang timbul di Mesir, Turki, dan India. Latar belakang pembaharuan yang
ditimbulkan di Mesir dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir. Kesadaran umat
Islam tentang pentingnya arti pembaharuan adalah ketika umat Islam menyadari
ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu juga dalam
bidang militer. Kesadaran itu dimulai sejak masuknya Napoleon ke Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Bisri Affandi, MA. Pembaharu Pemurnian Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999)
Prof. Dr. H. Haidar
Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam
di Asia Tenggara, (Jakrta: Rineka Cipta, 2009)
Prof. Dr. H. Haidar
Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2004)
Prof. Dr. Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1992)
Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004)
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1992), hal 11
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1992), hal 12
[3]
Bisri Affandi, Pembaharu Pemurnian Islam
di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal 55
[4]Bisri
Affandi, Pembaharu Pemurnian Islam di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal 56
[5] Haidar
Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam
di Asia Tenggara, (Jakrta: Rineka Cipta, 2009), hal 28
[6]
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan
Islam di Asia Tenggara, (Jakrta: Rineka Cipta, 2009), hal 32
[7]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2004), hal 7
[8]
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan
Islam di Asia Tenggara, (Jakrta: Rineka Cipta, 2009), hal 44
[9]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), hal 116
[10]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), hal 117
[11] Zuhairini,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), hal 118
[12]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), hal 121
[13]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), hal 123
Perbandingan Pendidikan: Gerakan Pembaharuan dalam Pendidikan Islam
Reviewed by Unknown
on
12:38 AM
Rating:
No comments: